• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG (30): Kisah Jaja di Tengah Rontok Bisnis Hotel

CERITA ORANG BANDUNG (30): Kisah Jaja di Tengah Rontok Bisnis Hotel

Kisah Jaja (60) adalah juga kisah ribuan orang yang selama ini mengandalkan pendapatan dari bisnis hotel. Akibat pandemi Covid-19, mereka kehilangan pendapatan.

Jaja (60), ditemui di hotel Graha Sartika di Lingkar Selatan, Kota Bandung, Rabu (1/9/2021). Setelah 22 tahun bekerja, ia kehilangan status kekaryawanannya sejak tahun lalu akibat pandemi. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri/BandungBergerak.id)

Penulis Boy Firmansyah Fadzri10 September 2021


BandungBergerak.id - Pagebluk Covid-19 meluluhlantakkan banyak sendi hidup warga. Termasuk bisnis pariwisata yang mengandalkan mobilitas warga. Hotel-hotel berhenti beroperasi. Di situs jual-beli properti daring, tidak sedikit hotel dan rumah penginapan dijual. Yang besar dan yang kecil.

Di kawasan Lingkar Selatan, Kota Bandung, ada sembilan hotel yang beroperasi dalam jarak yang sangat rapat. Hotel Graha Sartika, satu dari sembilan hotel itu, sudah tidak beroperasi sejak bulan-bulan pertama pandemi Covid-19. Jaja (60), salah satu bekas pekerjanya.

“Hotel ini tutup karena akan dijual pemiliknya. Betul, dijual karena terdampak pandemi,” kata Jaja kepada Bandungbergerak.id, Rabu (1/9/21) lalu.

Sudah 22 tahun lamanya Jaja menggantungkan pendapatannya dari hotel dengan 18 kamar tersebut. Malang baginya, dan juga rekan-rekan kerjanya, wabah Covid-19 mengguncang tanpa ampun. Jaja dan delapan orang lain menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaan tak sanggup lagi memutar roda bisnisnya.  

Petang itu Jaja tampak asyik bermain teka-teki silang, sekadar untuk menghibur diri ketika bertugas seorang diri. Status kekaryawanan Jaja memang telah selesai sejak Mei 2020 lalu, tapi ia dan seorang temannya diberi tugas untuk menunggui hotel tersebut selama belum menemukan pemilik barunya.

Meski hotel tidak beroperasi, selama pagebluk Jaja menghabiskan seluruh waktunya di sana. Hotel dengan luas 460 meter persegi itu seperti hotel tua pada umumnya. Dihiasi ornamen kayu dan furnitur khas warna kayu dengan sedikit polesan vernis yang membawa suasana kembali ke tahun 90-an.

Sebagai petugas yang berkerja melayani tamu hotel, Jaja dan rekan-rekan lainnya tak jarang menerima insentif dari para pengunjung hotel. Meski tak sebesar yang dibayangkan, setidaknya insentif tersebut menjadi pemasukan tambahan bagi mereka. Pegebluk membuat semua itu lenyap seketika.

Karena hotel tempat Jaja berkerja bukan hotel mewah dengan ratusan kamar, sebagian besar tamunya adalah pelanggan tetap atau yang telah berulang kali menginap di sana. Jaja bahkan masih mengingat nama-nama sebagian dari mereka, lengkap dengan kota asalnya. Tak sedikit dari para tamu itu bersikap dermawan ke para pegawai hotel.

“Salah satunya adalah Pak Robi asal Jakarta. Dia adalah pengusaha, setiap kali menginap di sini menyisihkan satu juta rupiah sebagai insentif bagi seluruh karyawan. Karyawan kan sembilan, uang dibagi rata, lalu sisanya jadi jatah kotak amal di atas meja front office,” tutur Jaja.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (29): Icam, Sepeda, dan Keresahan Anak Muda pada Pemanasan Global
CERITA ORANG BANDUNG (28): Penjualan Seragam Sekolah Nyai Sepi Senyap Selama Pagebluk
CERITA ORANG BANDUNG (27): Keuletan Duki, dari Pengamen Jalanan Menjadi Perajin Tahu

Koperasi dan Pesangon

Selama berkerja di hotel tersebut, Jaja mengalami satu kali pergantian pemilik. Pada tahun 2004, pemilik hotel sebelumnya, saudara istri Jaja, menjual hotel tersebut karena memutuskan pindah bermukim di luar negeri dengan memboyong serta istri dan dua orang anaknya.

