• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #4: Memperkenalkan Istilah Marhaen

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #4: Memperkenalkan Istilah Marhaen

Marhaen atau marhaenisme dipakai Soekarno untuk menyebut rakyat kebanyakan yang hidup dari hasil pertanian. Soekarno mengaku bertemu petani di Bandung selatan.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Menurut Marhaen Poetra, Sipatahoenan mulai mempopulerkan istilah Marhaen pada tahun 1927. (Sumber: Daulat Ra’jat No. 2, 10 Januari 1932)

5 Januari 2023


BandungBergerak.idSalah satu kontribusi penting dari Sipatahoenan bagi pergerakan di tanah air pada tahun 1920-an adalah memperkenalkan istilah Marhaen. Selama ini, istilah tersebut terutama dinisbatkan kepada Presiden Soekarno, dengan versi asal-usul yang berbeda-beda.

Bob Hering (From Soekamiskin to Endeh: An Analysis and Documentary Collection surrounding Soekarno's Early Political Activities, 1979: 4) menyebutkan Soekarno memperkenalkan istilah Marhaen untuk pertama kalinya pada bulan Desember 1930 dalam pidato pembelaannya, yang dikenal sebagai Indonesia Klaagt aan, Indonesia Accuses atau Indonesia Menggugat. Demikian pula yang dikatakan Ainslie Thomas Embree (Encyclopedia of Asian History, Vol. 2, 1988: 502).

Namun, Michael Leifer (Dictionary of the Modern Politics of Southeast Asia, 2013: 181) menyebutkan bahwa Soekarno mula-mula menggunakan istilah Marhaen selama masa-masa menyampaikan kursus-kursus politiknya pada tahun 1927. Pendapat Leifer didasarkan pada pidato yang disampaikan oleh Soekarno pada peringatan ke-30 tahun Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung.

Sementara fakta lain disampaikan Mavis Rose (Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta, 2010: 22). Menurut Mavis, “Marhaen was a Sundanese name, first used by Sarikat Islam, although Sukarno was to claim credit for coining the term” (Marhaen adalah nama seorang Sunda, yang pertama kali digunakan oleh Sarikat Islam, meskipun Soekarno yang mengklaim pertama kali menggunakan istilah tersebut).

Lalu, bagaimana yang disampaikan sendiri oleh Soekarno? Saya sendiri membaca teks pidaton Soekarno yang antara lain membahas mengenai Marhaen. Pidatonya bertajuk “Shaping and Re-shaping Indonesia: Kuliah Presiden Sukarno pada malam peringatan 30 tahun berdirinja PNI di Bandung, pada tanggal 3 Djuli 1957” (dalam Dewan Nasional: maksud pembentukan, sifat, fungsi, tugas, susunannya, 1957: 89-90).

Di situ, antara lain, Soekarno mengatakan, “Saudara-saudara, dahulu ada satu istilah jang terkenal didalam tahun 1926, dikalangan rakjat Indonesia, jaitu perkataan Proletar. Perkataan Proletar ini sering tidak dimengerti akan artinja. Perkataan Proletar ini dipergunakan didalam tahun 1926 itu, untuk menggambarkan seluruh Rakjat jang djembel, Proletar. Tetapi ia bukan Proletar samasekali.”

Sementara pembahasan asal-usul istilah Marhaen, termasuk perbedaannya dengan istilah proletar, tersaji dalam satu paragraf panjang. Saya akan mengutipnya sebagian, berikut ini: “Didalam tahun 1927 saja sudah berkata didalam kursus-kursus saja, terutama sekali didalam kursus-kursus kader, bahwa Proletar adalah orang jang mendjualkan tenaganja kepada orang lain, dengan tidak ikut memiliki alat-alat produksi. Proletar adalah buruh, dengan tidak ikut memiliki alat-alat produksi. Tetapi Bangsa kita, saudara-saudara, terdiri daripada puluhan djuta rakjat, jang tidak semuanja masuk kedalam istilah Proletar ini.”

