• Berita
  • Catatan Akhir Tahun 2022 LBH Bandung: Masih Marak Kriminalisasi, Makin Sulit HAM Terlindungi

Catatan Akhir Tahun 2022 LBH Bandung: Masih Marak Kriminalisasi, Makin Sulit HAM Terlindungi

Pemerintah semakin menunjukkan sisi otoritariannya. Pola kriminalisasi semakin sering diterapkan ke masyarakat yang menuntut hak dan aktivis yang melempar kritik.

Aktivis, jurnalis, mahasiswa, dan warga menghadiri peluncuran Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2022 LBH Bandung di Len Urban, Kota Bandung, Kamis (12/1/2023) sore. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul13 Januari 2023


BandungBergerak.id – Di sepanjang tahun 2022, pola kriminalisasi sering dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat yang sedang memperjuangkan hak-haknya atau kepada pengkritik kebijakan. Negara masih mencengkeram demokrasi dan menunjukkan sisi otoritariannya.

"Kriminalisasi itu dipakai untuk mematikan orang yang lagi berjuang untuk haknya. Jadi yang dipakai kriminalisasi. Kalau model begini terus, negara kita tidak dibangun dengan demokrasi yang baik, demokrasi yang sempurna," ujar Muit Pelu kepada BandungBergerak.id di acara peluncuran Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2022 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung di Len Urban, Kota Bandung, Kamis (12/1/2023) sore.

Kriminalisasi oleh pemerintah memiliki beragam akar permasalahan. Mulai dari konflik agraria, perjuangan hak-hak serikat buruh, hingga isu lingkungan.

Muit mencontohkan konflik yang terjadi antara PTPN VII dengan warga Cikandang dan Mekarmulya, Kabupaten Garut. Empat orang dikriminalisasi karena membabat sebagian lahan milik perusahaan plat merah tersebut. Oleh warga, lahan teh tersebut dinilai tidak produktif. Mereka pun lantas berencana menggarapnya.

Selain konflik PTPN VII, LBH Bandung aktif mengadvokasi gerakan masyarakat yang menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Jawa Barat. Infrastruktur pendukung ekspansi industri ini terbukti berdampak buruk terhadap iklim dan kesehatan masyarakat sekitar. Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) pembangunan PLTU luput menghitung jejak karbon yang dilepaskan ke udara selama pembangkit listrik beroperasi.

Muit memaparkan, sejak tahun 2019 LBH Bandung dan pihak-pihak lainnya smenolak kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai berpotensi menyengsarakan rakyat, seperti UU Cipta Kerja, UU KUHP, UU Minerba, dan Revisi UU KPK. Namun gelombang penolakan di lapangan tidak pernah ditanggapi. Massa aksi yang berdemonstrasi melakukan penolakan malahan ditangkap, bahkan dikriminalisasi sebagai bagian dari upaya pembungkaman.

“Kalau (kriminalisasi) ini (jadi) kebijakan, semakin kuat negara mempraktikkan otoritarisme karena susah sekali kita membangun kritik. Negara semakin kuat dengan kebijakannya, infrastruktur, sama perangkat lainnya. Korbannya tetap warga,” tutur Muit.

Dijelaskan Muit, kebijakan-kebijakan dibuat pemerintah untuk mempersiapkan dan memperlancar iklim investasi. Konflik-konflik agrarian dan konflik dengan masyarakat akan terus terjadi karena negara tidak mendengar kritik. Mereka jalan terus. Ambil contoh UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi, tapi oleh pemerintah diaktifkan lagi dengan menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu). Oleh YLBHI, penerbitan Perpu ini disebut sebagai kudeta konstitusional.

“Itulah mengapa kita bisa mengatakan (bahwa) ini negara semakin kuat dengan karakter otoriternya. Kebijakannya kuat, sedangkan perjuangan masyarakatnya untuk mendapatkan hak-haknya dijawab dengan penangkapan, kriminalisasi,” ucap Muit.

Baca Juga: Catatan Akhir Tahun 2021 LBH Bandung: Ruang Demokrasi Menyempit, Pembela HAM Kian Terancam
BERITA LBH BANDUNG: PENGGUSURAN DI JALAN ANYER DALAM MENCEDERAI HUKUM LBH Bandung: Penggusuran di Jalan Anyer Dalam Mencederai Hukum

Pelanggaran HAM

Di sepanjang tahun 2022, LBH Bandung menerima 213 pengaduan kasus. Sebanyak 17 kasus di antaranya didampingi oleh LBH Bandung, dengan total penerima manfaat mencapai 5.365 orang. Pemrioritasan diberikan untuk kasus-kasus struktural.

“Struktural itu gak cuma berdampak ke banyak orang, tapi memang ada aspek lain yang kami pertimbangkan. Seperti ada kebijakan yang mempengaruhi, lalu dia secara posisi politik, kondisi ekonomi gak cuma miskin, (serta) akses dia akan keadilan dan HAM itu susah dapatkan,” ungkap Direktur LBH Bandung Lasma Natalia.

Berdasarkan profil pencari bantuan hukum ke LBH Bandung, perempuan menjadi yang terbanyak dengan 118 orang, disusul laki-laki sebanyak 83 orang. Beberapa isu yang kerap menjadi pengaduan adalah kekerasan bebasis gender, advokasi perkotaan dan masyarakat urban, masalah perburuhan, fair trail, serta advokasi agraria.

Hak terdampak dalam jumah terbanyak adalah hak perempuan dengan jumlah 31 kasus, disusul hak atas privasi sebanyak 23 kasus, dan hak atas bantuan hukum sebanyak 13 kasus. Adapun entitas aktor pelanggar yang paling banyak adalah individu atau kelompok (8), organisasi komersial (6), entitas pemerintah (5), dan lainnya (3). Entitas pelanggar HAM dari pemerintah terdiri dari empat pejabat pemerintah lokal dan satu militer.

“Jadi sepanjang catatan LBH Bandung selama 2022, problem HAM belum selesai. Kehidupan demokrasi juga menurun. Makanya banyak teman-teman mahasiswa kalau aksi ditangkap, dikriminalisasi,” kata Lasma.

Selain kasus-kasus yang didampingi, serta fokus isu seperti penggusuran warga Dago Elos, kriminalisasi pejuang lingkungan hidup, kasus perbudakan modern terhadap disabilitas, dan kasus kekerasan seksual di kampus, LBH Bandung turut aktif di koalisi kampanye dan pendampingan mahasiswa di klinik hukum. LBH Bandung juga telah mencetak tujuh zine yang dikemas dalam empat volume. Produk ini bisa diakses secara gratis melalui laman lbhbandung.or.id.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//