CERITA ORANG BANDUNG (27): Keuletan Duki, dari Pengamen Jalanan Menjadi Perajin Tahu
Sebelum menjadi perajin tahu yang berhasil di RW 01 Kelurahan Sukahaji, Duki (70) melewati perjalanan yang panjang. Dari pengamen jalanan hingga penjual motor bekas.
Penulis Bani Hakiki3 September 2021
BandungBergerak.id - Pak Duki (70), begitulah warga RW 01 Kelurahan Sukahaji, Bandung, akrab memanggil pria serbabisa yang dikenal ramah dan sederhana ini. Ia Iahir dan tumbuh di tengah keluarga di kawasan Cigondewah dengan kemampuan ekonomi yang sangat terbatas. Kedua orangtuanya bekerja sebagai pedagang asongan pinggir jalan.
Setelah lulus sekolah dasar, Duki segera merasakan kerasnya jalanan Bandung selatan bersama orangtuanya. Ia menjadi pengamen dengan alat musik berupa sebatang kayu dengan beberapa tutup botol berbahan logam ringan yang dipaku. Namanya ‘kecrekan’, sesuai bunyi yang dihasilkan.
Ketika beranjak remaja, di umurnya yang ke-18 tahun, Duki memiliki setumpuk kebijaksanaan berkat kehidupan jalanan yang keras. Di sana, ia belajar bagaimana berbagi rezeki dengan sesama yang membutuhkan. Duki juga belajar banyak tentang keuletan dan ketekunan. Salah satu kejadian yang paling diingatnya selama remaja adalah ‘kucing-kucingan’ dengan aparat berwenang saat mengamen di setiap persimpangan jalan.
Duki mengaku, dengan segala keterbatasan yang pernah dilalui, ia tak pernah berhenti meyakini bahwa kuasa Yang Maha Esa akan datang suatu hari. Karena hal itu pula, ia tak pernah lupa untuk beribadah lima waktu sesuai kepercayaannya.
“Dari kecil saya diajarin kalau solat itu wajib. Awalnya sekadar nurut weh sebagai budak (anak) mah. Tapi, alhamdulillah dulu saya lolos terus kalau ada razia Satpol. Kayaknya gak mungkin semua itu karena beruntung doang,” ungkapnya ketika ditemui di kediamannya, Rabu (1/9/2021).
Kini, tetangga sekitar rumah Duki mengenalnya sebagai perajin tahu yang cukup sukses walau pabriknya bukan perusahaan besar. Setidaknya ia bisa memiliki rumah pribadi dan bisa membuka lahan pekerjaan bagi warga sekitar yang membutuhkan.
Titik Balik
Kesuksesan itu tidak datang dengan mudah dan instan. Perjalanan Duki menjadi perajin tahu sangatlah panjang. Ia mengingat betul salah satu titik balik kehidupannya ketika berusia 21 tahun.
Duki dipertemukan dengan Wuning, seorang wanita yang suatu nanti menjadi cinta sehidup-sematinya. Demi memenuhi kisah romantisnya, Duki tak mungkin lagi menggantungkan rezekinya di jalanan sebagai pengamen. Sejak itu, Duki mulai mencari pekerjaan layak.
Namun, Duki sadar, ia tak bisa berharap banyak dari ijazah lulusan SD yang jadi modalnya melamar pekerjaan. Patokannya cuma satu, apa pun pekerjaannya, yang penting halal dan tidak merugikan orang lain. Dari belasan lamaran kerja, ia diterima di salah satu perusahaan kecil jual-beli motor bekas.
Gaji Duki di perusahaan itu memang tidak seberapa besar, sekitar 1,3 juta sampai 2,1 juta rupiah per bulan. Pekerjaannya semacam salesman dengan tugas mencari pelanggan dan tak pernah sekali pun naik pangkat.
Ajaibnya, Duki masih bertahan bekerja jual-beli motor bekas hingga umur 49 tahun. Untuk menambah pendapatannya ketika itu, ia juga bekerja serabutan membantu beberapa kerabatnya berjualan mulai dari makanan sampai kain bahan kaus.
“Nya gaji abdi sakitu-kituna (gaji saya seadanya), tapi bakatku (karena) cinta, apa aja dikerjain,” tuturnya sambil tertawa.
