• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #1: Gagasan dan Titimangsa Terbit

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #1: Gagasan dan Titimangsa Terbit

Selama puluhan tahun Sipatahoenan merekam banyak peristiwa penting di tanah air. Salah satunya pengadilan Soekarno dan kawan-kawan pada 1930.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Paviliun rumah Ahmad Atmadja di Jalan Kajaksaan, Tasikmalaya, sempat dijadikan sebagai kantor Sipatahoenan sejak pertama kali terbit pada 1 Juli 1924. (Sumber: 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933))

7 Desember 2022


BandungBergerak.id - Satu-satunya koran Sunda yang bertahan sangat lama adalah Sipatahoenan. Paling tidak, corong Paguyuban Pasundan ini tercatat terbit antara 1924 hingga 1987. Dengan catatan, dalam rentang itu, Sipatahoenan mengalami beberapa kali masa vakum. Misalnya pada masa pendudukan Jepang, terpaksa dihentikan karena harus berfusi dengan berkala-berkala lain terbitan Bandung dan menjadi berbahasa Indonesia: Tjahaja.

Selama puluhan tahun terbit, Sipatahoenan merekam sekian banyak peristiwa penting di tanah air. Salah satunya yang sangat terkenal adalah pengadilan Soekarno dan kawan-kawan pada 1930. Keterangan verbatim saksi-saksi, pembelaan-pembelaan, dalam persidangan dimuat seluruhnya dalam Sipatahoenan. Bahkan, koran ini pernah menerbitkan edisi khusus Soekarno pada akhir 1931. Pemuatan isu Soekarno menyeret pemimpin redaksi Sipatahoenan, harus berurusan dengan hamba hukum.

Sebelumnya, menurut berkala terbitan Partai Nasional Indonesia (PNI), Sipatahoenan pula yang mula-mula mempopulerkan istilah “Marhaen” kepada masyarakat luas. Konon, Sipatahoenan mulai menyiarkan jargon “Marhaen” sejak 1927.

Demikian pula, dari Sipatahoenan, kita dapat melacak sejarah organisasi kebangsaan dan keagamaan khususnya di Bandung dan umumnya di Jawa Barat. Tentu saja, yang pertama dan terutama adalah perkembangan Paguyuban Pasundan itu sendiri, sebagai penerbit Sipatahoenan. Selain melaporkan kongres, rapat, dan kelahiran cabang-cabang Pasundan, Sipatahoenan banyak pula mewartakan sepak terjang tokoh-tokoh Pasundan yang berkecimpung di kancah pergerakan nasional. Misalnya R. Oto Iskandar di Nata, R. Soetisna Sendjaja, R. Ating Atmadinata, R. Idih Prawira di Putra, Ir. Djuanda Kartawidjaja, R. Niti Soemantri, R. Atik Soeardi, R. Mochamad Enoch, Emma Poeradiredja, dan lain-lain.

Dengan demikian, sebenarnya, meski ditulis dalam bahasa Sunda, tapi kontribusi Sipatahoenan sangat besar dalam perkembangan wacana nasionalisme Indonesia. Dengan kata lain, turut membentuk rasa kebangsaan Indonesia.

Bagi kebudayaan Sunda, Sipatahoenan adalah saksi sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Yang paling menonjol tentu saja perkembangan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar koran tersebut. Sepanjang Sipatahoenan terbit, selalu ada wacana dan peristiwa yang melibatkan bahasa Sunda: kongres bahasa, kedudukan bahasa halus dan kasar, sikap terhadap bahasa Belanda dan Melayu, kemunculan kosa kata baru seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, politik, sosial, budaya yang ditanamkan Belanda. Dengan kata lain, kita dapat menyaksikan bahasa Sunda yang mengalami modernisasi; bahasa Sunda mengalami demokratisasi; dan bahasa Sunda yang berfungsi sosial.

