Cerita Orang Bandung (23): Syukur Iah, Penjual Surabi
Iah (58) sudah 20 tahun berjualan surabi di simpang Jalan Sidomukti, Bandung. Meski pendapatan turun akibat pandemi, meski tiada bansos, dia tidak hilang syukur.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri4 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Sinar matahari yang cukup terik menemani Iah (58) membakar batang-batang kayu yang digunakannya untuk membuat surabi di simpang Jalan Sidomukti, Bandung, Sabtu (31/7/2021). Sudah 20 tahun lebih dia menggantungkan pendapatan dari pekerjaan ini. Dalam setiap surabi yang terjual, Iah merawat harapan.
Iah tak ingat betul tahun berapa tepatnya dia meninggalkan kampungnya di Desa Talaga, Majalengka, untuk mengadu nasib di Kota Bandung. Yang dia ingat betul adalah betapa memprihatinkannya kondisi ekonomi keluarga sehingga mengharuskannya mencari peluang baru.
Ketika itu Iah memiliki enam orang anak. Bersama sang suami, dia memperoleh pendapatan dari bertani. Namun, karena lahan yang mereka olah tidak kecil belaka, pendapatan pun mentok.
“Kasihan sama anak kalau kebutuhan mereka tidak tercukupi,” katanya.
Iah pun membulatkan niat meninggalkan kampung halaman. Atas saran salah seorang saudaranya, dia berjualan. Surabi jadi pilihan sejak awal dia datang ke Kota Kembang karena itulah keterampilan yang paling dia bisa.
Saat ini Iah tinggal di bilangan Sukalyu dengan menyewa sebuah kamar seharga 500.00 per bulan. Sebelum matahari terbit, dia sudah menyiapkan segala keperluan untuk berjualan surabi. Menjalang kumandang azan zuhur, Iah pulang untuk makan dan beribadah, sebelum melanjutkan berjualan mulai pukul 14.00 hingga menjelang matahari terbenam.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (22): Ketangguhan Mak Ina
Cerita Orang Bandung (21): Kemandirian Monik dalam Gerobak Toppoki
Cerita Orang Bandung (20): Kering Keringat Tiga Kuli Panggul Pasar Baru
Menjadi penjual surabi di jantung metropolitan merupakan pekerjaan yang gampang-gampang susah. Selain mesti bersaing dengan beragam jenis jajanan lain yang lebih inovatif, kayu bakar juga semakin sulit diperoleh oleh penjual surabi seperti Iah. Kalau pun ada, harganya sudah mahal dan letaknya biasanya jauh. Itulah sebabnya Iah saat ini lebih sering menggunakan kayu dari limbah bangunan.
“Cari suluh di kota mah susah. Pohonnya udah banyak yang jadi gedung,” kata Iah sambil tersenyum menyindir.
Awalnya Iah berjualan di bawah tenda yang melindunginya dari terik dan hujan. Lokasinya di lahan parkir sebuah taman kanak-kanak. Karena kompleks gedung sekolah yang dia tumpangi telah rampung dibangun, dia tak lagi bisa mempertahankan tendanya itu.
Pagebluk Covid-19 berimbas ke pekerjaan yang jadi gantungan hidup Iah. Akibat kebijakan-kebijakan pembatasan dan pelarangan aktivitas warga, dalam 1,5 tahun terakhir ini dia lebih banyak menghabiskan waktu di kampungnya di Majalengka.
“Baru empat hari terakhir (saya) jualan lag, cep. Sebelumnya karena di-lockdown ibu pulang dulu ke kampung. Gitu aja, cep, berkali-kali,” tuturnya.
Meski sudah telah senja, Iah mengaku tak bisa lebih lama lagi berdiam di rumah. Suaminya sudah lebih dari lima tahun tak lagi bertani karena kondisi kesehatannya yang terus menurun. Sebagian besar anak bekerja di sektor informal di kampung. Uang yang diperoleh Iah dari berjualan surabi masih menjadi andalan keluarga.
“Penginnya mah cep tinggal di rumah, kalau punya uang mah. Cuma gimana, da butuh,” katanya.
Tak Bisa Divaksin, Belum Pernah Dapat Bansos
Cerita Iah tak habis sampai di situ. Selama tinggal di kampung, dia menyaksikan situasi yang kontras bila dibandingkan dengan Kota Bandung, terutama selama pandemi Covid-19. Di kampungnya, kasus terkonfirmasi jarang sekali ditemukan. Aktivitas warga cenderung tidak ada perubahan seperti di masa sebelum pandemi.
“Di kampung saya, Covid-19 enggak ada. Mungkin karena saya tinggal di kaki gunung, ya. Penduduknya sama sekali tidak padat,” ucapnya.
Meski begitu, bukan berarti Iah tak percaya Covid-19. Dia mengaku lebih terbiasa mengamati lingkungan di sekitarnya ketimbang melihatnya dalam layar kaca. Pemberitaan televisi membuat Iah merasa cemas terhadap kondisi hari ini. Apalagi membayangkan betapa berbahayanya wabah yang sedang berlangsung.
Iah yang sudah sepuh mengaku tak bisa mendapatkan vaksin. Dia sudah terdaftar mengikuti program vaksinasi, namun sayangnya hasil pemeriksaan medis membuatnya tak bisa mendapatkannya.
“Sempat mau divaksin, cuma kan ibu teh darah tinggi. Kalau ditensi suka lebih dari 200 tekanannya, jadi disuruh pulang lagi,” katanya.
Selain tak bisa mendapatkan vaksin, hingga saat ini, Iah tak pernah menerima bantuan sosial (bansos) apapun dari pemerintah, entah sembako atau uang tunai. Baik di kampung halamannya, maupun di perantauannya. Iah tak tahu kenapa namanya tak ada di daftar penerima.
Toh Iah tidak ambil pusing. Dia lebih memilih berusaha dan mensyukuri apa yang dimilikinya daripada larut dalam harapan yang tak kunjung ada.
“Mungkin bukan rezekinya, cep,” tutur Iah. “Sekarang mah Alhamdulillah masih bisa jualan.”