• Kolom
  • BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #3: Bersama Wiranatakoesoema, Mengurus Irigasi Cihea

BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #3: Bersama Wiranatakoesoema, Mengurus Irigasi Cihea

Kedekatan Wiranatakoesoema dengan Mochamad Enoch terlihat pada malam perpisahan Wiranatakoesoema saat diangkat menjadi bupati Bandung.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Lingga Batusahulu yang didirikan pada 1920 di Desa Cikareo, Pacet, Cianjur, sebagai tanda keberhasilan irigasi yang menghidupkan 3.000 bahu sawah. Baik nama Wiranatakoeosoema maupun Mochamad Enoch termaktub pada tugu tersebut. (Sumber: Sipatahoenan, 18 Desember 1937)

26 September 2022


BandungBergerak.id - Dalam tulisan “Doea poeloeh lima taoen dina kadinesan (29 Juli 1912-29 Juli 1937). R. Mochamad Enoch, Directeur Regentschapswerken Bandoeng” (Sipatahoenan, 31 Juli 1937), dikatakan hasil kerja Mochamad Enoch selama 25 tahun bekerja untuk BOW terbukti di banyak tempat. Misalnya di Garut, Tasikmalaya, Cianjur, Banten, Subang, dan Madiun. Paling jelasnya di Cihea (Cianjur), Rawa Onom (Ciamis), dan Ciputrahaji (Tasikmalaya). Di ketiga tempat itu, ia berhasil membantu irigasi untuk tanah yang semula tak tergarap, kemudian menjadi sawah yang mendatangkan kesejahteraan bagi penduduk.

Dalam Sipatahoenan disebutkan, “Tapak latjak andjenna didamel beunang diseboetkeun boekti di oenggal tempat anoe koengsi dilinggihan. Di Garoet, Tasikmalaja, Tjiandjoer, di Banten djeung Soebang, djaoehna nja di Madioen. Noe pangnembrakna woengkoel nja saperti Tjihea [Tjiandjoer], Rawa Onom [Tjiamis] djeung Tjipoetrahadji-werken [Tasikmalaja]; koe eta garapan, tanah anoe asal teu kaarah hasilna teh nepi ka djadi mangpaat, djadi poko karahardjaan Rajat”.

Kali ini saya akan memusatkan perhatian pada masa kerja Enoch di Cihea selama 1919 hingga 1921. Di wilayah Kabupaten Cianjur itu ia bertugas membantu irigasi Tjihea-vlakte atau pedataran Cihea yang sejak lama menimbulkan masalah. Oleh karena itu, sebelum lebih jauh membahas sepak terjang Enoch di Cianjur, saya akan membahas dulu sejarah singkat pengelolaan Cihea.

Bahan pustaka yang saya gunakan antara lain tulisan Zentgraaf yang bertajuk “Tjihea-vlakte” (Bataviaasch Nieuwsblad, 10 April 1923) dan H.H. van Kol (Een Algemeen Irrigatie-plan voor Java, 1901). Sementara Mochamad Enoch sendiri menulis satu artikel yang berkaitan dengan Cihea, yaitu “Het Ontwerpen van Cultuurregelingen in de Residentie Preanger-Regentschappen” (Indisch Bouwkundig Tijdschrift No. 10, 31 Mei 1924).

Kata Zentgraaf, seratus tahun lalu, dataran Cihea merupakan hutan yang tidak dihuni oleh orang. Daendels membuat jalan raya melalui dataran tersebut, yang sebelumnya ke arah selatan. Pembuatan jalan itu mendatangkan orang pada 1810, sekitar 50 keluarga dari Bandung. Mereka menetap di sepanjang kali kecil tempat adanya irigasi lama.

Pada 1864, bupati Bandung mencatat penambahan penduduk Cihea. Di sana, penduduk mengelola tanah seluas 700 bahu, meski kekurangan air, dan untuk mengatasinya membuat dam di Sungai Cisokan. Pemerintah kolonial kemudian turun tangan. Terbukti pada 1904, kerja besar irigasi Cisokan selesai, sehingga air bisa dialirkan ke titik paling jauh Cihea. Sawah pun jadi bertambah dari 1.000 bahu menjadi 7.000 bahu dan menghasilkan panen antara 70-80 pikul per bahu.

