• Cerita
  • Cerita Orang Bandung (21): Kemandirian Monik dalam Gerobak Toppoki

Cerita Orang Bandung (21): Kemandirian Monik dalam Gerobak Toppoki

Setelah lima tahun bekerja kantoran, Monik memilih menjadi PKL di kawasan Gasibu Mini, Antapani. Sejak empat bulan lalu dia menjual makanan khas Korea, toppoki.

Monica Yulimah (23), akrab disapa Monik, ditemui ketika sedang menunggui gerobak toppoki di kawasan Gasibu Mini, Antapani, Jumat (23/7/21). Sudah sejak empat bulan lalu, dia menggantungkan hidup dari hasil berjualan waralaba ini. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri)

Penulis Boy Firmansyah Fadzri27 Juli 2021


BandungBergerak.id - Monica Yulimah (23) bukan penggemar K-pop. Dia juga tidak berpengalaman dalam bidang usaha kuliner. Namun, gerobak toppoki, semacam produk makanan beku yang diolah dengan bumbu ala Korea, yang ia buka empat bulan lalu telah menjadi penolong di masa-masa sulit pandemi.

Monik, begitu Monica biasa disapa, merupakan salah satu pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Gasibu Mini, Kecamatan Antapani, Bandung. Sebelumnya, selama sekitar lima tahun lamanya, dia malang-melintang bekerja di berbagai perusahaan swasta.

Pagebluk Covid-19 membuat perusahaan terakhir Monik terguncang hingga tak sanggup lagi memenuhi hak-hak perkerjanya. Ia memutuskan untuk mundur setelah dua setengah tahun bekerja.

“Modal nekat sih kalau (berjualan topokki) ini, karena sebelumnya aku kan kerja (kantoran). Sebenarnya aku gak terlalu suka nonton drakor (drama korea). Kebetulan ditawarin untuk frenchise ini juga,” ujar Monik saat dijumpai Bandungbergerak.id, Jumat (23/7/21) lalu.

Mendapat tawaran dari rekanan sang ayah, Monik memberanikan diri untuk membuka usaha warlaba meski di masa pandemi. Karena tabungan miliknya tak cukup, ia meminjam uang dari ibu tirinya. Syaratnya, usaha baru ini harus melibatkan anak sang ibu tirinya tersebut.

Tak perlu pikir panjang, Monik mengiyakan tawaran tersebut meski ia tidak mengenal dekat kakak tirinya dan hanya tiga kali bertemu sebelumnya. Namun, setelah dua bulan usaha berjualan toppoki berjalan, kakak tirinya pergi dan tak kunjung kembali. Tinggal Monik sendiri harus melanjutkan usaha.

Monik menyewa lahan selebar trotoar di bibir jalan Kuningan, Antapani. Biayanya dipatok 280 ribu rupiah per bulan, sudah termasuk biaya listrik. Pengelolanya adalah salah satu ormas (organisasi masyarakat). Tak ada kejelasan terkait transparansi pengelolaan uang sewa tersebut. Toh Monik mengaku tidak keberatan dengan semua biaya itu.

Sebagai PKL, Monik pernah mengalami beberapa kejadian yang tidak mengenakkan. Pernah dia hampir bentrok dengan seorang pemuda mabuk yang singgah di tempatnya. Mengaku sebagai preman setempat, lelaki itu dengan culas menolak membayar jajanan yang dibeli di gerobak Monik, lalu mengeluarkan makian.  

Monik menendang kaki lelaki tersebut saat berupaya menggulingkan gerobak jualannya. Si lelaki mabuk mengajaknya berduel di lapangan luas. Beruntung, beberapa warga yang melihat kejadian tersebut berhasil melerai keduanya.

“Sebetulnya kalau orangnya waktu itu ngomong minta (makanan). akan saya kasih kok. Cuma satu porsi, harganya juga gak seberapa. Tapi caranya gak kaya gitu dong,” ucap Monik.

Agar bisa berjualan di kawasan Gasibu Mini, Antapani, Monik membayar sewa sebesar 280 ribu rupiah per bulan, sudah termasuk biaya listrik. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri)
Agar bisa berjualan di kawasan Gasibu Mini, Antapani, Monik membayar sewa sebesar 280 ribu rupiah per bulan, sudah termasuk biaya listrik. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri)

Keretakan Rumah Tangga

Kondisi keluarga menuntut Monik mandiri sejak kecil. Ketika duduk di bangku kelas enam sekolah disar, dia harus dipindahkan ke Kebumen akibat keretakan rumah tangga yang dialami ayah dan ibunya. Di sana, Monik tinggal bersamsa sang nenek selama satu setengah tahun sebelum dititipkan ke salah satu budhe-nya juga selama satu setengah tahun.

Selama di Kebumen, Monik tidak lagi bertemu sang ibu. Juga sang ayah. Dia menjalani masa remaja, praktis tanpa kehadiran keduanya. Kondisi sulit ini memaksa Monik menjadi pribadi yang mandiri dan luwes beradaptasi.

“Struggle juga sih waktu itu. Saat itu mikirnya, udah saatnya mandiri,” ujar Monik.

Baca Juga: Cerita Orang Bandung (20): Kering Keringat Tiga Kuli Panggul Pasar Baru
Cerita Orang Bandung (19): Jiwa Rocker Penjual Minuman Cepat Saji
Cerita Orang Bandung (18): Penjual Lotek yang Juga Pengemudi Ojek

Suatu hari Monik menerima sebuah panggilan yang masuk ke telepon selulernya. Monik mengenali nomor itu. Tak salah lagi: sang ibu. Itulah percakapan telepon pertama antara Monik dengan ibunya setelah tiga tahun tinggal bersama nenek dan budhenya di Sukabumi.

Tak banyak yang dibicarakan dalam panggilan telepon pertama itu. Monik dan sang ibu sekadar berbagi kabar. Dia merasa kebingungan. Yang paling Monik ingat adalah suara tangisan seorang bayi di penghujung perbincangannya bersama sang ibu. Monik menduga, sang ibu telah menikah dan dikaruniai seorang anak bersama suami barunya. 

Setelah lulus sekolah menengah pertama, Monik memutuskan untuk bersekolah di Bandung dan tinggal bersama sang ayah. Kembali ke Kota Kembang, Monik langsung mencari sang ibu yang, berdasarkan informasi terakhirnya, tinggal di kawasan Kopo. Dengan telaten Monik menyusuri jalanan sekitar Sadang selama berhari-hari, hingga akhirnya dipertemukan dengan sang ibu, meski dengan suasana hati yang berbeda.

“Ketemu, ya, wujudnya mama. Cuma kalau ngobrol kerasa ada yang beda. Mama kayak gak mau natap lama ke mata tuh,” ucapnya.  

Lulus SMA, Monik memutuskan untuk segera berkerja dan menyewa kamar sendiri untuk tinggal. Kini, berbekal segala pengalaman hidup yang dia punya, Monik berusaha untuk tetap bisa hidup mandiri.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//