BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #5: Tulisan-tulisan Seputar Bangunan
Sebagai politikus yang sibuk, Mochamad Enoch juga bisa menulis menggunakan dua bahasa, yaitu Belanda dan Melayu. Karangannya dimuat secara berkala.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
17 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Meski lebih dikenal sebagai politikus yang kerap berbicara dalam sidang-sidang dewan kabupaten, dewan kota, dewan provinsi, bahkan dewan rakyat, sejak 1920-an, tetapi Mochamad Enoch pula termasuk seorang penulis. Buktinya antara 1918 hingga 1933, paling tidak saya mendapatkan enam judul tulisan karyanya.
Secara umum, Enoch menulis dengan menggunakan dua bahasa, yaitu Belanda dan Melayu. Tempat memuatkan karangannya adalah berkala-berkala organisasi profesi yang diikutinya. Karangannya umumnya memusatkan perhatian kepada teknik bangunan, karena memang ia terlibat di dunia tersebut sebagai arsitek. Sementara pokok bahasannya biasanya berkaitan dengan garapan di tempat dinasnya. Misalnya tulisan mengenai peninggalan arkeologis dan folkor di Cihea merupakan buah pengalaman Enoch saat bekerja di Cianjur tahun 1919-1920. Contoh lainnya, pada 1924 saat menulis aturan budidaya penanaman padi di Priangan, ia menggunakan titimangsanya di Garut.
Organisasi profesi yang diikuti Mochamad Enoch adalah Vereeniging van Bouwkundigen in Nederlandsch-Indie (VVB) yang menerbitkan Indisch Bouwkundig Tijdschrift (IBT) dan Vereeniging voor Locale Belangen (VLB) yang menerbitkan Locale Techniek (LT).
Di VVB, agaknya Enoch mulai aktif sejak 1918 saat dia bekerja di Semarang. Ini terbukti dari berita dalam IBT No. 23, 15 Desember 1918. Di situ dikabarkan Enoch menjadi salah satu calon pengurus VVB cabang Semarang yang melakukan pemilihan pada 1 Desember 1918. Ia tidak terpilih sebagai salah seorang pengurus, karena barangkali keburu dipindahkan ke Priangan.
Dua tahun kemudian, Mochamad Enoch ikut pencalonan pengurus besar VVB. Pada 1 Maret 1920, di bawah panitia pemilihan R.M. Soejatiman, R. Soekajat dan J.C. de Keijzer, Enoch beroleh tujuh suara dibandingkan dengan pemenang pertama J.H. Antonisse yang mendapatkan 59 suara dan M. Atmodirono yang ada di bawah Enoch yang mendapatkan empat suara (IBT No. 5, 15 Maret 1920).
Pada 31 Maret 1920, Mochamad Enoch ikut lagi dalam pemilihan di bawah panitia J.H. Th. Leeuwenburgh, R.M. Soejatiman dan J.C. de Keijzer. Kali itu yang mendapatkan suara terbanyak adalah A. Van Doorn dengan 94 suara, Enoch di posisi kedelapan dengan 40 suara, dan yang ke-12 adalah Soewito dengan 30 suara. Saat itu, Enoch tercatat sebagai anggota VVB Afdeling Priangan, ketika bekerja di Cianjur. Sementara anggota Priangan lainnya ada A.J. Bax (Garut), H.A. Th. Derks (Bandung), R. Noersasih (Tasikmalaya), W.J. Tarenskeen (Tasikmalaya), Th. E. Veer (Tasikmalaya), H.M. Smit (Bandung), dan R.M. Martahadiprawira (Sukaraja) (IBT No. 7, 15 April 1920).