Namun, sistem irigasi tidak ada, sehingga dataran Cihea tergenang air, bahkan ratusan bahu sawah menjadi rawa. Rawanya menjadi sarang nyamuk dan mengakibatkan berkecamuknya malaria. Firma Tideman en Van Kerchem yang mengelola perkebunan teh di sekitarnya pada 1912 mengeluh betapa berbahayanya penyakit malaria. Jawatan kesehatan (BGD) memeriksanya dan mengatakan masih belum berbahaya. Saat itu juga terpikir untuk memberikan konsesi Cihea kepada HVA untuk dijadikan perkebunan tebu, seperti di Jatiroto.

Namun, itu tidak terjadi. Karena pada 1914, dataran Cihea menjadi rawa besar. Pada 1915, area sawah berkurang dari 7.000 bahu menjadi 3.500 bahu. Akibatnya, pada 1917, panen padi menurun dari yang semula 70-80 pikul per bahu menjadi 25 pikul. Karena dimiskinkan dan diserang malaria, penduduk setempat menjual sawahnya dengan murah dan pindah ke tempat lain. Mereka menjualnya kepada para haji yang tinggal di Bandung dan Cianjur, dan memilih menjadi petani penggarap.

Pada 1917, para pejabat dari berbagai jawatan bertemu. BGD menyelidiki penyebab dan penyebaran malaria. Mereka menugaskan Dr. Mangkoewinoto, dan menindaklanjuti laporan Dr. Darling yang mengunjungi Cihea setahun sebelumnya. Menurut laporan, penyebab malaria adalah spesies nyamuk akonita. Rata-rata kematian akibat malaria di sana adalah 70-80 per mille, bahkan di beberapa desa 148 per mille.

Dari H.H. van Kol (1901), saya mendapatkan tambahan keterangan bahwa irigasi untuk Cihea sudah mengemuka sejak 1849. Saat itu sudah diusulkan agar mengurung sungai yang masuk ke dataran itu, tetapi itu tidak mudah, sebab dasar Sungai Cisokan dan Citarum sekitar 30 meter dalamnya. Rencana pengurungan air itu berupa dam di Cisokan, dengan saluran, inlet, serta terowongan sepanjang 900 meter.

Pengerjaan di Cihea kemudian berlangsung antara 1879-1884, dengan jalan hanya memelihara hasil kerja yang sudah ada, sementara rencana baru dikesampingkan. Pada 1887, Van Bosse, yang secara pribadi mengamati Cihea, bersikeras memperbaiki sistem irigasi. Usulannya menjadi rencana kerja pemerintah kolonial pada 1890. Insinyur Kepala De Meijer juga melakukan penyelidikan dan sejak 1891 dimulai eksekusi pembangunan irigasi di Cihea.

Lingga Batusahulu

Itulah latar belakang Mochamad Enoch saat mulai bekerja di Cianjur. Sebelum ke sana, saya akan mengulangi lagi riwayat pekerjaan Enoch menjelang penempatannya di Cianjur. Kali ini bersumber dari guntingan berbagai koran Belanda antara 1912-1918.

Dalam De Nieuwe Vorstenlanden (29 Juli 1912) disebutkan Enoch diangkat menjadi deputi pengawas sementara di lingkungan departemen BOW, dengan tempat dinas di Keresidenan Priangan. Saat itu namanya masih tertulis “Mas Mochamad Enoch” (“de tijd. onderopzichter Mas Mochamad Enoch”), yang menandakan ia berasal dari kalangan bangsawan kelas dua, bukan menak tinggi. Tugasnya di bidang perbaikan jaringan jalan di Keresidenan Priangan (De Preanger-bode, 30 Juli 1912).

Empat tahun kemudian, Mas Mochamad Enoch diangkat menjadi deputi pengawas penuh (Bataviaasch Nieuwsblad, 3 Maret 1916). Menurut koran yang sama dalam edisi 19 Juni 1916, Enoch mendapatkan gelar raden, sehingga namanya ditulis sebagai Raden Mochamad Enoch (“Aangeteekend; dat de onderopz. bij den waterstaat en 's lands B. O. W., Moehamad Enoeh, zich noemende Mas Moehamad Enoch, gerechtigd is tot het voeren van den titel Raden en zich alzoo mag noemen en schrijven Raden Moehamad Enoch”).