Sipatahoenan menjadi wahana para pengarang Sunda mengumumkan karya-karyanya. Dari, antara lain, rubrik “Implik-implik”, “Leleson Dinten Minggu”, “Ngobrol”, dan “Tjarios Pondok”, saya menemukan sekian banyak nama pengarang. Misalnya Moh. Ambri, Bakrie Soeraatmadja, R. Moch. A. Affandie, M.A. Salmoen, Sjarif Amin atau Moh. Koerdie, Nanie Soedarma, KTS, hingga Utuj Tatang Sontani. Dari Sipatahoenan, kita dapat menyaksikan pula sastra Sunda tengah memasuki masa modern, melalui penulisan novel, cerita pendek, drama, prosa lirik, dan merasuknya nilai-nilai modern pada karya sastra yang sebelumnya bersifat tradisi, misalnya puisi dangding atau guguritan yang banyak berisi protes sosial, nasionalisme, teknologi, dan lain-lain.

Setelah dibawa pindah ke Bandung sejak 1931, Sipatahoenan menjadi lumbung informasi sejarah Kabupaten dan Kota Bandung. Kegiatan, peristiwa, tokoh-tokoh di Bandung, baik yang punya pengaruh besar atau remeh temeh banyak kita jumpai. Oleh karena itu, mau menulis apa saja yang ada di Bandung antara 1931-1987 dapat menggunakan Sipatahoenan sebagai sumbernya. Contoh-contohnya, antara lain, rapat-rapat dewan kabupaten dan kota, kelahiran dan perkembangan kebun binatang, keadaan kampung-kampung di kota, peristiwa pembunuhan istri Asep Berlian dan proses pengadilannya.

Namun, meski sangat penting, ternyata hingga sekarang belum ada yang menuliskan sejarah Sipatahoenan secara memadai. Sepanjang yang saya ketahui, baru Rahim Asyik yang mengangkat Sipatahoenan sebagai bahan kajian. Pada 2018, ia menyusun tesis bertajuk Konflik dan Harmoni: Sipatahoenan di Bawah Tiga Pemimpin Redaksi, 1924-1942.

Demi mengisi celah kosong, mulai hari ini, saya akan mencicil sejarah Sipatahoenan. Tapi karena rentang panjang penerbitannya, saya membatasi penulisan hanya antara 1924 hingga 1942. Tahun 1924 dijadikan sebagai titik berangkat, karena fakta membuktikan Sipatahoenan memang terbit tahun 1924, bukan 1923 sebagaimana yang diyakini dan digunakan pengelola Sipatahoenan sendiri dalam berbagai publikasinya. Sementara 1942 adalah tahun terakhir Sipatahoenan terbit pada zaman penjajahan Belanda, sebelum dilarang terbit oleh Jepang.

Untuk tulisan pertama, saya akan mendedahkan mengenai latar belakang dan gagasan lahirnya Sipatahoenan serta titimangsa terbit edisi pertamanya.

Setelah dari rumah Ahmad Atmadja, Sipatahoenan berkantor di bangunan yang kemudian menjadi HIS Pasundan Tasikmalaya, sejak Januari 1929. (Sumber: 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933))
Setelah dari rumah Ahmad Atmadja, Sipatahoenan berkantor di bangunan yang kemudian menjadi HIS Pasundan Tasikmalaya, sejak Januari 1929. (Sumber: 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933))

Tidak Ada Surat Kabar Berbahasa Sunda

Ihwal latar belakang penerbitan Sipatahoenan saya temukan dalam 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan (1933) dan Sip 1923-1953 (1953). Dalam 10 Taoen Dagblad Sipatahoenan ada tulisan pendahuluan dan “Pangeling-eling Sipatahoenan 10 Taoen” karya Ahmad Atmadja. Sementara dalam Sip 1923-1953 dijelaskan oleh Ahmad Atmadja melalui tulisannya “Tri Dasa Warsi”, Soetisna Sendjaja (“Op Hoop van Zegen”), dan Bakrie Soeraatmadja (“Sipatahoenan dina Djaman Djadjahan”).