Di bawah pemilik barunya, beberapa kebijakan perusahaan hotel itu berganti. Beberapa di antaranya membuat Jaja dan rekan-rekan sekerjanya gerah. Sebagai jalan keluar, mereka meminta izin mendirikan koperasi.

Koperasi yang didirikan Jaja dan kawan-kawannya itu adalah koperasi konsumsi yang menyediakan barang-barang kebutuhan para tamu hotel. Selain itu, koperasi juga mampu memberikan pinjaman bagi para anggotanya.

“Karena pemilik (hotel) yang baru tidak menginzinkan kami meminjam uang, demi menjamin kesejahteraan kami dan keluarga, akhirnya dirikanlah koperasi,” kata Jaja.

Jaja memiliki latar belakang yang cukup untuk mengelola koperasi. Lulusan SMEA ini pernah malang-melintang di dunia perbankan dalam kurun 1982-1997. Bagi Jaja, koperasi menjadi model ekonomi yang ideal untuk menumbuhkan kesejahteraan komunal.

“Kami sangat kompak. Yang terpenting adalah kejujuran. Setiap petugas sif betul-betul mencatat pemasukan dan pengeluaran koperasi. Selain itu ada kepuasan batin di antara anggota karena semua rasanya seperti keluarga sendiri,” ucapnya.

Sejak hotel berhenti beroperasi, koperasi pun terpaksa tutup. Seluruh modal dan keuntungan disepakati untuk dibagikan merata kepada seluruh anggotanya, menjadi tambahan pendapatan di penghujung masa kerja.

Walau tidak banyak, Jaja dan kawan-kawan menerima pesangon dari pihak hotel ketika memutuskan PHK. Mereka menerima honor bulan terakhir ditambah jumlah pesangon sebesar satu juta rupiah per satu tahun masa kerja.

Jaja merasa jumlah yang ia terima cukup untuk menjalani kehidupan masa tua di kampung halamannya meski hingga saat ini ia belum tahu apa yang hendak dilakukan. Jaja belum bisa membayangkan dirinya benar-benar pensiun dari dunia perhotelan. Yang ia tahu bisa ia kerjakan adalah bersyukur setiap saat.

“Kalau kita sebut kurang, ya kurang. Tapi kita syukuri aja apa pun (yang dimiliki). Yang penting keluarga bisa menerima,” ucapnya.

Hotel Graha Sartika di Lingkar Selatan Kota Bandung, dengan 18 unit kamarnya, dijual oleh si pemilik akibat bisnis yang rontok selama pagebluk. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri/BandungBergerak.id)
Hotel Graha Sartika di Lingkar Selatan Kota Bandung, dengan 18 unit kamarnya, dijual oleh si pemilik akibat bisnis yang rontok selama pagebluk. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri/BandungBergerak.id)

Karier Perbankan

Jaja adalah ayah dari empat anak asal kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Tiga anak Jaja telah bekerja dan berkeluarga. Si bungsu saat ini duduk di bangku kelas dua SMA.

Jauh sebelum berkerja di hotel Graha Sartika, Jaja pernah berkerja sebagai petugas koperasi di bawah naungan Kopassus Angkatan Darat. Setelah satu tahun bekerja di markas elite militer tersebut, karier Jaja berlanjut sebagai bankir di salah satu bank rakyat milik negara.

Sayang seribu sayang, karier Jaja terhenti di tahun kedelapannya sebagai bankir. Ia harus kehilangan pekerjaan setelah salah seorang teman satu timnya dituduh melakukan pelanggaran.

“Kalau dulu kan sistemnya masih manual. Setiap kecamatan cuma ada empat orang yang kerja. Otomatis kalau satu berbuat, yang lain juga terkait,” kenang Jaja.

Usai melepaskan jabatannya, Jaja melanjutkan karier bankirnya di salah satu bank perkreditan rakyat di kampungnya di Kabupaten Kuningan. Namun lagi-lagi ia harus terhenti di tengah jalan. Kali ini akibat krisis moneter yang mengguncang Indonesia di penghujung dekade 1990-an. Ketika itu banyak debitur bankrut, kredit-kredit mendadak macet, aliran uang menjadi tersendat, dan bank-bank gulung tikar.

Peruntungan Jaja menggelinding hingga ke Kota Kembang ketika ia memperoleh tawaran berkerja di hotel Graha Sartika milik saudara istrinya. Peruntungan itulah yang kini rontok dihantam pandemi Covid-19.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//