Namun, setahun kemudian, Mochamad Enoch terpilih menjadi sekretaris kedua VVB. Ini terbukti dari notulen rapat pengurus besar VVB yang diselenggarakan pada 14-15 Mei 1921 di Grand Hotel Java, Weltevreden. Notulen itu diumumkan Enoch sebagai sekretaris kedua. Menurut pengumuman pengurus besar, tugas sekretaris kedua antara lain mengurusi korespondensi yang berkaitan dengan keanggotan dan ihwal afdeling VVB. Untuk kedua urusan tersebut bisa bersurat kepada Enoch yang beralamat di Cianjur (IBT No. 13, 15 Juli 1921).
Sejak 1922, Mochamad Enoch tercatat sebagai anggota pengurus besar VVB. Dalam IBT No. 23 (15 Desember 1922), tercatat ketua umum VVB adalah W.H. Marcus, J. Claassen (sekretaris pertama), F. Engel (sekretaris kedua), H.A. Th. Derks (bendahara), dengan para anggota L. Kailola, R. M. Enoch, dan W. Nijland. Dalam kapasitasnya sebagai anggota pengurus VVB itulah pada 2 Septemer 1922, Enoch mengikuti rapat pengurus besar di Java Hotel, Weltevreden.
Dari IBT No. 3 (15 Februari 1924), saya memperoleh tanggal pasti diploma arsitek yang diperoleh Mochamad Enoch. Di situ dikatakan berdasarkan keputusan direktur Burgerlijke Openbare Werken (BOW) tanggal 31 Januari 1924 No 3318/DI, C. Van Veen, H.K. Otten, F Engel, J.G.A. De Zwart, W.F. Van Schraaf, R. Moehamad Enoch, A. Hubbeling, L. J. Riede, dan D.F. Juch telah lulus ujian arsitektur pada Januari 1924. Sesuai keputusan pemerintah tanggal 4 September 1921 No. 10 (Staatsblad No. 512), mereka semua memperoleh tunjangan sebesar 50 gulden per bulan.
Pada 1924, Enoch tetap tercatat sebagai anggota pengurus besar VVB. Saat itu dia bekerja sebagai Opzichter BOW di Garut. Sementara susunan pengurus lainnya adalah W.H. Th. Marcus (ketua), C.A. Dunki Jacobs (sekretaris pertama), T.v Ruyssevelt (sekretaris kedua), dan J. H. Claessen (bendahara) (IBT No. 13, 15 Juli 1924, dan IBT No. 14. 31 Juli 1924).
Keterangan Juru Kunci Cisambeng
Dalam kerangka keterlibatan di VVB, dapat dimengerti bila di IBT No. 15, 15 Augustus 1918, Mochamad Enoch memuatkan tulisannya yang bertajuk “De Positieverbetering van de Opzichters en Architecten bij de B.O.W. in den Volksraad”.
Di dalamnya, ia menyapakati tulisan JHA yang menegaskan tentang pentingnya membicarakan perbaikan posisi pengawas dan arsitek BOW di Volksraad. Dalam hal itu, Enoch berharap kepada Atmodirono, sebagai bekas ketua VVB yang menjadi anggota Volksraad, menyampaikan keluhan para pengawas dan arsitek BOW sekaligus mempertahankan keinginan mereka. Sedangkan kepada para pengurus VVB, Enoch berharap mendukungnya sehingga perbaikan yang diharapkan dapat dipertahankan dan dapat diterangkan oleh Atmodirono secara jelas dalam sidang sesi musim gugur di Volksraad.
Tulisan kedua Mochamad Enoch tidak diterbitkan di IBT melainkan di majalah terbitan Java-Instituut. Judulnya “Overlevering van den Koning Djaka Soesoeroe van het rijk Tandjoeng Singoeroe” dan dimuat dalam Djawa No. 2, April 1922. Tulisan ini diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda oleh Soeriadiradja dan dimuat dalam Poesaka Soenda No. 1 (Juli 1922) dan No. 2 (Agustus 1922) dengan judul “Patilasan Radja Djaka Soesoeroe di Karadjaan Tandjoeng Singoeroe”.