Dalam pendahuluan (1933), disebutkan alasan penerbitan Sipatahoenan adalah ketiadaan berkala Sunda, terutama setelah tidak terbitnya surat kabar Padjadjaran dan Siliwangi . Bahkan, konon, sempat tidak ada sama sekali surat kabar berbahasa Sunda. Oleh karena itu, setelah konferensi Paguyuban Pasundan di Bandung pada tahun 1923, ada yang mengajukan pertimbangan untuk menerbitkan surat kabar berbahasa Sunda, paling tidak untuk sementara terbitnya seminggu sekali (“Koe sabab eta, dina saenggeusna conferentie Pagoejoeban Pasoendan di Bandoeng, dina taoen 1923, aja noe ngasongkeun timbangan hajang ngaloearkeun soerat kabar basa Soenda, saheulanan mah saminggoe sakali”).

Dalam rapat diputuskan bahwa surat kabar mingguan itu akan menggunakan nama Sipatahoenan dan menjadi milik Paguyuban Pasundan cabang Tasikmalaya, demikian pula kedudukannya (“Harita nja dipoetoeskeun, ngaloearkeun soerat kabar minggoean basa Soenda make ngaran Sipatahoenan, sarta ieu soerat kabar teh djadi milikna Pagoejoeban Pasoendan tjabang Tasikmalaja, nja kitoe deui tempatna oge di Tasikmalaja”).

Menurut Ahmad Atmadja (1933), konferensi Pasundan di Bandung itu dipimpin oleh Kadmirah Karnadidjaja. Pesertanya antara lain S. Prawiraamidjaja, Otto Soebrata, Sastraprawira dari Sukabumi, Bakri Soeraatmadja dan Imoen dari Surabaya, dan utusan dari Tasikmalaya, yaitu Kartawisastra dan Ahmad Atmadja. Saat itu diputuskan untuk menerbitkan surat kabar oleh Paguyuban Pasundan dan bertempat di Tasikmalaya.

Alasan terbitnya, kata Ahmad, terutama agar menjadi obor pergerakan. Sebab saat itu hampir semua perkumpulan politik dan organisasi pegawai dibubarkan atau sangat dibatasi ruang geraknya. Harapannya, dengan terbitnya berkala dalam bahasa Sunda, orang Sunda turut bangkit, tidak terus diam saja.

Pada praktiknya, karena pengurus pusat Paguyuban Pasundan sedang tertimpa masalah, penerbitan dan pengelolaan surat kabar berbahasa Sunda itu, menurut Ahmad, diserahkan kepada Paguyuban Pasundan cabang Tasikmalaya. Termasuk risiko dan tektek bengeknya harus dipertanggungjawabnkan oleh Cabang Tasikmalaya.

Sementara penggunaan nama Sipatahoenan diterangkan oleh Ahmad Atmadja dalam “Tri Dasa Warsi” (1953). Katanya, “Naon margina ieu surat kabar diwastaan Sipatahoenan? Lami diadoerenjomkeun. Ku werit tea, nja ngadamel wasta oge ngabantun hidji ngaran nu teu patos dikenal ku kaom pendjadjah. Lantaran upami nganggo ngaran nu tetela hartina, upami Sora Merdeka, tangtos ku kaki tangan kaom pendjadjah dikingkilikan, anu matak tambih sesah pikeun djalanna ieu surat kabar” (Apa sebabnya surat kabar ini disebut Sipatahoenan? Lama jadi bahan diskusi. Karena dalam keadaan genting, namanya mengambil sebuah nama yang tidak begitu dikenal oleh kaum penjajah. Sebab bila menggunakan nama yang jelas artinya, misalnya Sora Merdeka, tentu saja akan selalu dicari kesalahannya, sehingga membuat jalannya surat kabar tersebut kian susah).

Ahmad menjelaskan juga tujuan penerbitan Sipatahoenan, yaitu hendak mempercepat datangnya kemerdekaan Indonesia. Dan menurut kepercayaan orang Sunda, barang siapa yang dapat menyelami Leuwi Sipatahoenan (lubuk Sipatahoenan), maka orang tersebut akan selamat dalam memperjuangkan kemerdekaan. Meskipun hanya ada dalam cita-cita dan pikiran penerbitnya saat itu.

