• Kolom
  • BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #7: Cucu Patih Karawang

BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #7: Cucu Patih Karawang

Mochamad Enoch adalah anak keempat dari pasangan Martadilaga-Siti Mariah. Martadilaga adalah anak Patih Purwakarta Raden Dipamanggala.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

R.A.A. Abdoerrachman (1884-1934), kakak Mochamad Enoch, di tengah anak-anak dan istrinya. (Sumber: Yo Paramita Abdurachman, Perempuan Mendahuli Zaman (210: 10))

1 November 2022


BandungBergerak.idKetekunan untuk terus mencari data biografis Mochamad Enoch akhirnya berbuah manis. Kali ini yang saya temukan adalah data penting yang berkaitan dengan titimangsa kelahiran berikut latar belakang keluarga Enoch.

Sumber pustaka yang membuat saya sangat gembira adalah Kami Perkenalkan ...! (1952) terbitan Kementerian Penerangan Republik Indonesia dan Susunan Kabinet2 R.I. dan Riwajat Hidup Ringkas Para Menteri 1945-1953 (1954) susunan Bagian Dokumentasi-Kementerian Penerangan. Dari dua sumber pustaka itu saya mendapatkan data tempat dan tanggal lahir Mochamad Enoch, berikut riwayat singkat pekerjaannya.

Di situ tertulis Ir. R.H. Mohd. Enoch lahir pada 17 Februari 1893 di Cianjur. Pada 1930, setelah lima tahun menuntut ilmu di Sekolah Teknik Tinggi (TH atau ITB sekarang), ia mendapatkan gelar Insinyur. Enoch sempat menjadi anggota Pengurus Besar Paguyuban Pasundan dan anggota Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI). Dalam Kabinet Amir Sjarifudin pertama, Enoch menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Pernah pula ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI. Di lingkungan Republik Serikat, dia menjadi anggota senat utusan daerah Pasundan dan dalam Negara Kesatuan RI pada 1950 sebagai anggota DPRS Sementara.

Pustaka lain yang menjadi kunci untuk mengetahui latar belakang keluarga Mochamad Enoch adalah buku Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (1998) susunan Edi S. Ekadjati, dkk. Di situ ada riwayat singkat tokoh pendidikan dari daerah Cianjur, Nyi R. Siti Djenab, yang ternyata merupakan kakak kandung Enoch. Di situ, disebutkan pula nama ayah-ibu dan kakeknya.

Intinya, Siti Djenab adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya Raden Martadilaga adalah anak Patih Purwakarta Raden Dipamanggala. Sementara ibunya Nyi R. Siti Mariah berasal dari Brebes, Jawa Tengah. Saudara-saudara Siti Djenab adalah R.A.A. Abdoerrachman (Bupati Mester Cornelis atau Jatinegara), Nyi R. Siti Aisah, Ir. R.H. Moch. Enoch (Insinyur praktik pertama di Indonesia), Nyi R. Siti Djenar (Komis Kantor Pos Cianjur), Nyi R. Siti Rukiyah. R. Mustarom (Patih t.b. Kepala Volksvoorlichtingdienst di Kantor Keresidenan Bogor), Nyi R. Siti Kuraesin (Kepala Urusan Pegawai RS. CBZ Jakarta).

Bila dilihat dari susunan nama anak pasangan Martadilaga-Siti Mariah di atas, bisa dikatakan R.A.A. Abdoerrachman adalah anak pertama, disusul Siti Aisah sebagai anak kedua, lalu Siti Jenab sebagai anak ketiga, Mochamad Enoch sebagai anak keempat. Agar lebih jelas, saya akan menguraikan dulu hasil penelusuran pustaka terkait Raden Dipamanggala dan Raden Martadilaga, disambung riwayat hidup R.A.A. Abdoerrachman dan Siti Djenab.

Mochamad Enoch memberikan sambutan saat memakamkan kakaknya, R.A.A. Abdoerrachman, di Purwakarta, 27 Januari 1934. (Sumber: Sipatahoenan edisi 29 Januari 1934)
Mochamad Enoch memberikan sambutan saat memakamkan kakaknya, R.A.A. Abdoerrachman, di Purwakarta, 27 Januari 1934. (Sumber: Sipatahoenan edisi 29 Januari 1934)

Riwayat Kerja Dipamanggala dan Martadilaga

Saya mendapatkan data tentang Dipamanggala paling lama dari 1882 dan paling baru dari 1905. Hasil penelusuran membuktikan bahwa dia adalah patih Kabupaten Karawang dengan gelar Mas, belum Raden. Sehingga namanya dikenal sebagai Mas Dipamanggala atau Mas Dipa Manggala.