Sebagaimana judulnya, tulisan tersebut berkaitan dengan peninggalan zaman Kerajaan Pajajaran di Kampung Cisere, Desa Soekarama, Distrik Ciranjang, Cianjur. Latar belakang di balik temuan tersebut adalah penempatan Mochamad Enoch sebagai opzichter irigasi di Afdeling Cianjur, terutama untuk mengeringkan tanah dataran Cihea, agar tidak terlalu banyak penyakit, karena sejak lama Cihea memang terkenal sebagai sarang malaria (“Dina tahoen 1919 djisim koering didjadikeun Opzichter irigasi di apdeling Tjiandjoer. Babakoena anoe djadi gawe teh, noehoerkeun [njaatkeun] tanah padataran Tjihea, soepaja oelah rea teuing kasakit, da sadaja pada oeninga jen Tjihea teh hawanan awon, enggon moeriang”).
Kata Enoch, selama berkeliling sepanjang selokan Cihea hingga Cisokan, ia belum pernah mendengar ada orang yang menceritakan tinggalan zaman Pajajaran di sana. Namun, ketika 1920, saat membersihkan terowongan selokan Cihea dari KM 0 hingga KM 1,200, Enoch melihat adanya dua benteng tinggi di atas pematang. Ini terjadi di KM 1,100 saat dia mengaso di bawah pohon beringin. Enoch sempat bertanya kepada para pekerja di situ, tetapi tidak seorang pun tahu pembuat dua benteng tersebut. Mereka hanya menjawab itu sudah lama ada. Menurut seorang narasumber, itu memang bekas kerajaan. Benteng tersebut merupakan salah satu tinggalannya. Nama rajanya sendiri Djaka Soesoeroe.
Karena penasaran, Enoch terus menelusuri kisah Djaka Soesoeroe. Termasuk bertanya kepada juru pantun. Tetapi tidak ada yang mengetahuinya. Selanjutnya, ketika menghadiri Kongres Java Instituut di Bandung tahun 1921, dia mendapatkan titik terang bahwa juru kunci Cipanas, dekat Cisambeng di Rajamandala, banyak mengetahui cerita pantun dan dapat menceritakan kisah Djaka Soesoeroe. Dengan bantuan camat Bojongpicung, Kewedanaan Ciranjang, Enoch dapat mengundang juru kunci Cisambeng dan dapat mengisahkan lakon Djaka Soesoeroe. Ringkasan lakonnya diuraikan lagi dalam tulisan Enoch.
Setelah mendengarkan kisahnya, Enoch memotret bekas-bekas benteng dan Batoedjamban atau tempat mandi penghuni keraton Tanjung Singuru. Ia kemudian menelusuri bekas keratonnya, dengan menjejaki jalan-jalan setapak, ditemani oleh seorang guru dari Cianjur bernama Bakker. Di seberang Cisokan, dekat Kampung Cibule, ada dua benteng lagi. Bekas alun-alun kerajaannya dikenal sebagai Sewoe Tjengkal.
Seakan bersambung dengan penelusuran bekas Kerajaan Tanjung Singuru, Mochamad Enoch menegaskan ihwal aturan budidaya tanaman di Keresidenan Priangan, terutama berkaitan dengan aturan pengairan di Cihea, dalam tulisan “Het Ontwerpen van Cultuurregelingen in de Residentie Preanger-Regentschappen” (IBT No. 10, 31 Mei 1924).
Pada awal tulisannya, Enoch menyatakan bahwa aturan pengairan di Priangan termasuk baru. Berdasarkan keputusan residen Priangan tanggal 26 Juni 1919 No. 12923/39, dengan adanya tekanan atas suplai makanan dan kesulitan di pedataran Cihea, aturan tersebut sangat mendesak untuk dibuat. Sebelum terbit keputusan itu, semua aturan irigasi tertumbuk dengan adat kebiasaan setempat. Dengan adanya aturan baru, sangat mungkin membawa pelanggar ke meja pengadilan.