Senada dengan keterangan Ahmad Atmadja, kata Bakrie Soeraatmadja (1953), setelah pemogokan buruh kereta api di Pulau Jawa yang digerakkan VSTP, pemerintah kolonial memperkeras pengawasan terhadap pergerakan bumiputra, bahkan pasal-pasal dalam hukum pidana bertambah dengan ancaman terhadap hidup-matinya persuratkabaran bumiputra. Sebab, menurut Bakrie, “Surat kabar teh parabot nu kawilang penting pisan, pikeun propaganda pergerakan mah” (surat kabar terbilang perkakas sangat penting untuk propaganda pergerakan).

Dengan pengawasan ketat kolonial, banyak berkala bumiputra yang tidak lagi dapat diterbitkan. Termasuk surat kabar Siliwangi terbitan Paguyuban Pasundan. Bahkan akhirnya, khususnya di Priangan dan umumnya di Tatar Sunda sempat ada masanya tidak ada satu pun surat kabar berbahasa Sunda yang terbit.

Namun, berbeda dengan keterangan dalam pendahuluan (1933), Bakrie Soeraatmadja (1953) menyatakan konferensi Paguyuban Pasundan itu terjadi pada 25 dan 26 Desember 1922, bukan 1923. Konferensinya diselenggarakan di sebuah rumah di Jalan Balonggede, Bandung, dan dihadiri 20-an peserta. Keputusan saat itu adalah Paguyuban Pasundan akan menerbitkan surat kabar mingguan bernama Sipatahoenan.

Kata Bakrie, “Ieu ngaran nulad tina ngaran salah sahidji leuwi di wewengkon Pakuan Padjadjaran baheula. Tjeuk dongeng dina pustaka mangsa Pusaka Sunda, nu dikaluarkeun ku Java Instituut, nja eta leuwi nu dipake ‘ngudji’ djadjatenna Siliwangi keur murangkalih keneh, samemeh mangku kaprabon di Pakuan Padjadjaran. Usul nu djadi ngaran tea diasongkeun ku utusan Pag. Pasoendan tjabang Surabaja (Djawa Wetan, nu nulis ieu karangan”.

Maksudnya, nama Sipatahoenan diambil dari nama lubuk di Pakuan Pajajaran, yang konon, menurut majalah Poesaka Soenda terbitan Java Institut, merupakan tempat uji kekuatan Prabu Siliwangi semasa kecil, sebelum menjadi raja. Pengusul nama Sipatahoenan adalah utusan Paguyuban Pasundan cabang Surabaya, yaitu Bakrie sendiri.     Setelah diputuskan, sejak Januari 1923 hingga April 1923, kata Bakrie, digunakan sebagai persiapan penerbitan. Akhirnya “tanggal 20 April 1923, Sipatahoenan medal ka dunja, di Tasikmalaja (“Tanggal 20 April 1923, Sipatahoenan lahir ke dunia, di Tasikmalaya).

Sementara, menurut Soetisna Sendjaja (1953), ia diberitahu rencana penerbitan Sipatahoenan oleh Ahmad Atmadja dan bertanya mengenai siapa yang akan memimpin dan bagaimana hitungan penerbitannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dijawab senyum oleh Ahmad. Soetisna paham demikianlah memang kebiasaan Ahmad Atmadja bila hendak “memberi tugas”.

Tugas yang diberikan Ahmad kepada Soetisna adalah membidani kelahiran Sipatahoenan, yang namanya dibawa dari Bandung dan pihak Bandungnya sendiri (baca: Pengurus Besar Paguyuban Pasundan) hanya menjadi pendorong untuk menerbitkan surat kabar (“Sidik ... teu mentjog satjongo buuk, kudu djadi indung beurang, maradjian Sipatahoenan, ngaran nu ditjandak ti Bandung, Bandung ngan ukur ngadjurung, ngaluarkeun surat kabar”).

Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (1): Menemukan Jejak Joehana
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #1: Berangkat dari Paguyuban Pasundan
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #1: Mengapa Mengkaji Tuan Tanah Ujungberung dan Sukabumi?

