CERITA ORANG BANDUNG (24): Dari Masker Kain hingga Bendera Merah Putih
Yuyun Sujiah (48) mengais rezeki dengan menjual masker kain buatan sendiri sejak awal pandemi. Pendapatan anjlok akibat pengetatan aturan, tapi dia bertahan.
Penulis Bani Hakiki10 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Di bulan-bulan awal pademi Covid-19 tahun lalu, masker medis sempat ludes di pasaran. Ada masa ketika orang-orang saling berebut untuk memborong dan menimbun masker sebanyak-banyaknya. Sebagian dari mereka menjual kembali masker timbunan itu dengan mengambil keuntungan tinggi.
Masker kain pun jadi alternatif bagi warga. Di tengah kekalutan suasana menghadapi pagebluk seperti itulah, Yuyun Sujiah (48) mulai menjual masker kain di trotoar jalan tepat di seberang Pasar Kosambi, Bandung. Usaha yang bertahan hingga hari ini.
Satu helai masker kain dijual seharga 15 ribu rupiah. Pilihan motif dan desain beragam, disesuaikan dengan stok kain sisa yang tersedia. Tentu saja, lembar-lembar kain ini sebelumnya telah dicuci berulang kali sebelum dicelup pewarna kain dan mulai dijahit.
Yuyun bersama suaminya, Enjang, membuat sendiri semua masker kain yang dijual. Sudah sejak belasan tahun lalu sang suami mengais pendapatan dengan bekerja sebagai tukang jahit yang mangkal di trotoar seberang pasar itu. Buka dari pukul 10 pagi sampai 5 sore, Yuyun sering membawa pulang hasil menjual masker tak lebih dari 70 ribu rupiah setiap harinya.
“Ah, kalau dirasa-rasa mah, ya tambah susah ripuh (sulit). Mau gak mau atuh saya kudu ikut cari uang tambahan soalnya si Bapak (suami Yuyun) jarang dapet orderan pas gak boleh mangkal dulu teh,” tutur Yuyun sambil tersenyum sumringah, ketika ditemuai BandungBergerak.id, Minggu (8/8/2021) sore.
Pagebluk membuat banyak menjadi sulit. Sebelumnya Enjang bisa mengantongi pendapatan harian di kisaran 250 ribu hingga 400 ribu rupiah, tergantung banyaknya pelanggan dan tingkat kesulitan motif jahitan. Selama pandemi, angkanya anjlok menjadi maksimal 150 ribu rupiah. Itu pun kalau ia sedang beruntung.
Menjelang perayaan hari kemerdekaan Indonesia, selain masker kain, untuk menambah penghasilan, saat ini Yuyun dan suaminya menjual juga bendera merah putih dan beragam asesoris kain bertema Indonesia yang dijual seharga 30 ribu sampai 95 ribu rupiah. Semua hasil jahitan sendiri. Semua demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Tentang makna apa itu makna kemerdekaan, Yuyun mengaku tak terlalu paham. Menurut dia, merdeka berarti bisa menafkahi keluarga dan hidup dengan tenang. Semangat ikut merayakan hari kemerdekaan sudah cukup lama surut, sejak dia mulai bekerja demi menghilangkan rasa lapar di perut.
“Ai yang disebut kemerdekaan teh nu kumaha (seperti apa)? Kayak gak ada bedanya. Syukur alhamdulillah, kalau ada yang merdeka. Saya mah ikut meramaikan weh sambil nyari uang untuk makan sehari-hari,” tuturnya sambil tertawa.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (23): Syukur Iah, Penjual Surabi
Cerita Orang Bandung (22): Ketangguhan Mak Ina
Cerita Orang Bandung (21): Kemandirian Monik dalam Gerobak Toppoki
Diusir Aparat, Dapat Bansos Satu Kali
Di tengah pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun, waktu berjalan terasa pelan bagi Yuyun Sujiah. Lonjakan jumlah kasus membuat pemerintah menerbitkan berbagai macam aturan pembatasan atau pelarangan kegiatan dan pergerakan warga. Sejak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat diterapkan, Yuyun sempat dilarang berjualan, sama seperti para pedagang lainnya. Pasar Kosambi yang biasanya ramai 24 jam nonstop menjadi jauh lebih lengang.