Pada umur 28 tahun, Duki berhasil menikahi sang pujaan hati dan mulai membangun keluarga di rumah yang hingga ini masih ia tinggali. Pernikahan Duki dan Wuning saat ini dikaruniai sepuluh cucu dari empat anak yang sudah berkeluarga masing-masing.
Sejak kecil cita-cita Duki tidak pernah berubah, yakni memiliki keluarga besar yang bisa makan minimal dua hari dalam sehari. Boleh dibilang, sekarang cita-citanya itu tercapai sudah.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (26): Pagebluk di Mata Penjual Bubur Kacang Hijau
CERITA ORANG BANDUNG (25): Seorang Perempuan Penjual Telur Gulung yang Tangguh dan Empat Anaknya yang Berkuliah
CERITA ORANG BANDUNG (24): Dari Masker Kain hingga Bendera Merah Putih
Tahu Pembawa Rezeki
Duki tak pernah tahu kejutan apa lagi yang akan ditemuinya di masa depan. Bertemu dan menikahi Wuning bukan akhir dari kisah perjalanan hidupnya yang penuh liku. Pada usia 44 tahun, ia sadar betul penghasilannya dalam usaha jual-beli motor tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa.
Pada suatu hari pada pertengahan 1995, Duki bertemu dengan seorang juragan kedelai di bilangan Pasir Koja. Pertemuan itu tidak sengaja terjadi ketika ia menjual sebuah motor kepada juragan tersebut. Dari percakapan inilah, lahir gagasan awal untuk membuka usaha pabrik tahu. Duki tak pernah menyangka, idenya itu nantinya bisa membuatnya menikmati masa tua tanpa harus pontang-panting bekerja sebagai penjual motor bekas.
Bermodal uang tabungan seadanya dan keluwesan berkomunikasi, Duki menyambangi kembali juragan kedelai yang pernah ditemuinya. Ia membeli beberapa kilogram kedelai dengan harga miring. Bagi Duki, peristiwa ini merupakan sebuah momen magis yang mungkin tidak akan terjadi dua kali dalam hidup yang fana ini.
“Saya lupa waktu itu sisa tabungan ada berapa Cuma 900 ribu (rupiah) mungkin. Entah apa yang ada di pikiran si juragan, saya dikasih 8 kilogram kedelai secara cuma-cuma,” tuturnya dalam Bahasa Sunda halus sambil menopang dagu.
Lima tahun setelahnya, distribusi tahu Duki berkembang cukup pesat. Sekitar awal tahun 2000, ia mulai bisa membuka lahan pekerjaan untuk tetangganya. Dalam sehari ia bisa memproduksi sekitar 40 jirangan atau cetakan tahu dengan penghasilan 400-500 ribu rupiah. Ada 5 orang karyawan yang bekerja bersamanya dengan upah 10 ribu rupiah per jirangan.
Modal Terkuras dan Lucunya Bantuan Pemerintah
Layaknya berlayar di lautan, kesuksesan Duki bukan berarti tak pernah menjumpai badai. Pagebluk Covid-19 yang melanda Kota Bandung, berdampak besar terhadap bisnis produksi tahu yang telah ia jalankan selama kurang lebih 26 tahun terakhir.
Omzet penjualan tahu Duki anjlok hingga lebih dari 50 persen dari hari-hari biasanya. Permasalahan utamanya yakni berbagai kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat yang diterapkan pemerintah demi mencegah penyebaran Covid-19. Tetap harus menanggung upah harian para karyawannya, modal usaha Duki hampir terkuras habis.
“Tahun kemarin ada bantuan (1,2 juta rupiah) dari pemerintah, tapi cukup buat apa uang segitu? Yang produksi tahu kan bukan cuma saya, masih ada karyawan. Jadinya, lucu aja,” ujarnya.
Duki mengaku belum pernah mendengar adanya bantuan dengan jumlah dana serupa dari Pemkot Bandung untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terdampak pagebluk Covid-19. Meski begitu, ia tak terlalu mempersalahkannya. Yang diharapkan Duki, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih nyata di lapangan untuk membantu perkembangan para pelaku usaha seperti dirinya agar bisa bertahan di tengah badai pagebluk.