Pada bagian kedua tulisannya, Enoch membahas rencana budidaya padi di daerah Ciojar, Afdeling Garut. Luas daerah Ciojar terdiri atas 447 bahu dan secara teknis dapat dilakukan pengairan. Dengan adanya aturan pengairan yang baru, sejak 1920, daerah tersebut dapat dibagi rencana penanaman padinya, sesuai pertimbangan irigasi, pertanian, dan ekonomi. Konon pada 14 Mei 1924, proposal pembagian budidaya padi di Ciojar yang dikerjakan oleh Enoch itu diterima oleh Irrigatiecommissie (komisi irigasi).
Tulisan Mocahammad Enoch lainnya adalah “De Pendopo in de Soendalanden” yang dimuat dalam IBT No. 4, 28 Februari 1925. Ia menyampaikan sejarah singkat pendopo di Pulau Jawa. Katanya, berdasarkan tradisi lama, sebuah pendopo ditemukan di depan rumah para pangeran dan bangsawan bumiputra. Gambaran pendopo bahkan banyak ditemukan dalam relief berbagai candi, seperti Borobudur. Acuan pendopo juga dapat ditemukan dalam buku T.S. Raffles, The History of Java.
Menurut Enoch, di Jawa Barat, sekitar 1860, pemerintah kolonial berusaha mengajukan desain rumah para bupati. Karena di Tatar Sunda, rumah lama para bupati tidak memiliki pendopo, maka berdasarkan keputusan tanggal 25 September 1862 No. 12, B.B. 1297, pemerintah menahan diri untuk membuat desain model pendopo. Selanjutnya melalui keputusan tanggal 4 Agustus 1893 No. 3, B.B. 4890 dan diamandemen oleh keputusan direktur BOW tanggal 16 Juli 1906 No. 1059/F. B.B. 6627, pemerintah menetapkan desain rumah kepala distrik, tetapi tidak pendopo bupati. Dengan kata lain, menurut Enoch, pendopo di Priangan dibuat agak baru, setelah pemerintah mendapatkan nasihat dari K.F. Holle.
Baca Juga: BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #2: Tamat KWS, Kerja di Departemen BOW
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #3: Bersama Wiranatakoesoema, Mengurus Irigasi Cihea
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #4: Arsitek Sunda Pertama di Departemen Pekerjaan Umum
Pasar Kabupaten dan Rumah Potong Hewan
Pada 1933, Mochamad Enoch mulai tercatat sebagai redaktur majalah Locale Techniek (LT) terbitan Vereeniging voor Locale Belangen di Semarang. Selengkapnya redakturnya adalah R. Moeh. Enoch, G. Van Galen Last, Ir. Thomas Karsten, Jhr. Ir. C. Ortt, Ir. A. Poldervaart, dan Ir. I. A. Verhoef. Alamat redaksinya di Limburgiastraat 6, Bandung. Nama Enoch terus tercatat sebagai redaktur LT, paling tidak hingga 1940 sebagaimana yang terlihat dari LT No. 1, Januari-Februari 1940.
Dari terbitan LT, saya mendapati paling tidak ada dua tulisan Mochamad Enoch yang dimuat di situ, yaitu “Regentschap dan Peroesahaannja Pasar” (LT No. No. 1/2, Januari-April 1932) dan “Pendirian Roemah Potong dalam Kaboepaten” (LT No. No. 4, Oktober 1933).
Pada “Regentschap dan Peroesahaannja Pasar”, Enoch menerangkan pendirian dan pengelolaan pasar terutama di Keresidenan Priangan. Salah satu alasan pendiriannya adalah keuntungan yang dapat diperoleh untuk anggaran belanja keresidenan. Kata Enoch, “Oleh Gewestelijke Raad Priangan doeloe telah didirikan beberapa boeah pasar dengan oeang pindjaman dan oleh karena itoe maka dalam tahoen 1926 Regentschap Bandoeng menerima warisan oetang besarnja f 250.000, - oentoek kaperloean itoe dan dalem tahoen 1931 telah pindjam poela f 85.000, - boeat mendirikan pasar baroe, atau boeat meloeasken, atau membaroei adegan-(pendirian) jang lama, jaitoe pasar di Station Padalarang, Tjililin, Sindangkerta, Dajeuhkolot, Kiaratjondong dan Pasar Antri”.
