CERITA ORANG BANDUNG (29): Icam, Sepeda, dan Keresahan Anak Muda pada Pemanasan Global
Pagebluk Covid-19 mendorong Icam mencintai sepeda, hobi yang menjalar seiring pandemi Covid-19. Ada harapan bahwa sepeda semakin membudaya di Bandung.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri7 September 2021
BandungBergerak.id - Muhammad Ilham Fadillah sejak kecil mesti berdamai dengan pahitnya kehidupan setelah Sang Khalik memanggil pulang ibunda tercinta karena penyakit kronis yang sudah lama diderita. Saat itu, pria 20 tahun yang akrab dipanggil Icam ini baru genap berusia enam tahun.
Sepeninggalan sang ibu, ayah Icam memutuskan merajut rumah tangga dengan pasangan barunya, dan menitipkan Icam kepada neneknya. Icam memang dekat dengan sang nenek. Sejak balita. neneknya rajin mengurusinya.
Icam kini mahasiswa tingkat dua universitas negeri di kaki Gunung Manglayang dan tekun menjalani hobi bersepeda. Pagebluk mendorongnya mencintai sepeda, hobi yang menjalar seiring pandemi Covid-19.
Seperti diketahui, pagebluk Covid-19 memengaruhi semua orang termasuk Icam. Saat pagebluk Covid-19 mulai meradang, ayah Icam harus rela menerima honor yang dipotong oleh perusahaan tempatnya berkerja. Pemotongan honor tersebut membuat Icam kesulitan membayar biaya pendidikannya. Beruntungnya, sebidang tanah yang ditinggalkan ibunya berhasil Icam jual.
“Honor ayah saya dipotong, sejak April kalau enggak salah sampai Oktober. Untuk membayar uang kuliah saat itu, saya bilang kepada nenek saya untuk menjual tanah pemberiannya, singkat cerita tanah itu bisa saya jual kepada saudara saya,” ujar Icam kepada Bandungbergerak.id saat dijumpai di sebuah kios rokok tempat Icam menghabiskan sore, di balik jalanan utama Dago pada Selasa (17/8/2021) lalu.
Selama pagebluk Covid-19, Icam mengaku lebih sering menghabiskan waktunya sendirian. Sang nenek memutuskan untuk mengungsi di kampung halamannya di Ciamis, Jawa Barat, sementara sang Ayah berkerja di Karawang meski sesekali pulang dan menetap di rumah bersama keluarga barunya.
Di sela-sela kesendiriannya, Icam merenungkan tantangan hidupnya di masa mendatang yang murung. Sementara masa depan pemuda seperti dirinya masih membentang, dihantui persoalan kehidupan seperti kesejahteraan dan ekonomi yang kerap bergelayut dalam benaknya.
“Generasi urang masuk ke dalam bonus demografi. Yang jelas jumlah angkatan kerjanya akan sangat berlimpah. Tetapi pertanyaannya, apakah semua akan dapat perkerjaan? Dengan kondisi ketersediaan lapangan kerja seperti hari ini. Belum lagi ditambah generasi sebelumnya yang masih mencari kerja dan masih dalam usia produktif. Jadinya takut ngemis ke orang lain,” ujar Icam menanggapi keresahannya.
Beruntung, Icam tak mau terjebak pada kecamuk pikirannya. Ia lebih memilih mengasah keterampilannya sebagai bekal di masa depan. Menurutnya penting bagi generasi muda untuk mengenal potensi dalam dirinya. Itu juga yang sedang diperjuangkannya.
Memasuki era persaingan kerja yang semakin hari semakin sempit, bagi Icam, keterampilan menjadi modal yang tak kalah penting untuk dapat bersaing dalam bursa persaingan kerja di masa mendatang. Apalagi, saat ini sudah lebih banyak orang yang berkesempatan untuk mengenyam pendidikan. Bisa dibilang akses pendidikan makin terbuka lebar.
“Soalnya hari ini pendidikan tidak menjamin seseorang bakal hidup sejahtera. Sehingga soft skill menjadi bekal yang penting. Toh, sekarang banyak sekali mahasiswa yang punya kesempatan kuliah,” ujar Icam.