Setahun kemudian, dia mulai berkaitan dengan irigasi, saat ditempatkan di bawah kepala pekerjaan irigasi Ciujung, tepatnya di bawah kepala eksekusi pekerjaan irigasi di Pandeglang dan Lebak, Keresidenan Banten. Jabatannya diangkat menjadi pengawas kelas tiga (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24 April 1917). Menjelang akhir 1918, Enoch dipindahkan ke kantor pusat pekerjaan irigasi di Keresidenan Priangan (De Preanger-bode, 7 Desember 1918).

Dari koran Sipatahoenan, saya jadi tahu saat Mochamad Enoch di Cianjur, bupatinya R.A.A. Wiranatakusumah, sebagaimana yang ditulis oleh AN dalam artikelnya, “Jubileum 25 taoen Raden Adipati Aria Wiranatakoesoema Boepati Bandoeng” (Sipatahoenan, 18 Desember 1937).

Menurut AN, Wiranatakoesoema diangkat menjadi bupati Cianjur berdasarkan keputusan pemerintah tanggal 10 Desember 1919 No. 1, lalu dipindahkan menjadi bupati Bandung pada April 1920. Di Cianjur, Wiranatakoesoema berjasa membuka sawah di Ciranjang sebanyak 3.000 bahu (“Tapak tangan kdj. Wiranatakoesoema di Tjiandjoer diantarana moeka 3000 baoe sawah di Tjirandjang”).

Padahal Ciranjang adalah tempat berkecamuknya malaria. Namun, sebelumnya, Wiranatakoesoema berbeda pendapat dengan Kontrolir Winckler. Sementara sang kontrolir hendak mengadakan imigrasi di Ciranjang, Wiranatakoesoema maunya menyehatkan dataran Cihea. Akhirnya pendapat Wiranatakoesoema yang menang, sehingga dibantu departemen pertanian, kesehatan (DVG), dan pekerjaan umum.

Kata AN, “Nja harita pisan kangdjeng dalem tepang djeung Raden Moehamad Enoch, hidji opzchter ngora anoe kapapantjenan ngoeroes irrigatie di Tjiandjoer. Doea tanaga anoe patoekang tonggong dina njareatkeun niat tapi saloejoe dina doelna, anoe ahirna ngadjadikeun kaloejoean (harmonie)” (Persis saat itulah Bupati Wiranatakoesoema bertemu dengan Raden Mochamad Enoch, seorang pengawas muda yang diberi tugas mengurus irigasi di Cianjur. Dua tenaga yang saling bertentangan dalam tekad, tetapi seia sekata dalam doel-nya, sehingga akhirnya terjadi keharmonisan).

Tanda kerja sama Wiranatakoesoma-Enoch itu adalah lingga atau tugu di Desa Cikareo, Distrik Pacet, Cianjur, sebagai peringatan keberhasilan irigasi Batusahulu, yang menciptakan 3.000 bahu sawah. Pada tugu itu antara lain tertulis, “Wat samenwerking vermag, aangelegd 1920 door: A.H. Maas Geesteranus-R. Tmg. Wiranatakoesoema-Ir. A.J.N. Nijman-Ir. V.L. Maier-R. Kartadiredja-R. Rg. Soeriamihardja-R. Moehamad Enoch-R. Wirahadikoesoema-R. Baradja Soewangsa-Nataredja-Tisnadikarta en ingezetenen van de desa’s Tjikareo, Koebang en Sodong”.

Saat peresmian lingga Batusahulu, salah satu hiburannya adalah wayang golek. Saat itu, Wiranatakoesoema berpotret dengan Mochamad Enoch dan pribumi lainnya. Dalam Sipatahoenan dikatakan, “Hidji deui potret di Batoesahoeloe teh, waktoe disalametkeunana make nanggap wajang golek sagala roepa”.

Kedekatan Wiranatakoesoema-Enoch terlihat pada malam perpisahan Wiranatakoesoema saat diangkat menjadi bupati Bandung. Peristiwanya terjadi tanggal 11 April 1920 malam, sebagaimana dilaporkan De Preanger-bode edisi 13 April 1920.

