Feminisme: Cantik itu Luka, Pintar itu Sok Tahu?
Pelabelan dan marginalisasi menjadi awal dari terjadinya diskriminasi pada perempuan.
Traviata Capella P
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
9 Januari 2023
BandungBergerak.id—Feminisme didasari adanya sistem yang mengatur kehidupan sosial sehari-hari masyarakat yang memiliki sifat partriarki. Sifat partriarki menjadi awal terjadinya ketidakadilan kepada perempuan di masyarakat. Hal ini juga menjadi salah satu alasan yang mendorong masyarakat, khususnya perempuan untuk meminta hak dan kesetaraan terhadap kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang ada di kehidupan masyarakat. Gerakan sosial yang didasari oleh permasalahan gender dengan tujuan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan perempuan meliputi aspek politik, sosial, dan ekonomi sering kita dengar dan sebut sebagai gerakan feminisme.
Gerakan feminisme menginginkan agar semua gender mendapatkan kesetaraan hak dan juga kesempatan yang sama. Banyak kasus yang mendasari maraknya gerakan ini yang terjadi baik di lingkungan masyarakat, lingkungan pekerjaan, lingkungan pendidikan, ataupun lingkaran paling kecil yaitu lingkungan keluarga. Laki-laki terkesan mendominasi perempuan dalam berbagai aspek sehingga memiliki rasa superior yang mendorong terjadinya diskriminasi terhadap perempuan.
Diskriminasi terhadap perempuan memang terlihat sepele dan biasa di mata masyarakat. Namun, diskriminasi sekecil apapun terhadap seseorang tetaplah melanggar keberadaan hak asasi manusia yang sudah melekat dalam diri seseorang sejak lahir. Banyak contoh diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan tanpa disadari, seperti tidak diberikannya tunjangan kepada pegawai perempuan dikarenakan bukan kepala keluarga, jumlah pelecehan seksual dengan korban terbanyak adalah perempuan, terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, lapangan pekerjaan yang lebih sedikit untuk perempuan, dan masih banyak lagi.
Seperti yang sebelumnya sudah dikatakan budaya patriarki yang kuat menyebabkan adanya pandangan yang rendah terhadap perempuan. Dominannya laki-laki dalam berbagai bidang seakan menutup keahlian perempuan dalam bidang tersebut. Sering kali perempuan hanya sebagai objek bagi masyarakat yang dinikmati fisiknya. Berbagai keahlian perempuan justru sering kali dilupakan atau bahkan dianggap mengada-ada dan tidak perlu ikut campur dalam masalah yang sedang dibahas. Terdapatnya perbedaan kewajiban dan hak yang diterima oleh laki-laki dan perempuan yang menyebabkan adanya perasaan superior pada laki-laki untuk berperilaku semena-mena dan menganggap perempuan berada di kasta terendah masyarakat .
Gerakan feminisme memperlihatkan pada masyarakat bahwa perempuan bukanlah suatu objek yang hanya menjual fisik dan bisa dinikmati tanpa persetujuan kedua belah pihak. Perempuan adalah pribadi dengan fisik yang kuat untuk membawa manusia lain dalam tubuhnya selama sembilan bulan, kecerdasan yang luar bisa untuk menjadi menopang bagi keluarganya, kegigihan dan kekuatan yang tidak kalah besarnya dari laki-laki untuk berkarier dan memiliki pendidikan yang tinggi. Perempuan pintar bukanlah sosok perempuan sok tahu dan selalu ikut campur. Perempuan cerdas adalah perempuan dengan kemauan belajar yang tinggi serta pantang menyerah dalam mencapai cita-citanya. Gerakan feminisme ingin mencapai cita-cita di mana perempuan bisa mendapatkan haknya setara dengan kedudukan laki-laki.
Baca Juga: Mengatasi Perundungan Siber dengan Pendekatan Statistika
Pendidikan dan Politik Bahasa, Sekolah sebagai Mitos Juru Selamat?
Tentang Lingkungan dan Setiap Suap Makanan di Sendok Makan
Budaya Patriarki yang Kuat di Indonesia
Indonesia menjadi negara dengan budaya leluhur yang masih kental terutama di daerah-daerah yang masih berkembang di negara Indonesia. Salah satu budaya yang masih diterapkan dan terkenal di Indonesia adalah budaya partriarki. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa definisi dari patriarki adalah mendahulukan masyarakat berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan dalam lingkungan masyarakat.
