SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #5: Bersanding dengan Somah Moerba dan Langlajang Domas
Somah Moerba dicetak oleh Percetakan Pengharepan di Bandung. Kantor redaksinya di Gempol Wetan 48 dan administrasinya di Cikapundung 43.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
12 Januari 2023
BandungBergerak.id - Antara 1926 hingga 1928, Sipatahoenan sempat bersanding dengan dua berkala terbitan pengurus besar Paguyuban Pasundan, yaitu Somah Moerba dan penggantinya, Langlajang Domas. Bahkan, pada mulanya Sipatahoenan mewadahi Langlajang Domas sebagai lampiran.
Memang, paling tidak, sejak awal 1926 agaknya sudah ada gagasan dari cabang-cabang Paguyuban Pasundan agar pengurus besarnya mempunyai berkala resmi. Misalnya seperti yang terbaca dari tulisan Soetisna Sendjaja (“Orgaan” dalam Sipatahoenan, 2 Maret 1926). Ia menyatakan Cabang Cianjur dan Bandung membicarakan tentang berkala organisasi. Memang, kata Soetisna, “pagoejoeban teu boga orgaan, sami sareng ka Mekah teu ka Madinah; moen di djelema: pinter, tapi pireu. Tjindekna teu sampoerna” (Paguyuban tidak memiliki berkala sama dengan ke Mekah tidak ke Madinah; bila manusia: pintar tapi bisu. Intinya tidak sempurna).
Soetisna mengatakan lagi bahwa Cabang Tasikmalaya sudah menerbitkan Sipatahoenan, yang bukan hanya untuk Tasikmalaya. Namun, ia tidak tahu bagaimana keinginan Cabang Cianjur, sementara Cabang Bandung berencana akan menerbitkan berkala sendiri untuk sekitar Bandung.
Dalam Sipatahoenan edisi 16 Maret 1926, ada jawaban dari Cabang Cianjur. Intinya mereka memohon maaf, dengan menyatakan tidak iri dan tidak hendak menyaingi Cabang Tasikmalaya yang menerbitkan Sipatahoenan. Sebaliknya, mereka sangat mendukung agar Sipatahoenan menjadi berkala resmi Paguyuban Pasundan, oleh karenanya harus diperkuat dengan jalan ekonomi politik, sehingga menjadi utusan orang Sunda (“Ari angkeuh mah teu benten sareng Tasik, hajang hidji njaeta Sipatahoenan, sarta bade diwewegan disantosaan make djalan economische politiek, malah mandar bisa oeleng bisa langgeng oelah ririwit koe roepa-roepa panjakit, sina bener. Djadi Satria Soendana, sina poegoeh nja djadi oetoesanana oerang Soenda tanah Pasoendan”).
Dalam perkembangannya, sebagaimana yang saya ikuti dari tulisan Ahmad Atmadja (“Soemah Moerba”, dalam Sipatahoenan, 17 Agustus 1926), pengurus besar Paguyuban Pasundan menerbitkan berkala resminya Somah Moerba, dengan redakturnya Bakrie Soeraatmadja di Bandung (“Redactie Sipatahoenan nampi hidji serat kabar orgaan Pagoejoeban Pasoendan noe diwastaan Somah Moerba dikaloearkeun koe Hoofdbestuur Pasoendan. Noe djadi verantwoordelijk Redacteur nja eta djoeragan B. Soeraatmadja di Bandoeng”).
Dengan adanya Somah Moerba, pihak redaksi Sipatahoenan merasa gembira sekaligus pengurus besar Paguyuban Pasundan dinilai telah berupaya memiliki berkala resmi untuk segala keperluannya. Somah Moerba dipandang oleh redaksi Sipatahoenan sebagai kakak sekaligus pembimbing (“ ... noe mawi teu kinten moepakatna HB Pasoendan babakoena djoeragan Voorzitter geus ngadjalankeun satekah polah doegi ka Pasoendan ajeuna gadoeh tarompet officieel Orgaan sorangan pikeun sagala roepi kaperloean Pagoejoeban. Nja kitoe deui Sipatahoenan asa boga doeloer kolot, asa boga anoe ngaping ngadjaring dina rek palidna”).
