• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG (28): Penjualan Seragam Sekolah Nyai Sepi Senyap Selama Pagebluk

CERITA ORANG BANDUNG (28): Penjualan Seragam Sekolah Nyai Sepi Senyap Selama Pagebluk

Kerja kerasnya membuahkan pendidikan tinggi bagi anaknya. Kini, usahanya terpukul pagebluk berkepanjangan.

Nyai Widyaningsih (58), pedagang perlengkapan seragam sekolah di bilangan Lapangan Tegallega, Bandung, mengaku omset penjualannya anjlok selama pagebluk Covid-19, Sabtu (4/9/2021). (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki5 September 2021


BandungBergerak.idNyai Widyaningsih (58) mulai melakoni jualan seragam sekolah untuk sekolah dasar hingga sekolah menengah atas sejak pertengahan 1990, setiap mendekati masa pergantian tahun ajaran baru. Ia bukan seorang saudagar pemilik gerai atau toko besar, melainkan pedagang kaki lima (PKL) yang mempertaruhkan hidupnya pada gerobok roda empat yang biasa mangkal di sekitar Lapangan Tegallega, Bandung.

Omset penjualan Nyai menurun drastis sejak Maret 2020 lalu, ketika pagebluk Covid-19 mulai menghantui Kota Bandung. Antusias orang tua murid untuk membeli seragam sekolah tak semarak tahun-tahun sebelum pagebluk.

Di sekitar Lapangan Tegallega, sebenarnya bukan lapak PKL Nyai saja yang terdampak pagebluk Covid-19. Semua PKL di sana merasakan masa suram pandemi Covid-19, terutama dampaknya terhadap ekonomi akibat kebijakan-kebijakan pembatasan sosial mulai PSBB tahun lalu hingga PPKM berlevel-level tahun ini.

“Barang-barang ini saya dapat dari konveksi, bayar di akhir. Saya Cuma ngambil persenan dari yang laku aja. Tahun sekarang mah, susah laku soalnya sekolahnya juga ditutup, (murid) belajar di rumah. Gak tahu sampai kapan,” ungkap Nyai Widyaningsih, ketika ditemui di lapak dagangnya, Sabtu (4/9/2021).

Pendapatannya dari berjualan seragam sekolah anjlok hingga lebih dari 70 persen dibandingkan masa sebelum pagebluk. Modal usahanya terus-terusan terkuras. Memang bisnis Nyai sangat bergantung pada aktivitas belajar mengajar di sekolah.

Tahun ajaran baru yang akan dihelat Senin, 8 September 2021, pun tampaknya masih suram bagi Nyai. Pasalnya, pembelajaran tatap muka belum sepenuhnya digelar. Pemerintah Kota Bandung masih menerapkan pembelajaran campuran antara tatap muka dan daring. Hal ini ditempuh demi mencegah potensi penyebaran Covid-19.

Selama lebih dari satu bulan terakhir berjualan, Nyai hanya mendapat omset Rp 210 ribu, hasil penjualan empat buah sabuk, dua buah topi SD, satu seragam SD, dan satu dasi sekolah menengah pertama (SMP). Omset tersebut selanjutnya dipotong distributor. Dan Nyai sendiri hanya mengantongi laba 25 persen.

Pendapatan itu tentu saja tidak sebanding dengan tenaga, waktu dan pengeluaran rutinnya. Setiap hari ia biasa berjualan pukul 9 pagi hingga pukul 8 malam. Ia masih harus membayar uang kontrakan rumah sebesar Rp 9 juta per tahun yang tahun ini terpaksa menunggak.

“Harusnya tanggal 10 kemarin terakhir bayar kontrakan teh tapi sampai sekarang belum ada uangnya. Tapi, ada keringanan dari yang punya (kontrakan). Insyaallah-lah rezeki mah gakkan ke mana, sugan weh (siapa tahu) ada nanti mah,” ujar perempuan yang ngongtrak di bilangan Babakan Irigasi, 3 kilometer dari Lapangan Tegallega yang menjadi tempatnya jualan seragam sekolah itu.