Rinciannya, dalam De Locomotief (12 Juni 1882), disebutkan Mas Dipamanggala sudah menjadi camat Pasawahan, Distrik Wanayasa, dan diangkat menjadi ondercollecteur Cabang Bungin, di Kabupaten dan Keresidenan Karawang. Sejak akhir Februari 1885, ia dicopot dari jabatannya sebagai ondercollecteur Cabang Bungin (De locomotief, 28 Februari 1885).

Pada Juni 1887, Mas Dipamanggala yang semula menjabat sebagai ondercollecteur Karawang dan Adiarsa diangkat menjadi wedana Adiarsa (Bataviaasch Nieuwsblad, 4 Juni 1887). Lima tahun berikutnya, barulah ia diangkat menjadi patih Kabupaten Karawang, dari posisinya semula sebagai wedana Adiarsa (Bataviaasch Nieuwsblad, 18 Juli 1892).

Selama menjabat sebagai patih Karawang, antara lain tercatat Dipamanggala diangkat menjadi anggota pengadilan di Purwakarta yang waktu itu masih masuk ke Karawang (Java-bode, 11 Januari 1893), sejak Juli 1900 merangkap kontrolir Purwakarta (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19 Juli 1900), diizinkan cuti sakit selama sebulan ke Purwakarta (Bataviaasch nieuwsblad, 3 Mei 1904), dan mendapat hadiah sebesar 569 gulden karena kerja luar biasa Dipamanggala saat melakukan pengamatan antara 24 Juni-29 November 1904 sekaligus merangkap sebagai wedana Rengasdengklok, Kabupaten Karawang (Bataviaasch nieuwsblad, 31 Januari 1905).

Dari temuan data di atas, dapat dikatakan posisi terakhirnya patih Karawang, bukan patih Purwakarta sebagaimana disebutkan dalam Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (1998). Dari uraian di atas juga, saya menangkap kesan memang dia berasal dari Purwakarta, karena terbukti ketika sakit pada 1904 dia diizinkan mengambil cuti sebulan ke Purwakarta.

Adapun riwayat Martadilaga, saya hanya mendapatkan sedikit datanya. Saya hanya memperoleh dua keterangannya. Pertama, ihwal pengangkatannya sebagai anggota pengadilan di Purwakarta pada 1900. Saat itu posisinya sebagai mantri pelarangan impor, kepemilikan, pengangkutan dan penjualan opium di Distrik Sindangkasih, Wanayasa, dan Gandasoli. Gelarnya sudah raden, sehingga dikenal sebagai Raden Martadilaga (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11 Desember 1900).

Kedua, dalam konteks berhentinya sebagai anggota pengadilan di Purwakarta, karena Martadilaga diangkat menjadi mantri gudang garam (zoutverkooppakhuismeester) di Cilamaya, Distrik Adiarsa, Afdeling Karawang. Ini terjadi pada November 1901 atau setahun kurang setelah pengangkatannya sebagai anggota pengadilan di Purwakarta (De locomotief, 29 November 1901).

Namun, dari data yang sedikit di atas, saya melihat benang merah yang menyambungkan riwayat kerja Martadilaga dengan ayahnya, Dipamanggala, yakni kesamaan wilayah kerjanya. Martadilaga ditempatkan di sekitar Afdeling Karawang, yang patihnya dijabat oleh ayahnya sendiri.

R. Siti Djenab (1890-1951), tokoh pendidikan perempuan dari Cianjur, juga kakaknya Mochamad Enoch. (Sumber: Kompasiana)
R. Siti Djenab (1890-1951), tokoh pendidikan perempuan dari Cianjur, juga kakaknya Mochamad Enoch. (Sumber: Kompasiana)

Dari Obituari R.A.A. Abdoerrachman

Sekarang saya akan membahas riwayat hidup R.A.A. Abdoerrachman, sebagai anak pertama Raden Martadilaga, sekaligus kakak tertua bagi Mochamad Enoch, berdasarkan obituari dari koran-koran berbahasa Belanda dan Sunda, Sipatahoenan. Bahkan, dari rekaman Sipatahoenan-lah, sangat terang bahwa Abdoerrachman memang kakaknya Enoch.

Sumber dari koran Belanda antara lain Bataviaasch Nieuwsblad (26 Januari 1934) dan Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie (29 Januari 1934). Dari dua sumber itu diketahui R.A.A. Abdoerrachman meninggal mendadak pada Jum’at, 26 Januari 1934, sekitar pukul 11.00, saat mengikuti rapat di kediaman residen Batavia di Molenvliet. Empat belas hari sebelumnya, mertuanya yang meninggal.