Sementara dari Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers (IPO) No. 39 (25 September 1926) hingga No. 12 (19 Maret 1927), saya tahu Somah Moerba dicetak oleh Percetakan Pengharepan di Bandung, terbit sebulan sekali dalam format majalah, dan berisi artikel dalam bahasa Sunda maupun Indonesia. Bakrie Soeraatmadja berfungsi sebagai editornya, kantor redaksinya di Gempol Wetan 48 dan administrasinya di Cikapundung 43. Soemah Moerba edisi pertama terbit pada 1 Agustus 1926, No. 3 pada 1 Oktober 1926, No. 5 (1 Desember 1926), No. 6 (1 Januari 1927), No. 7 (1 Februari 1927), dan No. 8 (1 Maret 1927).
Dalam Sipatahoenan edisi 15 Februari 1927, Ahmad Atmadja melalui artikelnya (“Ngaran Officieel Orgaan Pasoendan”) menegaskan bahwa berkala resmi Paguyuban Pasundan adalah Somah Moerba. Artikel tersebut dalam kerangka menjawab pertanyaan Cabang Ciamis tentang nama berkala resmi Paguyuban Pasundan saat berlangsungnya kongres Paguyuban Pasundan di Cianjur. Namun, bila ada usul diganti namanya menjadi Sora Pasoendan, Ahmad lebih menyetujui nama tersebut.
Langlajang Domas
Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya hendak mengajukan Sipatahoenan sebagai organ resmi Paguyuban Pasundan dalam Algemeene Vergadering Pasoendan di Tasikmalaya pada malam Minggu, 16-17 April 1927 (Sipatahoenan, 29 Maret 1927). Namun, keputusan pada pertemuan itu, sebagaimana yang dikemukakan Soetisna Sendjaja (“Orgaan Pasoendan” dalam Sipatahoenan, 31 Mei 1927) adalah Somah Moerba akan hilang dan berganti nama menjadi Langlajang Domas (“Poetoesanana bakal sangling roepa, sangling ngaran. Somah Moerba leungit, Langlajang Domas ... dikandoeng keneh”).
Dalam praktiknya, kata Soetisna, untuk sementara Langlajang Domas akan dijadikan sebagai lampiran dalam Sipatahoenan (“Sangling roepana da eta moal rek tjelengtjengan sorangan. Saajeuna rek noeroet aoeb bae ka Sipatahoenan djadi lampiranana [bisa djadi engke mah njoeroep pisan ka Sipatahoenan rek aja noe moerstel]). Sumbangan uang dan kontribusi lainnya untuk Langlajang Domas dapat dikirimkan kepada Ahmad Atmadja, di Empang, Tasikmalaya. Sementara tulisan-tulisan dapat dikirimkan kepada Oto Soebrata, di Bidara Tjina No. 7, Meester Cornelis, Batavia.
Pada praktiknya, Langlajang Domas mulai dimuat sebagai lampiran Sipatahoenan pada edisi 21 Juni 1927. Di situ ditulis Langlajang Domas: Panglajang Pagoejoeban Pasoendan dan dicetak di Drukkerij Soekapoera, Tasikmalaya. Alamat untuk mengirimkan karangan adalah R.O. Soebrata di Bidara Tjina No. 7, Meester Cornelis. Anggota-anggota redaksinya terdiri atas Soeriadiradja, R. Mochamad Enoch, Soetisna Sendjaja, dan Bakrie Soeraatmadja.
Bekas redaktur Somah Moerba, Bakrie Soeraatmadja menjelaskan perubahan dari Somah Moerba menjadi Langlajang Domas dalam tulisan “Perobahan”. Alasannya, katanya, “Berhoeboeng dengan roepa-roepa kepentingan, terpaksa kita haroes memboeat sedikit perobahan, agar soepaja organisatie Pasoendan bertambah koeat dan tegoeh keadaannja. Maka oleh karena itoe, mazallah Somah Moerba jang hanja terbit seboelan sekali, terpaksa poela dengan sepenoeh-penoeh kekoeatan kita diterbitkan seminggoe sekali”.