Asal mula istilah Marhaen diterangkan Soekarno sebagai berikut: “Banjak sekali jang tidak buruh, banjak sekali jang tidak mendjual tenaganja kepada orang lain, malahan sudah saja terangkan dulu kepada saudara-saudara, kawan-kawan lama, apa sebab saja memakai perkataan Marhaen, tak lain tak bukan, ialah oleh karena saja pada suatu hari berdjalan-djalan disawah Kiduleun Tjigereleng, saudara-saudara, saja berdjumpa dengan seorang-orang jang sedang mematjul disana, saja bertanja kepadanja: Saudara, tanah ini siapa punja? Gaduh abdi. Djadi dia ikut memiliki alat produksi, sawah ini ia punja. Ini patjul, siapa punja ? Gaduh abdi. Alat-alat ini, siapa punja ? Gaduh abdi. Tetapi, saudara, engkau hidup miskin. Betul, saja hidup miskin. Saja pada waktu itu berfikir, ini orang djelas dan tegas bukan orang Proletar. Ia djembel, ia miskin, ia papa sengsara, ia kekurangan hidup, tetapi ia bukan Proletar, oleh karena dia tidak mendjual tenaganja kepada orang lain, dengan tidak ikut memiliki alat produksi. Sawahnja, milik sendiri. Patjulnja, milik sendiri. Artinja, milik sendiri. Garunja, milik sendiri. Segala apa-apanja, milik sendiri. Hasil daripada sawahnja ini, untuknja sendiri. Tetapi ia djembel, ia miskin. Ia bukan Proletar, dia adalah seorang petani Ketjil, tani sieur, kata saja pada waktu itu, tani gurem, dia bukan Proletar. Pada waktu itulah, saudara-saudara, saja tanja kepadanja: Nama saudara siapa? Heh, abdi Marhaen. Pada waktu itu dia berkata, bahwa dia punja nama adalah Marhaen. Mendapat ilhamlah pada waktu itu, saudara-saudara, Bung Karno. La, ini nama akan saja pegang terus.”

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #1: Gagasan dan Titimangsa Terbit
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #2: Soetisna Sendjaja Sang Bapak
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #3: Tahun Pertama dan Tahun Kedua

Sipatahoenan mulai memperkenalkan istilah Marhaen dalam pojok “Ti Pipir Hawoe”, bulan Januari 1926. (Sumber:  Sipatahoenan No. 29, 12 Januari 1926)
Sipatahoenan mulai memperkenalkan istilah Marhaen dalam pojok “Ti Pipir Hawoe”, bulan Januari 1926. (Sumber: Sipatahoenan No. 29, 12 Januari 1926)

Dari Daulat Ra’jat 

Versi lain tentang asal mula istilah Marhaen saya temukan dalam berkala sepuluh harian yang diterbitkan oleh Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) di bawah kemudi Mohamad Hatta dan Sjahrir. Berkala yang saya maksudkan adalah Daulat Ra’jat edisi Tahoen ke-II, No. 2, 10 Januari 1932. Di situ ada artikel berjudul “Marhaen dan Marhenisme” yang ditulis oleh orang yang menamakan dirinya Marhaen Poetera.

Pada awal tulisan, Marhaen Poetera menulis, “Barangkali sdr-sdr pembatja tidak akan asing lagi kepada kata-kata ‘Marhaen dan Marhaenisme’, sebagai jang saja toeliskan diatas itoe. Ramai dibitjarakan orang, baik didalam rapat-rapat, maoepoen didalam pertjakapan biasa, baik ditoeliskan didalam madjalah-madjalah, maoepoen didalam s.k. harian”.

Menjelang uraian asal usul istilah Marhaen, penulis menyatakan “Oentoek memoedahkan pengertian pembatja perihal Marhaenisme itoe, baiklah kita selidiki dahoeloe akan riwajatnya Marhaen dan Marhaenisme itoe”.

Hasil penyelidikan penulis sangat menarik perhatian. Karena ia menyatakan istilah tersebut kerap digunakan oleh surat kabar Sipatahoenan sejak 1927. Selengkapnya, Marhaen Poetera menulis, “Sedjak tahoen 1927 oleh s.k. Sipatahoenan ja’ni s.k. bahasa Soenda jang besar pengaroehnja didaerah Priangan ini, maka perkataan Marhaen ini sering-sering dikeloearkan. Adapoen jang digambarkan oleh perkataan Marhaen itoe, ja’ni kaoem Ketjil (Soedra). S.k. terseboet djoega sering-sering Redacteurnja ditangkap dan dihoekoem karena membela kaoem Marhaen sehingga mengindjak randjau pers”.

Dengan pernyataan tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa menurut Marhaen Poetera, istilah Marhaen mula-mula diperkenalkan oleh Sipatahoenan pada tahun 1927. Tetapi, saya sendiri masih penasaran, apakah memang Sipatahoenan kerap menggunakan istilah itu pada 1927. Untuk menjawab rasa penasaran, saya menelusuri koleksi Sipatahoenan bahkan dimulai dari terbitan 1925 dan 1926. Hasilnya menunjukkan bahwa pada seluruh Sipatahoenan edisi 1925 saya tidak terdapat kata Marhaen. Sementara dari Sipatahoenan tahun 1926, saya menemukan banyak istilah Marhaen.