Baca Juga: Cerita Orang Bandung (23): Syukur Iah, Penjual Surabi
CERITA ORANG BANDUNG (24): Dari Masker Kain hingga Bendera Merah Putih
CERITA ORANG BANDUNG (25): Seorang Perempuan Penjual Telur Gulung yang Tangguh dan Empat Anaknya yang Berkuliah
CERITA ORANG BANDUNG (26): Pagebluk di Mata Penjual Bubur Kacang Hijau
CERITA ORANG BANDUNG (27): Keuletan Duki, dari Pengamen Jalanan Menjadi Perajin Tahu

Nyai Widyaningsih (58), berkelana ke Kota Bandung sejak 1983, mengikuti jejak sang suami yang bekerja sebagai pedagang buah-buahan. (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)
Nyai Widyaningsih (58), berkelana ke Kota Bandung sejak 1983, mengikuti jejak sang suami yang bekerja sebagai pedagang buah-buahan. (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Perguruan Tinggi untuk Sang Anak

Nyai Widyaningsih, perempuan kelahiran Garut, 1963, ini menikah sejak usia 20 tahun dengan pria tercinta dari kampung halamannya, Rohim. Nyai dan Rohim merupakan satu almamater dari salah satu sekolah negeri di Garut. Setelah menikah pada 1983 lalu, Nyai mengikuti jejak sang suami untuk berkelana ke Kota Bandung sebagai pedagang buah-buahan di Pasar Caringin.

Nyai dan Rohim dikaruniai dua putri yang kini sudah bekerja dan membangun rumah tangga masing-masing. Salah satu cita-cita Nyai adalah menjamin pendidikan bagi buat hatinya. Kerja keras Nyai dan suaminya nyatanya membuahkan hasil hingga putri pertamanya bisa lulus kuliah dengan gelar sarjana Ilmu Komunikasi di salah satu universitas swasta di Bandung. Sedangkan si bungsu, begitu lulus SMA lebih memilih langsung bekerja.

Bagi Nyai, pendidikan merupakan hal yang sangat berharga dan sebagai bekal untuk anak-anaknya dalam mengarungi kehidupan.

“Dulu mah alhamdulillah dagang buah juga bisa nguliahin anak sampai lulus kuliah, pendapatan seadanya juga tetap bisa nabung. Sekarang mah atuh ripuh (susah) buat makan sehari aja seret,” tuturnya.

Di sela jualan seragam sekolah yang dilakukan per musim ajaran baru, Nyai turut membantu jualan buah suaminya. Mereka mendapat pasokan buah-buahan dari beberapa distributor. Jenis buah yang dijual terdiri dari lengkeng, apel, sawo, dan lain-lain tergantung musimnya. Dari situ, mereka mendapatkan keuntungan 15 persen.

Sebelum pagebluk, pendapatan mereka bisa mencapai Rp 150 ribu per hari.  Namun, penghasilan mereka merosot tajam sejak pagebluk. Mungkin orang-orang lebih mementingkan kebutuhan pokok seperti beras daripada belanja buah-buahan.

Selama pagebluk berlangsung, pelanggan yang menyambangi gerainya bisa dihitung dengan jari. Sedangkan buah yang mereka jual bersifat tidak tahan lama. Mereka harus berpacu dengan waktu sebelum buah-biahan yang dijualnya kematangan dan membusuk. Jika busuk, mereka yang harus nombok modal.

Bahkan, Nyai sampai sempat pulang ke kampung halamannya dan bekerja serabutan di sana karena kehabisan modal jualan. “Kalau di kampung mah kerja apa aja bisa soalnya banyak saudara juga, dagang sayur, ngojek, atau ngebon (berkebun) biasanya. Apa aja dikerjain,” terangnya.

Selintas Bantuan pemerintah

Perekonomiam Nyai dan suami selama pagebluk sangat memprihatinkan. Tak jarang mereka harus menjalani puasa demi mengirit uang. Tapi, ia cukup bersyukur karena dengan menjalani hidup hemat ia jadi bisa menabung pahala puasa Senin-Kamis sesuai sunah yang diajarkan kepercayaannya.

Sebagai salah satu pelaku usaha yang terdampak pagebluk Covid-19, Nyai hanya mendapatkan satu kali bantuan sebesar Rp 1,2 juta tahun lalu. Begitu pun dengan bantuan sosial tunai yang ia dapatkan hanya satu kali pada tahun yang sama sebesar Rp 300 ribu.

“Pernah dapat bantuan itu 1,2 (juta), cuma cukup buat biaya makan satu-dua bulanan. Gak kerasa habisnya juga, apalagi dipakai buat modal usaha. Pas bansos PPKM juga saya gak dapat, kudu ngurusin surat-surat soalnya KTP bukan asli sini,” ceritanya sambi tersenyum tegar.

Nyai berharap pihak pemerintah bisa mengalirkan gelontoran dana bantuan kepada orang-orang kesusahan seperti dirinya secara merata. Bantuan yang tak merata hanya memicu kecemburuan sosial.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//