Kata Bakrie selanjutnya, “Moelai dari ini hari mazallah kita tiada memakai nama Somah Moerba lagi akan tetapi diganti dengan Langlajang Domas, adapoen tentang perobahan nama ini sesoenggoehnja ada membawa dan mempoenjai arti jang dalam sekali, sehingga tiada moedah diterangkan dengan 4-5 patah perkataan. Maka barang siapa jang mengetahoei benar-benar tentang riwajat tanah Pasoendan nistjaja mengertilah ia akan erti kata Langlajang Domas itoe”.
Di sisi lain, muncul usul agar Sipatahoenan dijadikan sebagai suaranya orang Sunda. Hal ini antara lain dikemukakan Wargaatmadja (“Sipatahoenan djadi Sorana Oerang Soenda”, dalam Sipatahoenan, 5 dan 12 Juli 1927). Demikian pula yang disampaikan langganan Sipatahoenan yang menamakan dirinya Trisoela. Dalam tulisannya “Sipatahoenan Dipikaresep” (Sipatahoenan disukai”, dalam Sipatahoenan, 23 Agustus 1927), ia antara lain menyatakan “Ti barang prak djisim koering langganan Sipatahoenan, katjida resepna. Resep lantaran Sip teh tempatna sasambatna ooerang Soenda” (Sejak mulai berlangganan Sipatahoenan, saya sangat menyukainya. Suka lantaran Sipatahoenan menjadi tempat keluh kesahnya orang Sunda).
Seiring waktu, Langlajang Domas dipisahkan dari Sipatahoenan. Hal ini diungkapkan pihak administrasi Sipatahoenan (“Sipatahoenan djeung Langlajang Domas”, dalam Sipatahoenan, 4 Oktober 1927). Pertimbangan di balik pemisahan itu adalah karena di satu sisi disukai para pembaca dan di sisi lainnya agar tidak menyebabkan ongkos cetak Sipatahoenan terlalu mahal. Keputusan pemisahan konon sudah mendapatkan persetujuan dari pengurus besar Paguyuban Pasundan. Oleh karena itu, yang semula para langganan Sipatahoenan mendapatkan lampiran Langlajang Domas, tidak akan lagi menerimanya, kecuali mengirimkan ongkos kirim serta ongkos cetak Langlajang Domas.
Kata administrasi Sipatahoenan, “Seueur lid Pasoendan noe langganan Sipatahoenan sareng boemina di tempat noe teu aja tjabang Pasoendan moendoet dikintoen Langlajang Domas teu kinten ngadjadikeun bingahna ka noe djadi Bestuur Pasoendan, wireh seueur para Djoeragan noe kersa maos L. Domas djadi lampiran Sipatahoenan sareng dikintoen ka sadaja langganan Sip, nanging kalajan moepakatna Hoofdbestuur Pasoendan soepados oelah djadi abot teuing ongkosna, L. Domas dipisahkeun bae ti Sipatahoenan. Koe margi ajeuna L. Domas henteu dikintoen deui ka sadaja langganan Sipatahoenan”.
Mengenai keberadaan Sipatahoenan dan Langlajang Domas kemudian dibicarakan dalam Algemeene Vergadering (pertemuan umum) Paguyuban Pasundan pada 25-26 Desember 1927 di Garut (Sipatahoenan, 13 Desember 1927).
Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #2: Soetisna Sendjaja Sang Bapak
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #3: Tahun Pertama dan Tahun Kedua
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #4: Memperkenalkan Istilah Marhaen
Telat Terbit dan Telat Diterima
Ternyata Langlajang Domas tidak dapat terbit rutin. Oleh karena itu, pengurus Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya berinisiatif mengirimkan Sipatahoenan kepada anggota Paguyuban Pasundan yang berlangganan Langlajang Domas tetapi tidak berlangganan Sipatahoenan. Hitung-hitung penggantinya, karena Langlajang Domas sudah lama tidak terbit. Ini antara lain diumumkan dalam Sipatahoenan edisi 4 September 1928. Di situ dikatakan, “Oepami aja Sipatahoenan njesa, leden Pasoendan Tjabang Tasikmalaja noe henteu ngalanggan Sipatahoenan, sok dikintoen Sipatahoenan minangka gegentos Langlajang Domas, koe margi ieu s.k. parantos lami teu kaloear”.