Hingga 9 Desember 1924, Sipatahoenan No. 24 masih ada pada tahun terbitan pertama. Artinya, surat kabar tersebut memang mulai terbit pada 1 Juli 1924, bukan 20 April 1923. (Sumber: Sipatahoenan No. 24, 9 Desember 1924)
Hingga 9 Desember 1924, Sipatahoenan No. 24 masih ada pada tahun terbitan pertama. Artinya, surat kabar tersebut memang mulai terbit pada 1 Juli 1924, bukan 20 April 1923. (Sumber: Sipatahoenan No. 24, 9 Desember 1924)

Persiapan dan Tanggal Pertama Kali Terbit

Dari mana modal awal penerbitan Sipatahoenan? Berapa besarnya? Siapa saja yang terlibat dalam pengelolaannya mula-mula? Menurut Ahmad Atmadja (1953), sebenarnya menerbitkan surat kabar itu adalah langkah yang terbilang gegabah, karena tidak ada modal awal. Namun, sejak awal diyakini akan didukung oleh orang Sunda secara luas. Memang terbukti, sejak Sipatahoenan mulai terbit, banyak yang mendaftar sebagai pelanggan, dari daerah Priangan, Banten, Jakarta, dan Cirebon. Barangkali, kata Ahmad, karena orang Sunda sangat merindukan bacaan berbahasa Sunda.

Sementara modal awalnya hanyalah cukup untuk biaya cetak dan pembelian kertas. Sementara redaktur, administratur sama sekali tidak diberi gaji (“Modal teh ngan aja keur ongkos njitak sareng meser keretas, da redaktur, administratur mah sama sakali teu aja nu digadjih”).

Menurut Soetisna (1953), uangnya merupakan hasil pinjaman dari Schoolfonds Pasoendan (yayasan pendidikan Paguyuban Pasundan) sebesar 37,5 atau 47,5 gulden. Ahmad Atmadja yang tahu persis jumlahnya (“Nu mangrupa artos, duka tilu puluh tudjuh setengah, duka opat puluh tudjuh satengah, kenging nambut tina Schoolfonds Pasundan. Aji Ahmad nu uninga leres, da ieu mah bagian andjeunna”).

Soetisna pula yang mula-mula mengemudikan keredaksian Sipatahoenan. Menurut Ahmad Atmadja (1933 dan 1953), redaktur pertama Sipatahoenan adalah Soetisna Sendjaja dan Atmawinata, yang saat itu menjadi guru HIS Pasundan di Tasikmalaya. Sementara administraturnya Koesnadi Martakoesoema. Pengedar korannya Roekanta. Tukang lipat koran Soepandi, murid HIS Pasundan. Koresponden paling besar kontribusinya adalah Bakrie Soeraatmadja dari Surabaya. Selain Bakrie, ada Wira Sendjaja, Wangsaatmadja dari Bandung, Raden Kartaatmadja Timbang Windu Ciamis, dan lain-lain.

Mula-mula Sipatahoenan berkantor di rumah Ahmad Atmadja di Jalan Kajaksaan, Tasikmalaya. Katanya (1953), “Upami dinten Saptu dongkap Sipatahoenan ti kantor tjitak, teras bae indungna barudak sareng kaponakan-kaponakan nu nudju sakola nilepan surat kabar. Sawengi djeput dugi ka dinten Minggu beres. Senen endjing-endjing dilebetkeun ka kantor pos” (Bila hari Sabtu, Sipatahoenan datang dari percetakan, istri saya dan anak-anak beserta keponakan-keponakan yang masih sekolah melipat-lipat surat kabar. Semalaman hingga hari Minggu baru beres. Senin pagi, Sipatahoenan dimasukkan ke kantor pos).

