• Opini
  • Potret Kebiasaan Merokok di Kalangan Remaja Indonesia dari Lensa Sosial

Potret Kebiasaan Merokok di Kalangan Remaja Indonesia dari Lensa Sosial

Riset tahun 2018 menemukan adanya peningkatan konsumsi rokok di kalangan masyarakat usia 10-18 dari 7,2 persen (2013) meningkat ke 9,1 persen (2018).

Baptista Ezra Varani Nabit

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Anak-anak bermain di Taman Tongkeng, Bandung, 6 Januari 2022. Aturan dilarang merokok berlaku di sekitar taman. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

25 Januari 2023


BandungBergerak.idSaat ini kebiasaan merokok tidak hanya ditemukan pada orang dewasa tetapi banyak juga dilakukan oleh kaum remaja. Para remaja yang merokok dapat mengalami kecanduan, penurunan imun tubuh yang menghambat penyembuhan saat sakit, proses penuaan semakin cepat, dan gangguan pada paru-paru seperti sesak napas. Remaja yang berusaha melepaskan diri dari kecanduan merokok cenderung mengalami insomnia, depresi, dan bersikap temperamental (Kemenkes RI, 2019).

Kebiasaan merokok juga merugikan perekonomian nasional yang datang dari beban tanggungan negara dan pembelian rokok di level rumah tangga. Pemerintah Indonesia tiap tahunnya mengeluarkan anggaran sebesar 2,11 triliun rupiah sebagai biaya pengobatan penyakit terkait rokok tembakau yang merangkap biaya rawat inap sebesar 1,85 triliun rupiah dan rawat jalan sebanyak 0,26 triliun rupiah (Rokom, 2012). Kebiasaan merokok yang sudah mengakar kuat dalam diri masyarakat Indonesia tentunya menjadi masalah yang serius mengingat dampak negatif bagi aspek kesehatan dan ekonomi masyarakat.

Pemerintah Indonesia mengatasi masalah konsumsi rokok melalui regulasi pajak yang ketat bagi perusahaan rokok, iklan media televisi, media sosial, serta materi kurikulum pendidikan yang berkaitan dengan bahaya merokok. Namun, kebiasaan merokok masih berlanjut dan kian meningkat terutama di kalangan remaja Indonesia.

Riset Temuan Dasar tahun 2018 menemukan adanya peningkatan konsumsi rokok di kalangan masyarakat usia 10-18 dari 7,2 persen di tahun 2013 meningkat ke 9,1 persen di tahun 2018 (Kemenko PMK, 2021). Meskipun peningkatannya tidak begitu signifikan, jika dibiarkan maka kebiasaan merokok akan merajalela di kalangan remaja Indonesia. Semakin banyak remaja Indonesia yang merokok maka semakin besar potensi bagi para remaja menjadi tidak produktif dan hanya akan menambah beban bagi negara di masa depan.

Lantas, apa solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah ini? Dalam menghadapinya, identifikasi lingkungan sosial yang sarat dengan perilaku merokok harus diperhitungkan. Perilaku merokok dalam lingkungan sosial yang mendorong remaja untuk turut merokok sebagai bentuk adaptasi dan pembelajaran mereka sehingga dapat dikatakan bahwa lingkungan sosial memiliki efek tak terbendung terhadap cara hidup remaja Indonesia terutama praktik merokok. Kalangan remaja berdinamika dalam lingkungan sosial yang berbeda-beda mulai dari rumah tangga, lingkaran pergaulan, sampai paparan media komersial. Bagaimana tiap lingkungan sosial tersebut membentuk perilaku merokok dalam diri remaja Indonesia?

Lingkungan Rumah Tangga

Rumah menjadi lingkungan sosial paling dasar yang diperkenalkan kepada remaja. Dalam berumah tangga, ayah dan ibu ataupun orang yang lebih tua sering dijadikan panutan oleh para remaja. Perilaku merokok yang dipraktikkan oleh ayah atau ibu secara langsung memberikan contoh merokok kepada para remaja dan seiring pertumbuhan, para remaja akan terdorong melakukan aksi yang sama. Aksi yang dilakukan secara berulang akan menjadi kebiasaan.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sirait, Pradono, dan Toruan (2002) tentang kebiasaan merokok murid SMA di Jakarta menemukan jika ayah merokok, maka anaknya memiliki risiko dua kali lebih besar untuk menjadi perokok dibanding dengan keluarga yang tidak merokok. Penemuan ini diperkuat dengan data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018 yang diperoleh dari penelitian di 34 provinsi di Indonesia yang menemukan bahwa remaja cenderung untuk memiliki risiko 1.499 kali lebih besar untuk merokok jika terdapat perokok aktif dalam rumah tangga dibandingkan dengan remaja yang tinggal dalam rumah tangga bebas rokok (Nainggolan et al, 2020).

Perilaku anggota rumah tangga yang lebih tua memainkan peranan penting dalam membentuk perilaku para remaja. Ketika ayah atau ibu menunjukkan perilaku merokok maka para remaja akan menganggap perilaku tersebut normal sehingga mereka cenderung mengikuti perilaku yang sama. Selain itu, budaya Indonesia yang sangat kental dengan kepatuhan anak kepada orang tua juga mempertegas alasan timbulnya perilaku merokok dalam diri para remaja.

Ranah Pertemanan

Zona pertemanan menjadi opsi bagi para remaja untuk terlibat dalam lingkungan sosial yang lebih besar daripada rumah tangga. Tahap pertumbuhan yang dilalui para remaja selalu diselimuti oleh rasa ingin tahu lebih dan pencarian jati diri. Oleh karena itu, remaja akan mengubah pola perilaku mereka dan cenderung mengikuti perilaku sosial yang dianggap normal dalam pergaulan mereka. Perilaku merokok yang dianggap normal dalam pergaulan mendorong para remaja Indonesia untuk mempraktikkan perilaku tersebut sebagai bukti eksistensi diri mereka dan bukti bahwa mereka diterima dalam komunitas tertentu.