Karena lama tidak keluar, penerbitan Langlajang Domas dipermasalahkan dalam rapat anggota (leden vergadering) Paguyuban Pasundan Cabang Kuningan pada 27 Januari 1929. Solusinya, Soewita memohon agar pengurus Cabang Kuningan dan administrasi Sipatahoenan menggantikan langganan Langlajang Domas menjadi langganan Sipatahoenan, dengan syarat harga langganannya diturunkan menjadi f. 1 (Sipatahoenan, 16 Maret 1929).
Agaknya Langlajang Domas memang tidak bertahan lama. Salah satu buktinya, saya menemukan dalam Katalog Mikrofilm Surat Kabar Koleksi Perpusnas RI Periode Tahun 1845-1982 (1999) bahwa Perpustakaan Nasional RI hanya mengoleksi Langlajang Domas dari No. 5, Th. 1 (19 Juli 1927) hingga No. 36, Th. 1 (27 November 1928).
Soalnya, apakah Sipatahoenan pernah juga mengalami keterlambatan terbit atau dikeluhkan para langganannya? Untuk soal keterlambatan terbit Sipatahoenan, saya belum mendapatkan datanya, tetapi untuk keluhan para langganan saya mendapatkan beberapa keterangannya. Misalnya, yang mengemuka dalam surat keluhan yang disampaikan oleh administrasi Sipatahoenan kepada pejabat PTT (Sipatahoenan, 4 Oktober 1927).
Keluhannya berisi soal tidak tetapnya para langganan menerima kiriman Sipatahoenan. Karena pihak administrasi Sipatahoenan kerap mendapatkan surat keluhan dari langganan terutama yang berada di luar kota dan tidak ada kantor pos serta sekali-sekali dari langganan yang ada kantor posnya. Oleh karena itu, Sipatahoenan menyarankan agar pihak Pos mengirimkan surat kontrol bagi para langganan agar segera diisi bila telah menerima kiriman serta memohon bila Sipatahoenan tidak diterima oleh langganan karena tidak ada di rumah atau tidak mau menerimanya agar segera mengembalikan lagi ke alamat administrasi Sipatahoenan.
Atas keluhan tersebut, pihak PTT cepat tanggap. Inspektur PTT datang mengunjungi kantor administrasi Sipatahoenan untuk membicarakan soal tidak tetapnya waktu penerimaan dan memberikan surat yang berisi tentang aturan pengiriman barang (“Post sareng Sipatahoenan”, dalam Sipatahoenan, 9 November 1927). Intinya pihak PTT keberatan atas permohonan administratur Sipatahoenan, sehingga pihak administrasi Sipatahoenan menyarankan agar para langganan yang jauh dari kantor pos membawa sendiri atau menyuruh Sipatahoenan yang ditempatkan di halte, kewedanaan atau kecamatan (“Djadi ka Djoeragan-djoeragan langganan Sip. noe tebih ka kantor pos serat kabar Sip. moegi kersa ditjandak koe andjeun atanapi miwarangan ngabantoen ka halte, ka Kawadanaan atanapi ka katjamatan”).
Namun, langganan Sipatahoenan tetap saja ada yang telat menerima kiriman. Seperti yang tertulis dalam berita singkat “Ngaganggoe Sipatahoenan” (Sipatahoenan, 17 April 1928), pihak administrasi menerima keluhan dari langganan di Parigi dan Cikalong, karena Sipatahoenan kerap datang telat dan suka ada yang membuka terlebih dulu. Oleh karena itu, pihak redaksi menyarankan agar setiap hari Rabu, para langganan menanyakan kepada pihak atau orang yang menerima paketnya (“Saena mah oenggal dinten Rebo Sipatahoenan taroskeun ka bestelhuishouder”)
Pihak yang antara lain diduga membuka terlebih dulu kiriman Sipatahoenan adalah kepala kantor kecamatan. Ini digambarkan dengan sindiran oleh “Langganan” dalam tulisan “Nota I. Antjaman Sopan! Pikeun Hama Soerat Kabar!” (Sipatahoenan, 20 November 1928). Dengan cara menyindir, “Langganan” mendapati jawaban dari kepala kantor kecamatan yang tertangkap basah sedang membaca Sipatahoenan yang bukan miliknya itu dengan menyatakan: “Ih, pereloe dibatja heula, bisi aja politiek” (Ih, perlu dibaca dulu, takutnya ada politik).