• Cerita
  • Dua Dekade Rumah Cemara: Menggapai Kemandirian dalam Kerja Panjang Menghapus Stigma

Dua Dekade Rumah Cemara: Menggapai Kemandirian dalam Kerja Panjang Menghapus Stigma

Genap 20 tahun Rumah Cemara menjadi rumah bersama bagi pengguna narkotika dan pengidap HIV/AIDS. Memperjuangkan kemandirian organisasi.

Para pengunjung berdoa sambil bergandengan tangan dalam perayaan 20 Tahun Rumah Cemara. di Len Urban, Kota Bandung, Jumat (13/1/2023) sore. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya15 Januari 2023


BandungBergerak.id - Bukan hal yang mudah memperjuangkan hak pengguna narkotika dan pengidap HIV/AIDS. Stigma membuat tidak cukup banyak tempat yang bersedia menerima mereka. Melakoni peran sebagai "rumah" bagi kelompok-kelompok marginal ini selama dua dekade tereakhir, Rumah Cemara saat ini berjuang menggapai kemandirian.

“Moga-moga kita makin erat, makin oke, untuk berjuang demi tujuan akhirnya, yaitu Indonesia tanpa stigma buat semua orang,” ucap Eveline Gunawan, Dewan Pengawas Rumah Cemara, dalam perayaan 20 Tahun Rumah Cemara di Len Urban, Kota Bandung, Jumat (13/1/2023) sore.

Perayaan sederhana bertema “Transformasi Menuju Kemandirian” itu disesaki oleh para pengunjung yang terdiri dari pegiat komunitas, seniman, akademisi, jurnalis, mahasiswa, advokat, dan tenaga kesehatan. Harapan mengalir dari mana-mana.

Selepas doa bersama, layar televisi yang ada di depan panggung menayangkan harapan dari mitra-mitra yang telah bekerja bersama Rumah Cemara. Setelah itu, para pengunjung yang hadir juga dipesilakan menulis harapan mereka dalam secarik kertas.

Direktur Eksekutif Rumah Cemara, Raditya (47), mengungkapkan keinginan besar seluruh keluarga Rumah Cemara untuk menjadi mandiri, baik secara finansial maupun sikap. Disadari, dalam beberapa tahun terakhir, organisasi ini masih sangat tergantung pada donor untuk membiayai kerja-kerjanya. Itulah mengapa mereka saat ini terus mengembangkan lini usaha baru, seperti mengelola pusat foodcourt dan memonetisasi Youtube.

“Karena kalau kita bisa membiayai organisasi kita sendiri, kan kita dapat lebih mandiri ya dalam menentukan sikap,” tutur Raditya yang dulunya merupakan pasien di Rumah Cemara.

Harapan juga disampaikan oleh Rin (29), petugas administrasi dan keuangan Rumah Cemara. Dia mengakui, memang tidak mudah menjalankan organisasi yang mengusung isu tak biasa seperti Rumah Cemara. Tidak ada pilihan selain lebih berani lagi untuk melawan stigma-stigma yang ada.

“Kita tidak perlu harus mengikuti pattern yang sudah ada,” katanya. “Ya kalau misalnya kita, ber-12 ini memang sudah satu visi, satu misi, biarpun berbeda dengan pattern yang lain, ya gow-kan.”

Hujan yang mengguyur kawasan utara Bandung tidak mengurangi kehangatan acara. Adian Angkasa membacakan puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar dan dirinya sendiri, Malam Saeful menyanyikan lagu-lagu yang mewakili napas perjuangan Rumah Cemara selama ini, lalu Wanggi Hoed berpantomim. Beberapa rekan komunitas bernyanyi, sebelum perayaan dipungkasi dengan penampilan stand up comedy.

Baca Juga: Data Jumlah Kasus HIV AIDS Kota Bandung 2003-2020, Anjlok di Tahun Pandemi Covid-19
Target Nol HIV AIDS di Bandung Masih Melupakan Pentingnya Edukasi

Suasana hangat di antara anggota keluarga Rumah Cemara usai acara tiup lilin dalam perayaan dua dekade organisasi tersebut di Len Urban, Kota Bandung, Jumat (13/1)/2023). (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Suasana hangat di antara anggota keluarga Rumah Cemara usai acara tiup lilin dalam perayaan dua dekade organisasi tersebut di Len Urban, Kota Bandung, Jumat (13/1)/2023). (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Layanan Rehabilitasi

Rumah Cemara secara resmi terbentuk pada 1 Januari 2003, berawal dari inisiatif Ginan Koesmayadi, Patri Handoyo, Ikbal Rahman, Darwis, dan Hartanto Emka. Mereka bersepakat membuka ruang bagi kawan-kawannya yang telah kecanduan heroin atau putau untuk menulihkan diri. Dengan modal seadanya, kelima orang tersebut menyewa sebuah rumah di kawasan Sentrasari selama enam bulan.

“Patungan tuh, kalo ga salah 2 juta-2 juta deh. Ada lima orang tuh, 10 juta. Itu buat sewa rumah,” ucap Patri Handoyo (45).

Tempat rehabilitasi baru ini cepat dikenali publik. Sejak bulan-bulan awal kelahirannya, banyak pecandu menjadikan Rumah Cemara sebagai “rumah” mereka.

Dalam kurun 2004-2005, isu terkait HIV/AIDS mulai ramai diperbincangan publik. Diketahui, salah satu pemicu penyebarannya adalah penggunaan jarum suntik. Rumah Cemara mengadakan tes HIV sukarela kepada para pasiennya, dan hasilnya sangat mengejutkan. Sebanyak 7 dari 10 orang pasiennya diyatakan positif HIV/AIDS. Itulah awal Rumah Cemara terjun juga dalam kampanye dan advokasi isu HIV/AIDS.

“Jadi selain untuk (rehabilitasi) narkotika, heroin, atau putau, (Rumah Cemara) menjadi tempat bagi orang-orang HIV,” ujar Patri yang saat ini menjadi pengasuh media dan data Rumah Cemara.

Dari tahun ke tahun, stigma yang melekat pada pecandu narkotika dan orang-orang dengan HIV/AIDS menjauhkan mereka dari berbagai layanan publik yang sangat dibutuhkan. Rumah Cemara melawan litu salah satunya lewat kampanye Indonesia tanpa Stigma. Berbagai medium dicoba.

Meski awalnya dikenal sebagai tempat rehabilitasi bagi pengguna narkotika, sejak tahun 2019 Rumah Cemara menutup layanan tersebut. Alasannya, tingkat keberhasilan perawatan penyakit ini rendah, sekitar 40-60 persen. Ditambah lagi, dana yang dibutuhkan besar dan standar rehabilitasi di negeri ini belumlah jelas.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//