• Cerita
  • CERITA ORANG BANDUNG (25): Seorang Perempuan Penjual Telur Gulung yang Tangguh dan Empat Anaknya yang Berkuliah

CERITA ORANG BANDUNG (25): Seorang Perempuan Penjual Telur Gulung yang Tangguh dan Empat Anaknya yang Berkuliah

Rina (57) menjadi orang tua tunggal bagi empat anak sejak empat tahun lalu. Di tengah berbagai keterbatasan, dia mewujudkan mimpi menguliahkan keempatnya.

Rina (57), ditemui di lokasinya berjualan telur gulung dalam gerobak kaki lima di Jalan Jalaprang, Bandung, Rabu (4/8/21). Hasil berjualan inilah yang jadi sandaran pendapatan keluarga Rina sejak tiga tahun lalu. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri/BandungBergerak.id)

Penulis Boy Firmansyah Fadzri16 Agustus 2021


BandungBergerak.id - Rina (57) mulai menjual telur gulung dalam gerobak kaki lima di pinggiran Jalan Jalaprang, Bandung, sejak tiga tahun lalu. Ini pilihan yang harus dia ambil. Setahun sebelumnya, sang suami, yang sebelumnya mencukupi setiap kebutuhan keluarga dengan bekerja sebagai pengemudi odong-odong, meninggal.

Rina memikul tanggung jawabnya sebagai orang tua tunggal bagi empat orang anak. Bekerja di jalanan tentu saja bukan perkara mudah. Umurnya tak lagi muda.

Rina pernah bekerja. Namun itu sudah lama sekali. Di masa lajangnya, dia pernah menjadi guru di sebuah sekolah taman kanak-kanak (TK) selama lebih dari lima tahun. Namun sejak menikah, Rina memilih mencurahkan seluruh waktu dan tenaga untuk membesarkan anak-anaknya.

“Setelah yang sulung lahir, saya memutuskan untuk berhenti berkerja,” ujar Rina, saat ditemui BandungBergerak.id, Rabu (4/8/21) lalu.

Si sulung saat ini menjadi mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Bandung, sementara adiknya masih bersekolah di perguruan tinggi ilmu kesehatan di Cimahi. Sebagai bungsu, ada dua anak laki-laki kembar yang hendak masuk perguruan tinggi.

Memiliki anak kembar adalah pengalaman yang tak dimiliki semua orang. Diakui Rina, impian memiliki anak kembar adalah keinginan mendiang suaminya. Dia bersykur, Tuhan mengabulkan permintaan tersebut.

Pengalaman merawat dan membesarkan anak kembar memang sedikit berbeda dibandingkan anak biasa. Entah sebuah kebetulan atau memang begitulah lazimnya, berdasarkan pengalaman Rina, anak kembar kerap kali mengalami kejadian yang sama.

“Jadi pernah suatu waktu yang satu jatuh, lalu cedera. Selang beberapa hari yang satunya juga jatuh. Itu terjadi sampai mereka lulus SD,” kata Rina.

Suatu saat Rina pernah melihat sebuah tayangan televisi yang memberitakan kisah seorang pengemudi odong-odong yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Di hadapan suami dan anak-anaknya, dia mengungkapkan harapan secara spontan.

“Tuh lihat, bapak itu aja bisa sekolahkan anaknya sampai kuliah meski hanya berprofesi sebagai tukang odong-odong. Pokoknya ibu juga ingin semua anak ibu berkuliah, biar ibu aja yang blusukan, gimana pun caranya,” tutur Rina, menirukan apa yang pernah dia ucapkan.  

Perjalanan hidup memang kerap kali berliku dan penuh rintangan. Sama seperti yang Rina rasakan. Kondisi ekonomi yang serba terbatas nyaris saja membatalkan keinginan si sulung untuk melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah.

“Si sulung merengek ingin berkuliah, tapi saat itu di pikiran saya: uangnya dari mana? Sementara ayah sudah berpulang dan saat itu saya belum berjualan,” ucap Rina.

Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (24): Dari Masker Kain hingga Bendera Merah Putih
Cerita Orang Bandung (23): Syukur Iah, Penjual Surabi
Cerita Orang Bandung (22): Ketangguhan Mak Ina

Relawan Sosial

Rina muda aktif sebagai relawan di salah satu organisasi masyarakat, Swadaya Muda. Organisasi tersebut bergerak di ranah pemberdayaan masyarakat, mengurusi anak-anak kurang beruntung, kelompok marjinal, dan masyarakat miskin kota. Rina didaulat sebagai bendahara.

Sesekali Rina juga membantu mencari anak-anak yang kurang beruntung untuk disekolahkan. Diakuinya, saat itu medio tahun 1980-an lanskap sosial-ekonomi masyarakat kota Bandung memang tak jauh berbeda dengan hari ini. Kesenjangan ekonomi berserakan di sudut-sudut kota.

“Kondisinya tidak jauh berbeda dengan hari ini. Mungkin hari ini tidak terlalu banyak terekspos saja. Kalau kita mau cari, saya rasa masih banyak orang-orang yang kurang beruntung di luar sana,” tuturnya.

Bagi Rina, menjadi relawan atau perkerja sosial tak butuh alasan tertentu. Dia pun bahkan tak tahu mengapa akhirnya dia berkecimpung di gerakan tersebut. Seingat Rina, memang tak ada satu pun alasan spesifik. Hanya perasaan bahagia yang dia rasakan selama berkegiatan bersama organisasinya.

“Namanya juga orang sosial, gak mikirin untung dan rugi. Mau jauh mau dekat, mau capek mau enggak, kita kejar aja,” ucapnya.

Di tengah segala keterbatasan, Rina (57) berhasil mewujudkan mimpinya dan sang suami, yang telah meninggal empat tahun lalu, untuk mengirimkan semua anak mereka ke bangku kuliah. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri/BandungBergerak.id)
Di tengah segala keterbatasan, Rina (57) berhasil mewujudkan mimpinya dan sang suami, yang telah meninggal empat tahun lalu, untuk mengirimkan semua anak mereka ke bangku kuliah. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri/BandungBergerak.id)

Pertolongan-pertolongan

Peribahasa “apa yang kau tanam, itulah yang kau petik” nyatanya sangat relevan dengan kehidupan Rina. Setelah puluhan tahun berpisah dengan rekan-rekan di organisasinya dulu, suatu hari Rina diundang untuk reuni. Si sulung turut serta dalam pertemuan tersebut.

Memang sudah menjadi garis takdir Rina, pertemuan itu akhirnya membukakan pintu rezeki. Bak mimpi di siang bolong, si sulung yang saat itu kebingungan untuk melanjutkan pendidikan karena terkendala ekonomi akhirnya mendapatkan tawaran berkuliah dengan biaya yang ditanggung salah seorang rekan Rina semasa di organisasi Swadaya Muda.

“Saya merasa doa saya lagi-lagi terwujud. Mungkin karena rekan itu melihat keinginan anak saya yang sangat besar untuk berkuliah,” katanya.

Kebaikan rekan Rina tak berhenti sampai di situ. Putri kedua Rina juga akhirnya dapat mengenyam pendidikan tinggi berkat bantuannya. Sementara itu, si sulung saat ini telah memasuki tingkat akhir kuliah dan sudah berpenghasilan dari hasil kerjanya sebagai pengajar pribadi bagi murid-murid sekolah dasar.

Bungsu kembar pun berhasil mengenyam pendidikan tinggi di salah satu perguruan teknik swasta di Bandung. Kali ini giliran pemerintah yang menolong Rina. Berkat Kartu Indonesia Pintar (KIP), si kembar bisa berkuliah.

Syukur Rina tak pernah surut. Di masa-masa sulit, nyatanya selalu ada pintu yang dibukakan semesta untuknya. Dia percaya, suratan takdir memang telah dituliskan di atas garis tangan masing-masing umat-Nya. Namun, selagi masih ada keinginan untuk berusaha, Rina yakin ada jalan untuk mewujudkan mimpi.

“Meski hanya penjual telur gulung, saya ingin semua anak saya berhasil menyelesaikan pendidikan tingginya dan melanjutkan kehidupannya seperti yang semestinya,” tutur Rina. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//