Lalu, kapan Sipatahoenan terbit pertama kali? Bakrie (1953) menjawabnya mantap: 20 April 1923. Namun, apakah betul begitu? Karena menurut penelitian Rahim Asyik (2018), titimangsa tersebut keliru. Sebab, dalam penomoran korannya sendiri, pada edisi 13 Januari 1925 tertulis, SipatahoenanNomer 29 taoen ka I”. Kalau dihitung mundur dari situ, maka edisi pertamanya terbit 29 pekan sebelumnya, yakni 24 Juni 1924 dengan catatan terbit tanpa jeda. Penjelasan itu selaras dengan penomoran edisi berikutnya. Oleh karena itu, menurut Rahim, titimangsa paling tepat untuk edisi pertamanya adalah 24 Juni 1924.

Karena penasaran, saya menelusuri Sipatahoenan edisi 1925. Hasilnya, saya menemukan tulisan “Wartos ti Directie sareng Administratie” (Sipatahoenan, 30 Juni 1925). Di situ secara jelas dituliskan tanggal terbit pertama Sipatahoenan: “Sipatahoenan didjoeroekeunana dina 1 Juli 1924, waktos noe katjida sesahna. Bezuiniging keur meudjeuhna tengah-tengah djalan dina keur tatarikna” (Sipatahoenan dilahirkan pada 1 Juli 1924, pada masa yang sangat sulit. Bezuiniging sedang di tengah-tengah dalam keadaan yang sangat kencang-kencangnya). Sebelumnya dikatakan 1 Juli 1925 adalah ulang tahunnya Sipatahoenan (“1 Juli 1925, nja eta taoenan Sipatahoenan”).

Soetisna Sendjaja memperkuatnya dengan tulisan “Tahoen ka 2” sebagai tajuk rencana edisi 30 Juni 1925 sebagai edisi nomor 1 tahun kedua. Dengan demikian, dari kedua tulisan itu, dapat disimpulkan memang Sipatahoenan edisi pertama diterbitkan pada 1 Juli 1924, bukan 20 April 1923. Namun, hingga sekarang saya belum menemukan penjelasan mengapa titimangsa tersebut dijadikan hari lahir Sipatahoenan.

Saya sempat berdiskusi dengan Rahim Asyik (via WhatsApp) tentang kekeliruan tersebut. Pada 2 Februari 2018, Rahim menyatakan: “Kalepatan muncul ngawitan taun 1933, disebatna 10 taun, padahal taun ka 10” (kekeliruan baru muncul pada tahun 1933, ketika disebut 10 tahun, padahal [seharusnya] tahun kesepuluh). Kemungkinan besar memang demikian penyebab kelirunya tahun kelahiran Sipatahoenan, meski untuk tanggalnya entah dari mana asalnya.

Saya dapat menambahkan, kekeliruan perhitungan tahun berasal dari perubahan periode terbit Sipatahoenan, yang semula antara pertengahan 1924 hingga akhir 1928 terbit seminggu sekali (mingguan); sejak Januari hingga Desember 1929 terbit seminggu dua kali, Rabu dan Sabtu; dan sejak Januari 1930 hingga 1942 terbit harian, kecuali Minggu dan hari-hari besar.

Agar lebih jelas, dari koleksi Sipatahoenan terlama pada koleksi Perpustakaan Nasional RI, yakni edisi 9 Desember 1924, diberi nomor 24, tahun pertama. Selanjutnya untuk edisi 30 Juni 1925 merupakan nomor 1 untuk tahun kedua; edisi 6 Juli 1926 sebagai nomor 1 untuk tahun ketiga; edisi 5 Juli 1927 untuk nomor 1 tahun keempat; edisi 3 Juli 1928 untuk nomor 1 tahun kelima. Sejak edisi 2 Januari 1929, yang diberi nomor 1 tahun keenam, Sipatahoenan terbit Rabu dan Sabtu. Dan sejak edisi 2 Januari 1930, Sipatahoenan terbit harian.

Alhasil, antara 1924 hingga 1928, setahun penerbitan Sipatahoenan dihitung dari pertengahan tahun ke pertengahan tahun berikutnya. Kemudian sejak 1929, hitungan terbitnya dimulai dari Januari hingga Desember. Besar kemungkinan, perubahan inilah yang menyebabkan kekeliruan penghitungan tahun terbit Sipatahoenan yang seharusnya 1924, tetapi yang digunakan adalah 1923.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//