Hasil angket Yayasan Jantung Indonesia menemukan sebanyak 77 persen siswa merokok karena termakan rayuan teman (Yogya Hermina, 2020). Lingkup pertemanan yang identik dengan kebiasaan merokok meningkatkan risiko penyebaran aktivitas merokok bagi para remaja yang tidak merokok. Bahkan, pengaruh teman yang merokok lebih besar daripada orang tua yang merokok. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan beberapa ahli yang menyetujui bahwa pengaruh teman sebaya cenderung lebih besar dari orang tua dalam mendorong kebiasaan merokok (Kemppainen et al, 2006).

Lingkaran pertemanan sebagai lingkungan sosial yang lebih besar menuntut para remaja Indonesia untuk mengikuti perilaku merokok. Ajakan dan rayuan teman untuk merokok menjadi jebakan dalam pertemanan bagi mereka yang tidak merokok. Selain itu, dengan hanya melihat teman bergaul merokok, remaja yang tidak merokok akan terdorong mencoba demi memenuhi rasa keingintahuan mereka. Aktivitas merokok yang semakin lama dipertahankan dalam sebuah relasi pergaulan akan menjadi sebuah kebiasaan yang dianggap normal.

Baca Juga: Tahun Politik yang Penuh Gosip
Belajar Mencintai Diri Apa Adanya dengan Memahami Hubungan Intrapersonal
Perubahan Pelukis Jelekong setelah Pagebluk

Komersialisasi Produk Rokok

Kekhawatiran lain muncul dari komersialisasi produk rokok yang semakin marak terjadi saat ini. Fungsi komersial menjadi elemen penting dalam mencari keuntungan bagi perusahaan rokok sebab terbukti efektif dalam mempersuasi publik untuk mengonsumsi produk mereka. Produk rokok yang sering ditampilkan lewat iklan di media televisi dan media sosial selalu diidentikkan dengan maskulinitas, kekinian, dan kemewahan. Hal ini mengkonstruksi pikiran para remaja seolah-olah jika mereka merokok maka akan dicirikan sebagai pribadi yang sesuai dengan penggambaran iklan rokok. Ideologi-ideologi yang dijejalkan dalam iklan merokok dapat menyebar dengan luas seiring dengan utilisasi media cetak dan media sosial.

Remaja yang sedang dalam fase pertumbuhan yang rentan dan labil akan mudah dipengaruhi oleh ideologi-ideologi rokok ini sehingga tak jarang dari mereka mengabaikan kesehatan dan norma masyarakat. Selain itu, para remaja sekarang dapat dengan mudah memperoleh rokok seperti di kios atau warung kecil dengan harga yang terjangkau. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dari Kementerian Kesehatan, M.Subuh, mengemukakan ada 3 penyebab utama dari peningkatan rokok di kalangan remaja dalam 20 tahun terakhir yaitu maraknya iklan rokok, aksesibilitas rokok yang mudah, dan harga rokok yang murah. Strategi komersial dari bisnis rokok ini terbukti berhasil yang ditunjukan dengan peningkatan persentase remaja perokok berumur 15-19 dari 13.17 persen menjadi 37.3 persen sepanjang periode 1995 sampai 2013 (The Conversation, 2018).

Terlepas dari regulasi pemerintah Indonesia yang ketat terhadap perusahaan rokok, penerapan strategi komersial yang lebih kreatif terbukti efektif dalam menarik pelanggan untuk membeli rokok terlebih kaum remaja yang secara psikologi belum matang yang memiliki risiko tinggi untuk termakan rayuan iklan rokok. Rasa penasaran dan pencarian jati diri di level remaja memicu mereka untuk hanya sekedar mencoba rokok dan zat adiktif dalam rokok mengubah aktivitas merokok menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan setiap waktu. Dari sini, komersialisasi rokok memainkan sisi psikologi manusia yang mudah dipancing untuk mencoba produk rokok.

Di era modern ini, lingkungan sosial menjadi jembatan pembentuk kebiasaan merokok di kalangan remaja Indonesia. Lingkungan sosial yang tidak disaring dan dikritisi hanya akan mengarahkan para remaja Indonesia kepada siklus kebiasaan merokok. Pemerintah harus bersikap lebih selektif dalam memberi izin harga dan komersialisasi rokok sehingga para remaja tidak begitu mudah terpengaruh. Sosialisasi lewat pendidikan dan organisasi-organisasi non-pemerintah juga secara konsisten dilakukan terutama bagi keluarga-keluarga perokok agar kesadaran akan bahaya merokok dapat tumbuh dan terjaga dalam lingkungan mereka.

Peran orang tua untuk lebih kritis dan tegas dalam menyaring pergaulan dan akses elektronik para remaja juga sangat krusial sehingga para remaja tidak termakan ideologi-ideologi rokok dan tidak terjerumus dalam pergaulan yang salah. Masyarakat dewasa dan pemerintah Indonesia yang lebih kritis terhadap produk rokok dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih sehat bagi para remaja. Jika para remaja Indonesia peka dengan lingkungan sosial, mereka dapat terhindar dari kebiasaan merokok sehingga generasi muda Indonesia yang lebih produktif dapat tercipta dan lebih jauh lagi, meringankan beban anggaran negara sehingga pembangunan Indonesia dapat berjalan lebih lancar.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//