Banyak yang menyebutkan bahwa budaya partriaki merupakan bentuk ketidakadilan terhadap perempuan, melihat adanya pembagian kekuasaan yang tidak merata dan adil terhadap laki-laki dan perempuan. Namun, banyak definisi dari partriaki sendiri yang diperbaharui oleh para feminis dikarenakan melihat banyaknya ketidakadilan yang terjadi di luar pembagian kekuasaan.
Budaya partriaki sudah menjadi budaya turun-temurun di Indonesia. Budaya ini dimulai dan muncul dari lingkup yang paling kecil dan dekat oleh masyarakat, yaitu keluarga. Adanya tanggung jawab yang diberikan kepada seorang laki-laki untuk menjadi kepala rumah tangga dan pembuat keputusan di keluarga memberikan stigma kepada masyarakat bahwa laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan. Kebiasaan yang diterapkan dalam kebanyakan keluarga di Indonesia tersebut dibawa masyarakat ke lingkup yang lebih luas seperti pekerjaan atau masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang memunculkan adanya tindakan-tindakan yang terkesan mengendalikan perempuan dalam berbagai aspek termasuk seksualitas. Penjelasan tersebut sampai pada kesimpulan di mana perempuan mendominasi angka korban kekerasan dan pelecehan seksual.
Pengenalan Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Gerakan feminisme didasari atas adanya diskriminasi kepada perempuan. Salah satu diskriminasi yang paling marak saat ini adalah adanya tindakan pelecehan seksual yang memakan korban paling banyak adalah perempuan. Pelecehan seksual merupakan tindakan tercela yang tentunya korbannya tidak hanya perempuan. Namun, menurut data setiap tahun terdapat kenaikan sebesar 19,6% kasus pelecehan seksual terhadap perempuan tiap tahun.
Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, baik dalam lingkungan masyarakat luas ataupun lingkaran kecil seperti lingkungan keluarga. Hal ini karena pandangan terhadap perempuan yang sering merendahkan perempuan. Perempuan sering kali dianggap lemah dan tidak berdaya di mata masyarakat. Tanpa disadari pelecehan seksual dapat mengakibatkan banyak hal yang merugikan korban, seperti penyakit mental, trauma, depresi, penyakit seksual, atau berkurangnya kepercayaan diri seseorang.
Menurut artikel yang diunggah oleh Ganto.co, disebutkan oleh peneliti bahwa jumlah kasus kekerasan seksual pada perempuan di tahun 2022 menyentuh angka 10.247 kasus. Kekerasan tersebut terdiri dari 6.576 kekerasan fisik, 8.145 kekerasan seksual, dan 6.295 kasus kekerasan psikis. Angka tersebut merupakan kasus yang tercatat karena dilaporkan oleh korban, tentunya masih banyak kasus yang tidak diketahui kejadiannya karena rasa malu, bukti yang kurang, dukungan yang kurang, dan ketakutan yang dirasakan oleh korban. Perasaan-perasaan yang dirasakan oleh para korban yang menghambat korban untuk tidak melaporkan kasus tersebut, merupakan salah satu dari banyak alasan yang diakibatkan oleh budaya partriarki yang sangat kental dan mendominasi di Indonesia.
Perempuan mendominasi angka korban kekerasan dan pelecehan seksual dikarenakan banyaknya laki-laki yang merasa superior dan memiliki hak lebih dibandingkan perempuan, karena perempuan masih dianggap sebagai objek atau masyarakat kelas rendah. Stigma buruk yang berada di tengah-tengah masyarakat mengenai korban kekerasan atau pelecehan seksual menjadikan alasan lain bagi korban untuk tidak melaporkan kekerasan yang terjadi pada pribadi korban.
Ketidakadilan Pembagian Hak dan Kewajiban antara Laki-Laki dan Perempuan
Pembahasan mengenai ketidakadilan gender tentunya akan membutuhkan waktu dan penjelasan yang panjang, bahkan mungkin tiada ujungnya. Ketidakadilan terhadap pembagian hak dan kewajiban yang berada di antara laki-laki dan perempuan ada banyak bentuknya.
