• Berita
  • Minimnya Fasilitas Pembelajaran Jarak Jauh Bebani Masyarakat dari Kalangan Ekonomi Lemah

Minimnya Fasilitas Pembelajaran Jarak Jauh Bebani Masyarakat dari Kalangan Ekonomi Lemah

PJJ yang digulirkan pemerintah selama ini kurang ditopang bantuan bagi orang tua golongan ekonomi lemah yang semakin terpukul karena pagebluk.

Program vaksinasi Covid-19 di SMPN 7, Bandung, Selasa (21/8/2021).Jangkauan vaksinasi Covid-19 terhadap pelajar masih rendah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Boy Firmansyah Fadzri5 September 2021


BandungBergerak.id - Pandemi Covid-19 tak hanya berdampak pada sektor kesehatan. Tatanan pendidikan ikut terguncang hebat. Proses belajar mengajar yang biasa berlangsung tatap muka mesti berhenti selama pagebluk yang kini masuk tahun kedua.

Di saat bersamaan, pemerintah memutuskan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sebagai solusi dalam situasi pagebluk. Sayangnya, model PJJ ini tak menyentuh masalah-masalah teknis yang dihadapi sekolah maupun orang tua murid terutama mereka yang tergolong ekonomi lemah.

Mereka kesulitan menyelenggarakan PJJ yang sangat tergantung pada gawai, jaringan internet, dan masalah-masalah teknis lainnya yang luput dari perencanaan pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan dana APBN.

Kini, Pembelajaran Tatap Muka (PTM) kembali bergulir. Sebagian masyarakat menyambut kebijakan ini, walau sejumlah ahli mengkritiknya mengingat penularan Covid-19 dinilai belum benar-benar terkendali. Selain itu, jangkauan vaksinasi Covid-19 pun belum merata.

Dani, seorang penjual kopi keliling di bilangan Jalan Ir. H. Djuanda (Dago), Bandung, mengaku masalah pendidikan bagi anaknya cukup menguras pikirannya selama pagebluk ini. Ia kesulitan mengakses layanan pendidikan bagi sang buah hati.

Dani memiliki seorang putra berusia lima tahun empat bulan. Anaknya telah dinyatakan lulus dari Taman Kanak-Kanak mulai dari nol kecil hingga nol besar. Dani berusaha mendaftarkan anaknya ke jenjang selanjutnya: sekolah dasar.

Namun, rencana Dani berulang kali mendapat penolakan. Pihak sekolah menyatakan usia anaknya belum memenuhi syarat. Sekolah juga khawatir anak Dani tidak bisa mengikuti pelajaran karena belum memiliki kemampuan membaca dan menulis.

“Berulang kali daftar online, sampai datang ke sekolahnya juga terus saja ditolak,” ujar Dani, saat ditemui Bandungbergerak.id, Kamis (2/9/2021).

Kesal diperlakukan demikian, Dani pun menyambangi kantor Dinas Pendidikan Kota Bandung untuk melaporkan yang dialaminya. Dani mengatakan, meski pemerintah mewajibkan program belajar dua belas tahun, nyatanya di lapangan, masih banyak kebijakan-kebijakan yang terkesan menyulitkan masyarakat. Alih-alih memudahkan akses pendidikan, kebijakan pemerintah terutama saat seluruh pelayanan diakses dengan daring kerap kali dirasanya tidak fleksibel.

“Kalau alasan mereka karena khawatir tidak bisa mengikuti pelajaran, karena usianya terlalu dini. Toh, saya juga tidak menuntut anak saya naik kelas. Meski anak saya belum bisa baca tulis, bukan berarti bisa menggugurkan anak saya masuk sekolah dasar, sebab TK itu bukan sekolahan, mestinya baca-tulis tidak bisa dipersyaratkan,” keluh Dani yang juga seorang perkerja lepas di sebuah perusahaan kontruksi.

Pembelajaran Jarak Jauh yang Mahal

Bagi keluarga dengan kemampuan ekonomi yang terbilang lemah, Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ memaksa mereka merogoh kocek yang lebih dalam. Di sisi lain, orang tua dituntut meluangkan waktunya untuk mendampingi anak-anak mereka belajar online.

Masalahnya, tidak semua orang tua bisa meluangkan waktu untuk anaknya. Tak semua orang tua bisa berperan sebagai guru untuk memberikan pendidikan maupun materi pelajaran yang sama memadainya dengan pendidikan yang diberikan sekolah.

“Serba salah jadinya, di sisi lain orang tua berjibaku cari uang yang gak seberapa. Anak mau gak mau harus sekolah, tetapi kebutuhan sekolah juga jadi bertambah kualitas belajar-mengajar juga ikut menurun, ya memang begitulah sejak kondisi pandemi,” kata Rahmat, orang tua siswa lainnya.

Kondisi serupa dialami Sandi, seorang penjual bakso keliling di wilayah Blok Tempe kelurahan Babakan Asih. Sandi adalah bekas buruh di perusahaan tekstil di kawasan Bandung Selatan yang kehilangan perkerjaannya karena perusahaan tempatnya berkerja terdampak pandemi.

Selama PJJ berlangsung, Sandi tidak pernah membawa gawai. Dua putrinya lebih membutuhkan gawai tersebut untuk mengikuti pembelajaran.

Gawai bukan satu-satunya syarat mengikuti PJJ. Orang tua harus menganggarkan biaya kuota internet setiap bulannya. Jadinya, kebutuhan rumah tangga Sandi berlipat ganda. Jika sebelum pandemi kebutuhan akses internet tidak menjadi yang utama, kini, dalam satu bulan Sandi bisa empat kali mengisi ulang kuota internet untuk satu-satunya gawai yang ia miliki di rumahnya.