R.A.A. Abdoerrachman lahir pada 1 Mei 1884 di Cianjur. Ia mulai berdinas di pemerintahan sejak 16 Juni 1906 sebagai mantri tani (landbouwkundig mantri) di Klampok (Brebes). Pada April 1908, dia diangkat menjadi juru tulis di kantor patih Bogor. Dari situ dia diangkat menjadi camat Pasawahan, pada 1909 menjadi camat Plered (Karawang), dan 1912 menjadi camat Dawuan. Lalu Abdoerrachman diangkat menjadi adjunct-hoofddjaksa di pengadilan Batavia pada Agustus 1913.

Setelah belajar antara September 1914-1916 di Bestuursschool (sekolah pamongpraja) Batavia, Abdoerrachman ditugaskan lagi ke Karawang pada 1916, yaitu menjadi pejabat sementara wedana Sindangkasih. Dengan terbitnya keputusan tanggal 19 September 1916, dia diangkat menjadi wedana di Keresidenan Batavia, sekaligus ditetapkan sebagai wedana Sindangkasih. Juli 1918, dia diangkat menjadi wedana di Bogor dan Oktober 1920 atas permintaan residen Batavia, Abdoerrachman diangkat menjadi wedana di Batavia, tempat kedudukannya tetap di Bogor.

Dengan terbitnya keputusan pemerintah tanggal 29 Maret 1923 Abdoerrachman diangkat menjabat sebagai zelfstandige patih Karawang, terhitung efektif sejak 4 April 1923. Dan setahun berikutnya menjadi patih Meester Cornelis dan sejak 3 Juli 1925 menjadi bupati pertama kabupaten yang termasuk baru itu.

Pada 24 Februari 1928, Abdoerrachman diizinkan mengambil cuti selama setahun ke Eropa. Selama di sana dia mempelajari pertanian. Beberapa bulan kemudian, pada 23 Agustus 1928, ia dianugerahi gelar Aria, lalu anugerah bintang perak tanda kesetiaan dan kehormatan pada 31 Agustus 1932, dan pada 24 Agustus 1934 diberi gelar Adipati, sehingga nama lengkapnya tertulis Raden Adipati Aria Abdoerrachman.

Ketika mengambil cuti ke Belanda, Abdoerrachman disertai keluarganya, termasuk Siti Katidjah, istrinya yang terkenal dengan sebutan Raden Ajoe Abdoerrachman (1885-1971). Istrinya adalah aktivis perempuan dan penulis buku Sunda. Terbukti Raden Ajoe Abdoerrachman menuliskan pengalaman ke Eropa itu dalam tulisan berseri dengan tajuk Lalampahan ka Eropa yang dimuat majalah Parahiangan No. 9, 28 Februari 1929, hingga No. 5, 30 Januari 1930. Seri itu lalu dibukukan Balai Poestaka dengan judul sama pada 1930. Selain itu, dia menulis Widoeri: Katerangan Petana Mapahatan Ngapoet djeung Imah-imah ka Awewe Somahan di Poelo Djawa (1940).

Kembali ke R.A.A. Abdoerrachman. Di dalam Sipatahoenan edisi 29 Januari 1934 tersaji laporan “Boepati R.A.A. Abdoerrachman almarhoem dikoerebkeun di Poerwakarta” (almarhum Bupati R.A.A. Abdoerrachman dimakamkan di Purwakarta). Pada awal laporan tertulis, “Isoek-isoek powe Saptoe tanggal 27 Januari 1934, samemehna poekoel dalapan, di Kaboepaten Meester-Cornelis katoet di pakaranganana pinoeh koe djalmi, koelawargi, pangagoeng-pangangoeng djeung noe ngaralajad ...” (Pagi-pagi hari Sabtu, 27 Januari 1934, sebelum pukul delapan, di pendopo Kabupaten Jatinegara dan pekarangannya penuh oleh orang, keluarga, dan para pejabat yang melayat ...”).

Persis jam delapan, dari Meester, jenazah Abdoerrachman dibawa ke pemakaman keluarga (familiegraf) di Purwakarta, diiringi sekitar 20 mobil. Pada pukul 11.45 rombongan tiba di alun-alun Purwakarta. Jenazahnya disalatkan di masjid agung, lalu dibawa ke makam di belakang masjid. Pukul 12.45, makam R.A.A. Abdoerrachman selesai diuruk. Setelah bunga ditaburkan di atas makam, barulah pihak keluarga angkat bicara. Wakil dari keluarga itu tidak lain adalah Mochamad Enoch.

Saparantosna kembang dibereskeun, ladjeng Djoeragan Moehamad Enoch njarios. Kawitna dina basa Walanda, kalawan asmana familie ngahatoerkeun noehoen ka sadaja noe soemping, teu kalaroeng ka Resident Betawi anoe djadi wakil pamarentah sareng ngadongkapkeun kasedihanana. Moeng djalaran patali sareng kahojongna noe moelih ka alam kaweningan, disoehoenkeun soepados oelah nganggo diajakeun biantara”.