Istilah Marhaen dalam Sipatahoenan sudah disiarkan dalam edisi Januari 1926, yaitu pada No. 29, 12 Januari 1926. Kata Marhaen muncul dalam pojok “Ti Pipir Hawoe”. Gelenjoe, sang penjaga pojok, menyatakan “Marhaen ngarahoeh kawas noe tjape. Gogodeg, beungeut tjeudeum; da meureun njaho, kahajang kohkol. Ari baha emboeng. Apa boleh boeat rek waleh bae ka djoeragan koewoe, da dalah dikoemaha teu atjan aja. Lenghoj indit ...” (Marhaen menghela nafas seperti merasa capai. Ia menggelengkan kepala, roman mukanya muram; sebab barangkali tahu arti bunyi kentongan. Tapi menolak ia tidak hendak. Apa boleh buat, ia akan berterus terang kepada tuan kepala desa, sebab bagaimanapun ia belum punya. Dengan lunglai ia berangkat ...”).

Dalam tulisan tersebut, belum nampak identifikasi sosok Marhaen itu. Tapi dalam pernyataan Gelenjoe selanjutnya saya tahu Marhaen merupakan representasi dari somah atau rakyat kebanyakan. Kata Gelenjoe, “Geus karoempoel Marhaen. Marhaen, tjelengkeung djrg. Koewoe leseng ngalesengkeun kawadjiban noe djadi somah. Pang nomoer-nomerna wadjib ... majar padjeg” (Setelah Marhaen berkumpul. Marhaen, sang tuan kepala desa mulai pidatonya, menyampaikan kewajiban rakyat kebanyakan. Hal paling wajib [bagi rakyat kebanyakan] adalah ... membayar pajak).

Dalam Sipatahoenan No. 35, 23 Februari 1926, kian jelas Marhaen adalah perwujudan rakyat kebanyakan yang awam. Berikut kutipan kalimatnya, “Koe oerang koedoe diakoe, djelema loba teu pati-saenjana, leuwih ti teu pati, teu pati njahoeun kana oedaganana Pasoendan. Lain teu ditarik teu ditakon Ki Marhaen, ngan petana ngadjalankeunana teu atjan tjoekoep teu atjan sakoemaha koedoena” (Kita harus mengakui bahwa umumnya orang agak tidak bersungguh-sungguh, bahkan lebih dari itu, mereka tidak terlalu mengetahui tujuan [Paguyuban] Pasundan. Bukan karena Ki Marhaen tidak diajak mengobrol, melainkan karena laku menjalankannya belum cukup, belum sebagaimana mestinya).

Dalam Sipatahoenan No. 43, 20 April 1926, ditegaskan Marhaen itu mewakili bangsa bumiputra. Di situ disebutkan “Djadi hartina bangsa oerang oge, Ki Marhaen, miloe keuheul, teu nambahan deui parabot perang” (Jadi artinya bangsa kita pun, Ki Marhaen, turut merasa kesal, karena alat-alat perang tidak bertambah lagi. Dalam edisi No. 49, 1 Juni 1926, di tulisan berjudul “Orgaan” dikatakan, “Oerang mah pilakadar Marhaen sakitoe oge oejoehan, malah mah lamoen werat mah koedoe moedji maneh” (Kita hanyalah Marhaen, pencapaian seperti itu pun cukup, bahkan bila berani berterus terang kita seharusnya memuji diri sendiri).

Pada edisi-edisi lainnya, istilah dapat ditemukan pada No. 53 (29 Juni 1926) pada kata “Kawadjiban Marhaen”, “Marhaen” (dalam No. 1, 6 Juli 1926),  “Ki Marhaen” (No. 2, 13 Juli 1926; No. 17, 26 Oktober 1926; No. 22, 30 Nobember 1926), “Anak Marhaen” (No. 5, 3 Agustus 1926), “Mang Marhaen” (No. 14, 5 Oktober 1926), “Kaom Marhaen” (No. 23, 7 Desember 1926), dan “Si Marhaen” (No. 24, 14 Desember 1926).

Alhasil, dapat dibilang, Marhaen Poetera, seperti yang tercermin dari tulisannya (1932), keliru mengingat-ingat kapan pertama kali Sipatahoenan mulai menggunakan istilah Marhaen. Marhaen Poetera telat satu tahun menyebutkannya. Seharusnya pada tahun 1926, bukan tahun 1927. Dengan sisa pertanyaan, apakah Sipatahoenan memang yang pertama memperkenalkan istilah Marhaen atau hanya mempopulerkannya? Mengingat Mavin Rose (2010) menyebutkan Sarikat Islam yang pertama kali menggunakannya.***

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//