“Boborot (semakin boros), duh. Biasana jarang aya kuotaan (biasanya jarang punya kuota internet). Sekarang mah satu hape bisa dua kali ngisi sebulan teh, minimal habis dua ratus (ribu rupiah)-lah,” keluh Sandi, sambil tersenyum kecut, saat ditemui Bandungbergerak.id di kediamannya pada Kamis (4/9/2021).

Menyiasati kondisi tersebut, Sandi yang tinggal bersama keluarga besar istrinya, menggalang iuran bersama penghuni rumah lainnya untuk pemasangan saluran internet. Cara ini diharapkan bisa mengurangi sedikit beban kebutuhan akses internet.

Selain pengeluaran ekonomi lebih banyak, pagebluk juga membuat istri Sandi memiliki tambahan perkerjaan rumah. Istri Sandi, diamanahi sebagai koordinator kelas di wilayah tempat mereka tinggal. Hal itu, memaksa sang istri lebih sering keluar rumah untuk menjembatani komunikasi antar keduabelah pihak baik sekolah maupun murid dan orang tua murid.

“Jadi kan pihak sekolah juga kesulitan memantau siswanya, kadang juga ada orang tua yang tidak memiliki waktu luang untuk memastikan sekolahnya anaknya, jadi istri saya tugasnya menyampaikan informasi. Kalau ada tugas biasanya dikumpulin ke rumah saya kalau ada yang gak punya hape atau kuota,” kata Sandi.

Meski begitu, ada sedikit keuntungan yang bisa dipetik dari kegiatan istrinya itu. Istrinya menjadi orang pertama yang mendapatkan informasi seputar kegiatan belajar dari pihak sekolah.

“Ya, tapi Alhamdulillahnya teh gak pernah kelewatan informasi, kebetulan memang istri saya punya waktu yang lebih luang kali, ya daripada yang lain (orang tua murid),” ujar Sandi.

Baca Juga: Sekolah Tatap Muka di Bandung di Tengah Kekhawatiran Penularan Covid-19
Khawatir Klaster Sekolah Tatap Muka Terbatas Kota Bandung di Tengah Minimnya Vaksinasi Covid-19

Anak-anak SMP Pasundan 1 menjalankan protokol cuci tangan sebelum mengikuti simulasi pelaksanaan belajar tatap muka di Bandung, Senin (7/6/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Anak-anak SMP Pasundan 1 menjalankan protokol cuci tangan sebelum mengikuti simulasi pelaksanaan belajar tatap muka di Bandung, Senin (7/6/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Kualitas PJJ tidak Memuaskan Orang Tua

Musyafik, seorang pedagang bubur kacang hijau di bilangan Antapani, menyoroti  merosotnya kualitas belajar mengajar dengan model pembelajaran Jarak Jauh. Musyafik memiliki tiga orang anak yang duduk di bangku sekolah dasar. Ia menilai PJJ yang selama ini berlangsung tidak efektif dalam memberikan materi pelajaran.

“Judulnya kan belajar dari rumah, tapi mana ada yang belajar itu. Anak saya tiga kelas lima, kelas empat, sama kelas dua (SD) enggak ada yang belajar. Main layangan aja setiap hari,” kata Musyafik saat disambangi Bandungbergerak.id, Sabtu (4/9/2021).

Baru-baru ini anak Musyafik mulai berkesempatan masuk sekolah secara tatap muka. Ia tak ingat betul kapan tepatnya, namun berdasarkan penuturannya, PTM dimulai belum lama ini. Sebagai orang tua, Musyafik tidak terlalu khawatir dengan kondisi pembelajaran tatap muka yang dihadapi anak-anaknya. Baginya, selama PJJ di rumah, anak-anaknya terbilang sering bertemu banyak orang daripada tinggal di rumah saja.

Sebaliknya, Musyafik mengatakan sejak pandemi berlangsung anak-anaknya seolah tidak lagi memiliki tanggung jawab untuk menuntut ilmu. Ia pun tidak bisa menyalahkan anak-anaknya kerena kondisi yang memaksa mereka demikian. Di sisi lain, Musyafik dan istri mengakui tidak punya cukup banyak waktu dan kemampuan untuk menggantikan peran guru di saat anak-anaknya menjalankan PJJ.

“Selama pandemi saya juga heran, gak ada satupun anak saya ngomongin soal kesulitan mereka di sekolahnya. Di sisi lain juga kami tidak punya cukup waktu diajarin mah diajarin tapi ya sebisa-bisanya kita (orang tua),” tutup Musyafik.

Pemkot Bandung sendiri memutuskan akan menggelar Pembelajaran Tatap Muka atau PTM Terbatas pada 8 September 2021 mendatang. PTM yang akan diselenggarakan 330 sekolah dari semua jenjang pendidikan di Kota Bandung. Sedangkan untuk 1.692 sekolah lainnya baru akan memulai uji coba PTM pada minggu ketiga September.

Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Sekolah Dasar, Dinas Pendidikan Kota Bandung, Bambang Ariyanto, mengatakan selama PTM Terbatas, kapasitas jumlah murid dibatasi. Pihaknya berjanji akan memantau secara ketat terhadap sekolah yang sudah menyatakan siap melaksanakan PTM terbatas dan juga selama PTM terbatas berlangsung.

Ia mengatakan, penyelenggaraan belajar tatap muka terbatas di masa pandemi membutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah, pihak sekolah, siswa, maupun orang tua murid. Ia mengimbau seluruh elemen di sekolah untuk memastikan penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

“Dengan mengamankan alat dan perlengkapan prokesnya, menyiapkan desain kurikulumnya dan dengan menjaga kesehatan seluruh warganya,” tutur Bambang Ariyanto, dalam siaran pers Kamis (2/9/2021).  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//