CERITA ORANG BANDUNG (33): Nana, Jual Jeruk Peras Berbekal Ilmu Ikhlas
Keikhlasan menjadi ilmu andalan Nana Yuliani dalam menjalani dan menghadapi tantangan hidup.
Penulis Bani Hakiki16 Oktober 2021
BandungBergerak - Nana Yuliani (57) adalah seorang pedagang kaki lima yang biasa melapak di sekitar kawasan Monumen Perjuangan Rakyat, Bandung. Di tempat itu, Nana hanya berjualan jeruk peras kelas gerobak. Padahal, sebelumnya Nana adalah pengusaha konveksi sukses. Meski bangkrut, Nana tak menyerah. Tanpa minder, ia melakoni pekerjaan sebagai pedagang kaki lima dan membangun kembali hidupnya.
Perempuan kelahiran Kuningan, 1964 ini memutuskan pindah ke Kota Bandung bersama suami dan ketiga putrinya sejak 10 tahun yang lalu. Bagi Nana, Kota Bandung merupakan sebuah harapan besar untuk mencari nafkah dan menjalani hidup yang sejahtera. Tujuan utama kedatangannya ke Kota Kembang demi memberikan akses pendidikan yang berkualitas bagi anak-anaknya agar kelak mendapat kehidupan yang layak dan bahagia. Sayangnya, rencana itu tidak berjalan mulus karena dihadang berbagai kendala kehidupan urban yang tak pernah ia sangka sebelumnya.
Tabungan yang Nana kumpulkan bersama sang suami nyatanya tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan hidup yang sebelumnya ia bayangkan ketika awal kepindahannya. Biaya hidup di kota metropolitan diakuinya jauh lebih besar ketimbang di kampung halamannya. Apalagi kondisi perekonomian keluarganya ketika itu sedang tidak stabil dan cenderung dalam masa sulit. Meskipun demikian, Nana tetap berjuang mencari nafkah di Kota Bandung. Salah satu keyakinan yang ia pegang teguh dalam kesehariannya adalah ilmu ikhlas menjalani kehidupan.
“Mau hidup susah, mau hidup senang, yang terpenting buat saya ikhlas apa adanya sama apa yang sedang dihadapi. Soalnya kalau enggak begitu, dapat rezeki sebanyak apa pun juga enggak akan pernah puas. Namanya juga manusia ya,” tuturnya ketika ditemui Bandungbergerak.id di Taman Telkom, Sabtu (1/10/2021).
Para pedagang di wilayah Monumen Perjuangan Rakyat, mengenal Nana sebagai satu-satunya pedagang air jeruk peras keliling. Pemasukannya sekitar 100 ribu Rupiah pada hari biasa dan bisa melonjak dua kali lipat jika beruntung pada akhir pekan. Suaminya sudah pensiun dan melanjutkan bekerja sebagai pegawai serabutan di berbagai bisnis konveksi dengan pendapatan yang tidak menentu.
Pekerjaan sebagai pedagang jeruk peras itu baru Nana jalankan di tengah masa pagebluk Covid-19 pada pertengahan 2020 lalu. Ketika masa awal kepindahannya, ia berdagang seblak di halaman rumah kontrakannya di bilangan Jalan Gelatik, Sadang Serang. Pelanggan setianya mayoritas mahasiswa dan mulai sepi sejak pagebluk melanda karena banyak yang pulang kampung. Sebelum memutuskan pindah ke Kota Bandung, Nana sempat berpikir untuk pindah ke Jakarta dan mencari peruntungan di ibu kota. Tapi, pikiran itu akhirnya urung dijalankan karena merasa belum siap diterpa suasana sibuknya kota besar Jakarta.
“Dibanding di Jakarta, Bandung lebih nyaman untuk hidup sederhana. Saya juga harus memikirkan kehidupan anak-anak, gimana caranya supaya mereka bisa dapat pendidikan tinggi sekaligus hidup nyaman,” ujarnya sambil meladeni seorang pelanggan.
Dua dari tiga putrinya kini telah bekerja setelah lulus kuliah dan sudah hidup bersama keluarganya masing-masing. Sementara itu, si bungsu masih menjalani perkuliahan semester lima sambil membuka les privat dari rumah ke rumah sesuai bidang ilmu yang diambilnya, sastra Inggris.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (30): Kisah Jaja di Tengah Rontok Bisnis Hotel
CERITA ORANG BANDUNG (31): Sri Jamrud di antara Kopi, Bunga, dan Jerat Utang
Tertipu dan Bangkrut
Perjalanan Nana yang telah menelan manis dan pahitnya kehidupan menempanya hingga menjadi seorang perempuan tangguh hari ini. Di kampung halamannya dulu, ia sempat merasakan kehidupan bergelimang harta dan diakuinya hampir tak menjumpai kesulitan tertentu.