Ketika PPKM Darurat diperpanjang pada awal Juli 2021, Yuyun mencoba kembali berjualan karena desakan ekonomi, meski dia tahu pendapatannya tidak seberapa. Namun yang terjadi, dia diusir aparat dan terancam kena denda ratusan ribu rupiah.
“Gerombolan petugas nyamperin dari jauh. Saya awalnya gak tahu bakal ngapain. Eh, tahunya lapak saya mau dibawa, ya saya nolak. Itu mah seenak jidat langsung ngancem denda. Saya milih untuk beberes dan pulang,” ujarnya.
Sebagai warga negara, nasib Yuyun tidak lebih beruntung. Hak sebagai keluarga penerima manfaat (KPM) tidak serta merta membuatnya mendapatkan dana bantuan sosial (bansos) seperti seharusnya. Selama pagebluk berlangsung, Yuyun mengaku hanya satu kali mendapatkan bansos berupa sembako untuk mencukupi kebutuhan selama satu bulan dan uang tunai senilai 200 ribu rupiah.
Nilai Hidup dari Pasar Kosambi
Yuyun Sujiah dan Enjang sudah berkeluarga selama lebih dari 20 tahun. Mereka dianugerai dua anak.
Sebelum berjualan masker kain, Yuyun menghabiskan waktu dengan mengurus rumahnya di bilangan Kacapiring, sambil sesekali ikut berdagang sayur di Pasar Kosambi bersama adik lelakinya. Terkadang, Yuyun hanya nongkrong saja di sana untuk menyapa kawan-kawan lamanya.
Yuyun, kelahiran Soreang, Kabupaten Bandung pada 1973, merupakan seorang lulusan SMP. Kedua orang tuanya dulu tak punya cukup uang untuk menyekolahkannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sejak lulus SMP, Pasar Kosambi sudah seperti rumah kedua bagi Yuyun. Dia bekerja sebagai seorang pegawai di lapak milik saudagar jagung dan tomat. Kebetulan, saudagar itu merupakan tetangganya ketika Yuyun masih gadis dan tinggal di rumah orang tuanya di bilangan Banjaran.
“Dari zaman gadis sampai awal-awal nikah, hampir setiap hari saya ke Pasar Kosambi. Sampai kadang mah bau pasar udah gak kecium lagi,” ucapnya.
Bagi Yuyun, banyak sekali nilai dan pelajaran hidup yang dia petik selama ‘hidup’ di pasar tradisional yang sudah beroperasi sejak masa colonial itu. Sebagian besar pedagang memiliki solidaritas yang tinggi. Berbagai permasalahan mereka hadapi bersama, mulai dari anjloknya harga barang dagang sampai tagihan preman atau organisasi masyarakat (ormas).
Pada tahun 2019 lalu, Pasar Kosambi hangus dilalap si jago merah. Banyak rumor beredar tentang penyebab kebakaran itu. Namun yang jelas, kerugian yang diderita para pedagang mencapai miliaran rupiah.
Dana bantuan yang dialirkan pemerintah tidak cukup untuk menutupi kerugian para pedagang. Beruntung, pasar itu kini telah direnovasi dan bisa beroperasi seperti semula, meski sebagian bangunan kini sudah diisi oleh kedai dan toko modern.
“Bantuan yang paling kerasa, renovasi bangunan aja. Segitu juga uyuhan (bersyukur),” tuturnya.
Anak pertama Yuyun, Rusdi, bekerja sebagai sebagai pedagang sayur di Pasar Kosambi, mengikuti jejak pamannya. Sementara anak keduanya, Ikbal, baru saja masuk salah satu SMK di Kota Bandung, mengambil jurusan teknik mesin. Kepada keduanya, Yuyun mewariskan nilai-nilai hidup yang dia petik dari pergulatan sehari-hari. Ya di dalam pasar, ya di trotoar jalan.