Menurut laporan itu, tadi malam terjadi pesta perpisahan bupati Cianjur. Pada pukul 19.00, pendopo dipadati bumiputra. Gamelan mengalun dan camat Cikondang menyenandungkan Dangdanggula. Letnan Tionghoa menyampaikan rasa terima kasihnya atas dedikasi bupati Wiranatakoesoema. Para wedana menghadiahi lampu listrik dan kotak jahit. Dari Cikalong hadiah stan bunga, dari Sindangbarang perkakas lengkap untuk bepergian, dari Sukanagara tongkat (iteuk), dari Pacet album yang sangat bagus, dari Ciranjang satu set kancing emas, dari Cibeber satu kotak alat tulis dengan tasnya.

Sementara dari kalangan Kaum atau masjid agung Cianjur yang dihadiahkan kepada Wiranatakoesoema adalah jam besar yang berdentang seperti gong. Namun, yang istimewa tentu saja hadiah koleksi foto berbingkai mengenai hasil kerja irigasi yang disediakan oleh pengawas irigasi dataran Cihea, Mochamad Enoch (“Heel typisch was ook de aanbieding van een verzameling foto's in lijst van eenige irrigatie werken en wat daarmede annex is door den opzichter der irrigatie van de Tjihea-vlakte Mohammed Enoch”).

Menurut De Preanger-bode (13 Desember 1921), dengan Enoch sebagai petugas pengawasan kerja irigasi dan ketaatan pada aturan pangairan, kami berhutang atas tidak terjadinya kejadian penting dan mencapai keadaan Cihea sekarang. Maksudnya adalah meski dataran Cihea belum lebih sehat, tetapi sudah dapat diolah untuk menjadi tani kering (panen kedua). Ini berkat diperkenalkannya rezim air (waterregiement) tahun 1919.

Selain itu, Enoch berhasil menenangkan sekaligus menggagalkan upaya para petani dan penggarap sawah yang hendak bersama-sama menghancurkan kerja yang sudah terdistribusi. Mereka bahkan mengajak Soerjapranoto, si raja mogok (stakingskoning), untuk beraksi dalam sebuah pertemuan Sarekat Islam (SI) di Cianjur pada 1921. Namun, dengan pidato secara tenang, Enoch mampu menerangkan duduk perkaranya kepada massa sekaligus menenangkan mereka (De Preanger-bode, 18 Agustus 1922).

Baca Juga: BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #1: Berangkat dari Paguyuban Pasundan
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #2: Tamat KWS, Kerja di Departemen BOW

Saat peresmian lingga Batusahulu, Wiranatakoeosoema dan Mochamad Enoch dipotret bersama bumiputra Kabupaten Cianjur lainnya. (Sumber: Sipatahoenan, 18 Desember 1937)
Saat peresmian lingga Batusahulu, Wiranatakoeosoema dan Mochamad Enoch dipotret bersama bumiputra Kabupaten Cianjur lainnya. (Sumber: Sipatahoenan, 18 Desember 1937)

Irigasi Cihea Menurut Enoch

Menurut De Preanger-bode (10 Desember 1922), Mochamad Enoch menulis artikel tentang irigasi Cihea dalam Indisch Bouwkundig Tijdschrift. Sayang, saya belum menemukan artikelnya. Namun, untungnya De Preanger-bode mencatat akhir tulisan Enoch:

“Bila reklamasi terus dilanjutkan secara intensif, maka lambat laun akan mengubah pedataran Cihea menjadi dataran ideal, menjadi lumbung padi di Priangan!” dan “Itu merupakan proses untuk menghapus halaman kelam dalam sejarah irigasi di Pulau Jawa bersama keluhan-keluhannya, demi masa depan yang dapat diduga”.

Sementara artikelnya “Het Ontwerpen van Cultuurregelingen in de Residentie Preanger-Regentschappen” (1924) dapat saya temukan.  Menurutnya, regulasi pengairan yang diterapkan di Keresidenan Prangan relatif baru. Aturannya berbentuk keputusan residena tanggal 26 Juni 1919 no. 12923/39, yang menegaskan bahwa di bawah tekanan suplai makanan dan kesulitan di pedataran Cihea, maka terbitnya aturan pengairan jadi sangat mendesak. Apalagi sebelumnya, semua aturan mengenai urusan irigasi selalu tertumbuk dengan adat tak tertulis dan adat istiadat setempat.