Artinya: Setelah bunga dibereskan, kemudian Tuan Mochamad Enoch berbicara. Mula-mula dalam bahasa Belanda, atas nama keluarga menghaturkan terima kasih kepada semua yang datang, tidak terlewat kepada residen Batavia yang menjadi wakil pemerintah dan turut berbela sungkawa. Karena kehendak almarhum yang telah kembali ke alam kesucian, dimohon tidak usah diadakan pidato.

Setelah itu, Enoch berbicara dalam bahasa Sunda untuk menghaturkan terima kasih kepada para pejabat bumiputra (“Saparantosna ladjeng njarios dina basa Soenda ka para pangagoeng Indonesia”) dan semua pihak yang memerlukan hadir dalam acara pemakaman kakakna bupati Jatinegara (“ngoerebkeun rakana Boepati Meester”). Pukul 13.00 pemakaman R.A.A. Abdoerrachman itu selesai.

Dengan disebutkannya Mochamad Enoch sebagai wakil keluarga bahkan menguburkan kakaknya, bupati Meester Cornelis, jelaslah Enoch memang adiknya R.A.A. Abdoerrachman.

Baca Juga: BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #4: Arsitek Sunda Pertama di Departemen Pekerjaan Umum
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #5: Tulisan-tulisan Seputar Bangunan
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #6: Keberanian Menantang Belanda

Tokoh Pendidikan Perempuan

Sekarang kita lihat riwayat Nyi R. Siti Djenab sebagaimana dari Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (1998: 92-93) karya Edi S. Ekadjati, dkk. Yang redaksinya sama dengan ang tertulis dalam Ensiklopedi Sunda (2000: 600) suntingan Ajip Rosidi. Namun, saya tidak akan mengulangi data yang telah disampaikan pada awal tulisan.

Menurut sumber tersebut, Siti Djenab lahir di Cianjur pada 1890. Pada 1904, ia lulus dari Hollandsche Inlandsch School (HIS). Setamat sekolah dasar berbahasa Belanda itu, ia magang menjadi pengajar di sekolah dasar kelas dua (Tweede lnlandsche School) Joglo, Cianjur. Setelah dua tahun membantu di sekolah dasar Joglo, sejak 1906, Siti Djenab mulai mengajar di Sakola Kautamaan Istri yang didirikan Bupati Cianjur R. Moeharam Wiranatakoesoemah.

Sakola Kautamaan Istri di Cianjur konon dapat dikatakan merupakan perpaduan antara Sakola Raden Dewi yang didirikan Raden Dewi Sartika di Bandung dan Sakola Kautamaan Istri di Garut yang didirikan oleh Raden Ajoe Lasminingrat. Sejak mengajar di sekolah itu, Siti Djenab mengabdikan dirinya untuk kepentingan pendidikan anak-anak perempuan. Bahkan kemudian dia sempat menjabat sebagai kepala Sakola Kautamaan Istri Cianjur.

Siti Djenab menikah dengan sesama guru. Suaminya bernama Toebagoes Djatradidjaja (meninggal tahun 1926), yang berprofesi sebagai guru di HIS Cianjur. Dari hasil pernikahan tersebut, Siti Djenab dianugerahi lima orang anak, yaitu Tb. Akhmad Sudarsono. Tb. Akhmad Muhammad, R. Siti Rakhmat, R. Siti Harsini, dan R. Siti Khaeroni.

Selanjutnya menurut pustaka di atas, meski sudah menikah, Siti Djenab melanjutkan kegiatannya mengajar dan membimbing anak-anak perempuan. Padahal, seperti halnya Raden Dewi Sartika dan R.A. Lasminingrat, Siti Djenab pun tidak terlepas dari berbagai rintangan masyarakat umum yang masih memandang aneh ada perempuan menjadi guru, bahkan mengajar anak perempuan pula. Namun, berbagai tantangan tersebut dihadapi Siti Djenab dengan teguh dan tetap melanjutkan kegiatan memberdayakan kaum perempuan.

Atas jasa-jasanya dalam memajukan bidang pendidikan, Siti Djenab dianugerahi bintang Oranje Nassau voor Vrouw en Verdienste oleh Gubernur Jenderal Tjarda Van Starkenborg Stachouwer. Setelah Indonesia merdeka dan mendapatkan kedaulatannya, Siti Djenab pensiun pada tahun 1950. Setahun kemudian, pada 28 Februari 1951, saat usianya menginjak 61 tahun, Siti Djenab meninggal dunia.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//