Meski begitu, bukan berarti pendidikan kalah penting dengan keterampilan. Walaupun Icam tak banyak berharap dari sepak terjang pendidikannya, namun ia tetap berhasrat menyelesaikan pendidikan yang tengah ditempuhnya. Terutama menyangkut pertanggungjawabannya atas apa yang telah dipilihannya serta memenuhi harapan keluarga.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (28): Penjualan Seragam Sekolah Nyai Sepi Senyap Selama Pagebluk
CERITA ORANG BANDUNG (27): Keuletan Duki, dari Pengamen Jalanan Menjadi Perajin Tahu
CERITA ORANG BANDUNG (26): Pagebluk di Mata Penjual Bubur Kacang Hijau
CERITA ORANG BANDUNG (25): Seorang Perempuan Penjual Telur Gulung yang Tangguh dan Empat Anaknya yang Berkuliah
CERITA ORANG BANDUNG (24): Dari Masker Kain hingga Bendera Merah Putih
Hobi Sepeda dan Pemanasan Global
Pandemi Covid-19 memaksa perubahan pada gaya hidup manusia. Tren berolahraga mengalami peningkatan yang sangat signifikan terutama bersepeda. Bersepeda diyakini sebagai olahraga yang cukup ideal dibandingkan aktivitas olahraga lain yang cenderung bergerombol dan berpotensi menimbulkan penularan Covid-19.
Icam menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang memilih sepeda sebagai sarana olahraganya. Selain alasan menjaga kebugaran, sepeda juga membantu mobilitasnya untuk menempuh jarak-jarak yang relatif dekat. Seiring berjalannya waktu, sepeda membawanya pada kegiatan yang lebih dalam lagi, yakni pada budaya dan beragam suku cadangnya.
Ia tak ingin hobinya itu bergantung pada orang lain. Sehingga ia memberanikan diri menjadi montir dan penyedia suku cadang sepeda dengan sasaran teman-teman di lingkarannya.
“Anak muda seperti saya mungkin lebih baik banyak ngulik, ya setidaknya bisa jadi bekal keterampilan juga dan tambahan uang jajan,” katanya sambil tersenyum.
Ditanya perihal prospek usaha dan hobi bersepeda di masa mendatang, Icam tak bisa menjamin. Terlebih budaya bersepeda yang terjadi saat ini terbangun karena gegar budaya akibat pandemi Covid-19.
“Saya mah gak punya keyakinan sama hobi ini, cuma saya punya harapan sama hobi ini,” tambahnya.
Setelah kurang lebih dua tahun aktif bersepeda, ia mulai merasakan banyak manfaat yang bisa didapatkan dari budaya bersepeda. Ia berandai-andai jika sepeda menjadi moda transportasi utama masyarakat, tentu akan berdampak baik juga bagi iklim yang kini kritis: sepeda setidaknya bisa mengurangi emisi gas buang yang memicu pemanasan global.
“Saya bukan pemerhati lingkungan. Cuma karena gemar bersepeda menjadi lebih sadar akan hal itu. Bayangkan lebih banyak lagi orang bersepeda, mungkin ya, bisa memperlambat pemanasan global. Lagi pula sepertinya lebih asyik bersepeda, di jalan kita bisa saling bertegur sapa satu sama lain,” ujar Icam.
Tapi ia sadar bahwa memperbaiki iklim perlu usaha yang ekstra masif dan berkelanjutan. Kalau hanya segelintir orang rasanya terlalu utopis bila pemanasan global pulis seketika. Selain itu, budaya bersepeda khususnya di Kota Bandung terkendala kelayakan jalan raya dan tata kota.
“Kayanya sulit ya untuk budaya sepeda di Kota Bandung. Banyak orang yang kerja di Kota Bandung datang dari daerah-daerah di pinggiran kota. Jaraknya terlampau jauh untuk bersepeda. Bisa dibilang jalanan juga tidak terlalu ramah pengguna sepeda,” katanya.
Walau demikian, ia berharap di masa mendatang lebih banyak lagi orang-orang yang gemar bersepeda. Bukan cuma sekadar selingan, melainkan menjadi kebiasaan.
“Syukur-syukur ke depannya lebih banyak lagi yang pakai sepeda. Selain menyehatkan sepeda lebih ramah bagi kemaslahatan umat,” tutupnya sambil tertawa.