Bagian selanjutnya, Enoch menerangkan perkembangan pasar-pasar itu. Di antaranya munculnya kebutuhan tempat pemberhentian kendaraan, penggantian tiang los dari kayu menjadi besi, untung-rugi pembuatan los pasar dari beton, dan atap dari seng (zink). Menurut Enoch, pemasangan atap untuk los di pasar haruslah disesuaikan dengan letak geografis. Katanya, “Oleh karena hawa di tanah Djawa, teroetama di tempat tepi pantai, ada panas, apalagi pada waktoe siang tengah hari, maka pemakaian atap dari zink itoe haroes disingkiri, sebab dari panasnja orang tidak bisa tahan doedoek dalem los itoe.”
Sementara “Boeat tempat jang tidak tedoeh hawanja maka pemakaian genteng model Vlaamsch atau Echtsch ada dipoedjikannja, sebab diantaranja genteng itoe moedah dimasoeki hawa, sehingga keloear masoeknja hawa ada teratoer sendiri”.
Selanjutnya, dalam “Pendirian Roemah Potong dalam Kaboepaten”, Mochamad Enoch menggarisbawahi pentingnya tempat penyembelihan hewan di kabupaten, terutama Kabupaten Bandung, agar “bisa didjaga djangan sampei orang mendapat daging jang tida baik”. Di Bandung, kata Enoch, mula-mula rumah potong hewan dibuat di daerah Cimahi. Dalam perkembangannya, antara 1928-1933 di Bandung dibuat 8 rumah potong yang rata-rata menghabiskan biaya 2.300 gulden.
Meskipun sederhana, pada rumah potong terdapat berbagai kesulitan terutama bila dikaitkan dengan sudut pandang Veterinairen Dienst (pekerjaan dokter hewan), yaitu “a. pernahnja haroes ditengah-tengah dan boekan tempat jang terasing, soepaja penitènan atas pakerdjaan pada waktoe memotong hewan
tida soesah dilakoekannja; b. tanahnja haroes kering benar serta dikerdjakan hingga bisa mengalirkan air, agar kotoran tida djaoeh dapat diangkat, dialirkan dengan air atau diboeang; c. soemoernja haroes jang dalam serta bisa ditoetoep dengan baik, sehingga moedah bisa dapat air jang bersih; d. djoebin batoenja haroes tebal dan matjam jang baik sekali; e. pakerdjaan toetoep roemah potong itoe dilakoekan sedemikian, soepaja djika diadakan satoe perkakas kerekan atau lebih tida oesah menimboelkan tambah ongkos poela.
Sudut pandang kedua adalah harus memenuhi keharusan agama Islam. Sebab, kata Enoch, menurut agama Islam, ketika hewan akan disembelih haruslah ditelentangkan dengan arah utara-selatan dan muka menghadap kiblat. Ketika rumah potong di Majalaya tidak demikian, maka kata Enoch, “Setelah saja berlakoe sebagi Directeur RW di Bandoeng maka hek kajoe jang telah salah dipasangnja oentoek mengikatkan hewan jang bakal dipotong dibongkar, kemoedian dipasangkan poela ditempat jang benar dalam roemah potong.”
Bila melihat kecenderungan di atas, bisa jadi jumlah tulisan yang dihasilkan oleh Mochamad Enoch sebenarnya lebih dari enam buah. Namun, hanya karena keterbatasan sumber pustaka yang dapat saya akses, sehingga terbatas pula karya-karya Enoch yang sapat saya temukan. Barangkali suatu saat nanti, bila sumber pustaka bertambah, saya akan memperoleh tulisan-tulisan lainnya karya Mochamad Enoch.