Nana dan suaminya sempat dikenal sebagai saudagar konveksi yang telah memasok beragam produknya ke sejumlah toko di Kuningan hingga ke Kota Bandung. Penghasilannya tentu saja lebih jauh dari cukup dan tak pernah khawatir urusan perekonomian. Maka dari itu, ia terus mendorong anak-anaknya untuk sekolah setinggi mungkin agar bisa selamat dari keterpurukannya selama satu dekade terakhir.
Suatu hari, Nana dan suaminya mendapat tawaran kerjasama menarik dari seorang pebisnis konveksi lain dari kota Bandung. Hampir setengah saham bisnisnya mereka investasikan kepada orang tersebut. Namun, akhirnya bisnis itu diakuisisi dan mereka pun terpaksa gulung tikar.
“Kalau diinget-inget dulu punya mobil, rumah, banyak uang tapi itu sudah lewat. Sekarang, saya jalanin hidup apa adanya saja. Ya, begitulah ketipu, mungkin ini ujian dari yang Maha Kuasa,” tuturnya. Meski kisahnya pahit, tapi Nana bercerita sambil tersenyum.
Ketika masih hidup sebagai saudagar konveksi, Nana menggambarkan dirinya sebagai seorang pebisnis yang tak pernah pelit ilmu. Pegawainya berjumlah puluhan orang dan ia selalu memberikan masukan sambil memberi beberapa tips dalam mengerjakan sebuah produk. Bahkan, beberapa mantan pegawainya telah membuka bisnis konveksi masing-masing di kampung halamannya.
Ada tips yang selalu Nana pegang saat itu, yaitu menyenangkan hati pelanggan. Ini merupakan sebuah strategi yang dibangun untuk mendapatkan asas kepercayaan antara produsen dan konsumen. Kepercayaan itulah yang dinilai sangat berharga untuk mencari mendapatkan pelanggan setia karena hubungan seperti itu tidak mudah dibangun. Tips ini masih terus Nana terapkan meski konveksi tak lagi menjadi bisnisnya.
“Saya mah dari dulu ke pelanggan selalu komunikatif supaya mereka juga nyaman. Kita memang harus begitu ke konsumen, gimana pun caranya supaya hati mereka senang. Kayak sekarang, saya juga gitu ke pembeli, yang penting ikhlas,” kata Nana sambil memangku dagu di tangannya.
Bahagia karena Berbagi
Walaupun kehidupan Nana saat ini tidak semudah sebelumnya, tapi ia menjalani dengan ikhlas. Berserah diri dan beribadah sesuai kepercayaan adalah cara paling ampuh untuk mengobati segala macam tantangan hidup. Kebiasaan ini merupakan ilmu yang telah di tanam sejak kecil oleh kedua orang tuanya. Selain itu, Nana juga tak pernah lupa untuk rajin berbagi kepada sesama manusia, terutama bagi mereka yang jauh lebih tidak beruntung. Dengan cara itulah, ia bisa dengan mudah mensyukuri apa yang dimiliknya hari ini.
“Enggak perlu jadi orang kaya untuk sodakoh, kapanpun kita bisa berbagi ke sesama. Dalam keadaan apapun kita harus ikhlas. Apalagi lagi pandemi gini mah. Saya masih termasuk beruntung karena masih banyak orang yang lebih susah,” ujarnya dengan nada tegas.
Cara Nana untuk mengikhlaskan segala hal yang dilakukannya yaitu dengan menaruh kepercayaan bahwa Tuhan akan selalu memberikan balasan yang setimpal atas apa yang dilakukannya. Baginya balasan itu tidak melulu soal rezeki berbentuk harta, melainkan hal-hal kecil yang dapat disyukuri seperti melihat kesehatan anak-anaknya. Ia pun mengaku sering berdoa dan berharap agar pagebluk segera usai demi kebaikan bersama banyak orang.
Setiap pekan, Nana selalu menyempatkan dirinya untuk menyumbang sedekah di salah satu pesantren di bilangan Dago Pojok. Meskipun harta kekayaannya tidak melimpah, Nana tetap berbagi. Ia mengaku merasa senang ketika melihat orang yang lebih sulit darinya bisa menjalani hidup dari sumbangan yang tidak seberapa nilainya.