Salah satu dari banyak contoh yang sering terjadi dan menjadi pertentangan dalam lingkungan masyarakat adalah terdapatnya beban ganda. Banyak perempuan yang berkeluarga merangkap sebagai wanita karier. Perempuan-perempuan yang memiliki beban ganda tersebut diharuskan untuk bekerja dengan jam kerja yang sama dengan laki-laki sedangkan mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga yang sebenarnya tidak harus selalu dikerjakan oleh perempuan. Selain harus menanggung beban ganda, para perempuan tersebut sering kali tidak mendapatkan tunjangan yang sama karena dianggap sudah mendapat tunjangan dari gaji pasangannya dengan posisi tingkat pendidikan yang sama dan jam kerja yang sama.
Terjadi pelabelan dan marginalisasi terhadap perempuan menjadi awal dari banyaknya diskriminasi yang dilakukan terhadap perempuan. Perempuan sering kali dianggap sebagai manusia yang lemah fisik dan psikisnya. Hal tersebut membawa stigma mengenai munculnya pembagian pekerjaan yang bisa dilakukan oleh perempuan dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Stigma yang paling sering didengar di tengah masyarakat adalah, bahwa perempuan diharuskan untuk bekerja di rumah, tidak diperkenankan untuk berpendidikan tinggi, dan tidak diperkenankan untuk bekerja mencari nafkah karena hal-hal tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.
Berkembangnya zaman dan munculnya gerakan feminisme memberikan dorongan dan keberanian kepada perempuan untuk bisa menuntut kesetaraan dalam pembagian hak dan kewajiban. Saat ini, mulai banyak perempuan yang berkarier dan menempuh pendidikan yang tinggi. Banyak tokoh perempuan yang sekarang mulai memasuki bidang politik dan juga hukum walaupun masih didominasi oleh laki-laki. Tidak hanya bidang politik, perempuan juga banyak yang mulai menempati posisi sebagai seorang pemimpin dalam bidang pekerjaan. Namun, hal tersebut tentunya mengundang banyak pendapat pro dan kontra masyarakat.
Tidak sedikit kritik yang diterima ketika seorang perempuan mendapatkan prestasi atau memberikan pendapatnya di ranah umum. Sering kali masih banyak orang yang melihat perempuan sebagai objek yang hanya bisa dinikmati fisiknya saja. Ketika seorang perempuan berpendapat dan memiliki prestasi yang gemilang, dianggap menyalahkan norma yang ada dan juga “ikut campur” terhadap masalah-masalah yang sedang dibahas yang dirasa hanya boleh diselesaikan oleh laki-laki saja.
Kesimpulan
Melihat banyaknya bentuk diskriminasi dan ketidakadilan yang ada di antara perempuan dan laki-laki menjadi alasan dari munculnya gerakan feminisme di tengah masyarakat. Gerakan feminisme bukan suatu gerakan yang memaksakan masyarakat untuk memberikan keuntungan lebih kepada perempuan sehingga justru malah memberikan ketidakadilan kepada laki-laki. Tujuan utama dari gerakan feminisme sendiri adalah memberikan keadilan baik hak ataupun kewajiban terhadap perempuan dalam semua bidang.
Banyaknya tindakan yang dirasa merendahkan seorang perempuan memberikan kesimpulan bahwa pandangan masyarakat terhadap keseteraan gender masih sangatlah minim. Gerakan feminisme sendiri tidak memiliki intensi untuk menghapuskan atau merendahkan budaya yang sudah ada sejak dahulu. Namun, alangkah baiknya jika sosialisasi mengenai kesetaraan gender disebarkan dengan cara yang menarik dan sopan sehingga banyak masyarakat yang bisa membuka pikirannya untuk mendukung keadilan terhadap perempuan.
Banyak institusi yang sudah mulai terbuka dan memberikan keadilan bagi para perempuan dalam pekerjaannya, namun tidak banyak juga yang masih memberikan diskriminasi secara tidak langsung dalam lingkungan masyarakat. Para perempuan diharapkan untuk memiliki keberanian dalam belajar, bekerja, dan berpendapat. Hal tersebut akan memberikan stigma baru bahwa perempuan tidak hanya sebatas fisik yang cantik, tetapi juga memiliki kecerdasan yang luar biasa.