Dengan adanya aturan baru, kata Enoch, jadi mungkin untuk membawa pelanggarnya ke meja hijau, sehingga akan tercipta kondisi lebih tertata. Semula aturan hukumnya diatur dalam lembaran negara tahun 1854 No. 95 dan tahun 1904 No. 202. Aturan baru itu diperlukan bagi daerah yang sangat sedikit air irigasinya dan di daerah yang berisiko malaria (Tjihea-vlakte) dan atau di tempat yang pekerjanya sedikit.

Saat isu irigasi Cihea mengemuka lagi pada 1928, nama Enoch disebut-sebut lagi. Konon, dalam Fadjar Asia tersiar artikel mengenai ketidakpuasan terhadap administrasi dan otoritas di Cianjur, termasuk klaim bahwa penduduk Cianjur dekat dengan kelaparan karena irigasi air telah berhenti untuk maksud manuver tentara di daerah tersebut. Akibatnya, persawahan dan kolam ikan emas jadi terdampak. Dalam hal itu, rujukannya adalah proposal arsitek R. Moch. Enoch tentang pengaturan budidaya tanaman, yang bergantung kepada musim (De Nieuwe Vorstenlanden, 8 Oktober 1928).

Ketika Enoch menjadi anggota dewan Provonsi Jawa Barat, ia kerap mengingatkan mengenai pengairan Cihea. Dalam Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie (19 Juli 1933), pada sidang tanggal 18 Juli 1933, Enoch berbicara mengenai pemeliharaan pengairan sawah tersier di dataran Cihea untuk memerangi malaria di daerah tersebut. Ia mengingatkan kepada pemerintah bahwa tidak boleh mengurangi dana perawatan pengairan itu, karena pengurangan tersebut akan menyebabkan kerusakan pada yang dibangun bertahun-tahun sebelumnya.

Ketika awal 1934 merebak lagi wabah malaria di Cihea, Enoch mengajukan interpelasi di hadapan dewan Provinsi Jawa Barat, dibantu anggota dewan lainnya, D.R.K. de Boer. Saat itu, di jalan provinsi Ciranjang, yang termasuk dataran Cihea, 80 orang asal Banjaran (Bandung) bekerja dan ada yang terserang malaria. Sekembali ke desanya, enam orang meninggal dunia. Inilah yang dipertanyakan Enoch saat itu (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 12 Januari 1934; Sipatahoenan, 12 Januari 1934).

Demikian pula saat Enoch menjadi pembicara dalam pertemuan koperasi Itikoerih Hibarna di Ciparay pada Agustus 1935. Ia didaulat untuk menyampaikan pandangannya mengenai irigasi. Di antaranya yang disampaikannya adalah pengalamannya saat mengurusi irigasi di Cianjur (Tjihea-vlakte), Bojongsalam (Garut), dan lain-lain (Sipatahoenan, 30 Agustus 1935).

Hingga Maret 1941, nampaknya urusan Cihea tetap menjadi perhatian Mochamad Enoch. Dalam sidang dewan Provinsi Jawa Barat pada minggu kedua Maret 1941, saat membicarakan anggaran belanja tahun 1942, Enoch menyampaikan ketidakpusannya tentang “Tjihea-landbouwbedrijf” (urusan pertanian Cihea), yang menurut Landbouw-bedrijf tidak bisa disesuaikan dengan rencana budidaya seperti yang dimaksudkan dalam aturan pengairan provinsi.

Enoch menyebutkan Tjihea-landbouwhoeve (lahan pertanian Cihea) melingkupi sebagian dari keseluruhan aliran Cihea (“Tjihea-bevloeiingsgebied”) yang telah berlangsung sejak tahun 1919. Selama 20 tahun, Cihea diurus oleh aturan golongan dan (golongan regeling) dan cultuurplan, menurut Preanger Waterreglement. Dengan adanya Prov. Waterreglement, maka aturan lama dihapuskan. Namun, yang kurang dari aturan baru itu, kata Enoch, adalah belum ditetapkannya aturan cultuurplan, sehingga terkesan tidak sah (Sipatahoenan, 13 Maret 1941.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//