CERITA ORANG BANDUNG (26): Pagebluk di Mata Penjual Bubur Kacang Hijau
Sejak datang di Kota Kembang 14 tahun lalu, Musyafik (42) mengimpikan bisa memiliki kesejahteraan hidup yang lebih baik. Pagebluk Covid-19 memberinya ujian.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri27 Agustus 2021
BandungBergerak - Musyafik (42) memutuskan hijrah dari kampung halamannya di bagian timur Kabupaten Bangkalan, Madura, menuju kota Bandung pada 2007 silam. Di Kota Kembang, ia mengimpikan bisa memiliki kesejahteraan hidup yang lebih baik.
Kebanyakan warga di kampung Musyafik di Pulau Garam itu mengandalkan penghasilan dengan bekerja di ladang. Pilihan bagi para anak mudanya tidak terlalu banyak, selain menjadi kuli yang semata mengandalkan tenaga muda. Kesejahteraan pun tak pernah membaik.
Itulah alasan kenapa banyak pemuda Madura memilih merantau. Ada yang berlayar di kapal pesiar, ada pula yang memilih berdagang di luar pulau.
Sama seperti para pemuda lainnya, Musyafik merasa perlu mencari alternatif untuk memperbaiki nasib. Begitu sampai di Bandung, ia segera belajar meramu bubur kacang hijau.
“Awalnya saya belajar dari saudara. Cuma seiring berjalannya waktu, saudara saya pindah ke Parung, Bogor, dan saya memutuskan untuk buka (lapak) sendiri,” ujar Musyafik, ditemui di lapak kaki lima bubur kacangnya di Jalan Purwakarta, Bandung, Sabtu (21/8/2021).
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (25): Seorang Perempuan Penjual Telur Gulung yang Tangguh dan Empat Anaknya yang Berkuliah
CERITA ORANG BANDUNG (24): Dari Masker Kain hingga Bendera Merah Putih
Cerita Orang Bandung (23): Syukur Iah, Penjual Surabi
Di Bandung, Musyafik tinggal bersama seorang istri dan empat orang anaknya. Putranya yang tertua terdaftar sebagai siswa sekolah menengah kejuruan, sementara bungsunya adalah siswa sekolah dasar. Sejak awal bekerja, dokumen kependudukan Musyafik sudah beralih menjadi warga Kota Bandung.
Empat belas tahun tinggal di kota Bandung membuat Musyafik merasa kerasan. Suasana kota yang sejuk dan santai diakuinya sedikit-banyak menawar rasa rindu akan kampung halaman. Namun toh ia merasakan juga bagaimana Bandung telah banyak berubah dalam kurun belasan tahun terakhir.
Menurut Musyafik, kepadatan penduduk kota Bandung bertambah begitu cepat. Begitu pula dengan pertumbuhan usaha-usaha kecil di Paris Van Java ini. Termasuk di lingkungan tempatnya bekerja. Kondisi ini dinilainya wajar saja bagi kota metropolitan seperti Bandung.
“Kota Bandung ini ibaratkan kuali berisi gula, banyak semut mencari makan,” ucapnya.
Dua Sisi Pandemi
Di awal merintis usahanya, Musyafik biasa menjual semangkuk bubur kacang dengan harga 2.500 rupiah. Saat itu harga satu kilogram kacang hijau tak lebih dari 5.000 rupiah.
Sekarang, satu mangkuk bubur kacang hijau lengkap dengan ketan dan roti dihargai 5.000 rupiah. Harga yang relatif murah mengingat harga bahan baku kacang hijau saat ini mencapai 22.000 rupiah.
Sama seperti pelaku usaha kecil lain, lapak bubur kacang hijau Musyafik juga terdampak pagebluk Covid-19. Jika sebelumnya ia bisa berharap sedikitnya 200 mangkuk laku terjual, kali ini semua jadi serba tidak pasti.
“Sekarang (pendapatan) malah cenderung lebih sulit diprediksi karena beberapa waktu penjualan terganggu kan, karena kebijakan pandemi,” tuturnya.
Satu hal yang paling lekat dalam ingatan Musyafik, pandemi Covid-19 telah merubah banyak kebiasaan masyarakat. Mulai dari transaksi jual-beli hingga pendidikan, semua dilaksanakan serba daring. Semuanya tentu ada plus dan minusnya.
Di satu sisi teknologi membantu Musyafik memperluas cakupan pemasaran. Pasar digital dan layanan ojek daring membuat bubur kacang hijaunya lebih mudah menjangku para pelanggan baru. Maklum kedai bubur kacang ijo milik Musyafik terbilang sederhana dengan mayoritas pembelinya adalah pelanggan loyal yang akrab berkunjung.
“(Penjualan) online lumayan membantu,” kata Musyafik. “Kadang kalau yang dateng sepi, yang online lebih ramai.”
Namun di sini lain, pandemi juga berdampak buruk bagi pendidikan anak-anak Musyafik di beberapa tahun terakhir. Ia mengeluhkan rendahnya kualitas pengawasan sehingga berpengaruh pada tingkat pengetahuan anak. Anak bungsunya yang sehari-hari bermain laying-layang tetap naik kelas.
“Tidak pernah belajar, tapi naik kelas ini gimana lho?” ucap Musyafik keheranan.