• Narasi
  • SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #3: Sosok Seniman yang Mendidik

SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #3: Sosok Seniman yang Mendidik

Gelar maestro merupakan kata yang tepat untuk mewakilkan jasa, dedikasi, dan pengormanan Mang Koko akan perkembangan karawitan Sunda.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Mang Koko bersama keempat juru kawih. (Sumber: www.pinterest.com)

19 Oktober 2021


BandungBergerak.idPertama saya mendengarkan lagu Mang Koko pada saat saya remaja, kira-kira umur 12 tahun. Lagu pertama yang saya dengar adalah Kembang Tanjung Panineungan. Lagu yang mengiris hati. Ketika orang yang kita cinta pergi dan yang kembali hanya jasadnya saja, tanpa kata salam, sapa, dan cinta. Memang lagu tersebut tergolong lagu tingkat dewasa atau umum. Terlihat dari tema lirik dan tingkat kesulitan dalam membawakan lagu tersebut. Iringan kacapi yang ekspresif memperkuat suasana syair lagu tersebut.

Kekaguman saya terhadap sosok Mang Koko tidak sebatas pada karya musiknya saja, tetapi pemikiran, kegigihan, kedisiplinan, dan kepeduliannya terhadap pendidikan. Terbukti dari Yayasan Cangkurileung yang ia dirikan, berfokus pada pendidikan melalui kesenian (karawitan Sunda). Jarang sekali seniman yang tertarik pada dunia pendidikan. Mang Koko merupakan sosok seniman yang sangat peduli terhadap pendidikan, mulai dari anak-anak sampai dewasa. Lagu-lagunya dikemas dan disusun menyesuaikan dengan umur, bahkan kemampuan sampai psikologis anak pada usia tertentu.

Yayasan Cangkurileung di bawah pimpinan Mang Koko aktif dalam memproduksi buku-buku yang berkenaan dengan pembelajaran kawih atau seni suara Jawa Barat lainnya. Selain Raden Machjar Angga Kusumadinata, seniman Sunda yang aktif mendokumentasikan karyanya dalam bentuk tulisan adalah Mang Koko. Karya-karyanya banyak yang dibukukan. Contoh buku-buku yang diproduksi dan ditulis oleh Mang Koko di antaranya Ganda Mekar, Cangkurileung, Bincarung, Resep Mamaos, Sekar Mayang, Pangajaran Ngacapi, Layeutan Suara, 17 Pupuh Sunda, Etude Kacapi, dan Seni Suara.

Yayasan Cangkurileung pun sampai saat ini aktif dalam memberikan workshop atau pelatihan mengenai kawih, khususnya kawih wanda anyar atau mang kokoan. Saat ini, Ida Rosida, salah satu anak perempuannya yang meneruskan perjuangan Mang Koko mengembangkan dan melestarikan kesenian suara ini.

Pengalaman Mang Koko menjadi seorang pendidik (guru) di beberapa sekolah kesenian tak usah diragukan lagi. Proses pembelajaran yang ia lakukan membuahkan beberapa buku yang sangat penting jika ingin mempelajari karya-karya Mang Koko. Seperti buku Etude Kacapi yang ia tulis berasal dari pengalaman mengajar kacapi gaya wanda anyar yang ia lakukan di Konsevatori Karawitan (KOKAR) Bandung, saat ini menjadi SMKN 10 Bandung. Ia juga pernah menjadi direktur pada sekolah tersebut masa jabatan 1967-1973. Dedikasinya untuk pendidikan seni sangat besar. Mang Koko berperan mencetak seniman-seniman Sunda hebat di seluruh Jawa Barat bahkan di luar Tatar Parahyangan.

Baca Juga: Seputar Mang Koko dan Karyanya (1)
Seputar Mang Koko dan Karyanya (2): Letusan Dahsyat 1982 dalam Syair Guntur Galunggung
Jurnal Bunyi (1): Sastra dan Nada dalam Tembang Sunda Cianjuran
Kawih menurut Musikolog Sunda Raden Machjar Angga Kusumadinata

Kepedulian Mang Koko terhadap pendidikan lainnya terlihat pada pengelompokan jenis kawih yang ia ciptakan. Mulai dari anak-anak, remaja, sampai dewasa. Klasifikasi yang ia lakukan sangat cermat dan detil. Bisa kita lihat di setiap buku yang ia tulis. Buku berjudul Taman Bincarung diperuntukan untuk anak-anak. Kawih yang disusun Mang Koko disesuaikan dengan permainan tradisional anak-anak. Pemilihan dan penyusunan unsur musik seperti ritme, melodi, laras, dan surupan disesuaikan dengan kemampuan kognitif dan psikologi anak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mang Koko dan M.O. Kusman dalam buku Bincarung cetakan keempat tahun 1997 yang menyatakan:

Saméméhna dipraktékkeun, saéna nu diwulangkeun heula téh kawihna. Barudak sing dugi ka apaleun pisan. Tidinya nembé ngawih bari ulin, atanapi ulin dibarung ku kawih. Nada-nada nu dianggo di dieu henteu seueur, laguna dihaja nu basajan, wangunan wirahma sareng ambahan swara disaluyukeun sareng kakiatan sora barudak. Margi tujuan lulugu, barudak téh sina diajar gerak badan ku rupi-rupi kaulinan. Malar gumbira arulinna teh bari kakawihan (Kawih sebaiknya diajarkan dahulu sebelum dipraktikkan. Sampai anak-anak hafal. Dari situ, baru kawih dimainkan. Nada yang dipakai di sini tidaklah banyak, sengaja dibikin sederhana, disesuaikan dengan kekuatan anak-anak. Agar mereka gembira sambil belajar kawih).

Perlu diketahui bahwa Mang Koko mengklasifikasikan lagu ciptaannya menjadi beberapa levet sesuai tingkatan pendidikannya yaitu: (1) Bincarung untuk jenjang pendidikan taman kanak-kanak dan sekolah dasar kelas 4; (2) Cangkurileung untuk anak-anak sekolah dasar; (3) Setia Putra untuk sekolah menengah pertama hingga perguruan tinggi, dan (4) Ganda Mekar untuk semua kalangan masyarakat umum.

Kecermatan Mang Koko dalam menyusun lagu sesuai dengan umur para penikmatnya membuat karyanya dikenal dan dikenang oleh setiap kalangan. Jarang sekali seniman yang peduli dan bahkan sampai menyelam pada dunia pendidikan.

Namun, dewasa ini pengenalan dan sosialisasi terkait lagu-lagu Mang Koko, utamanya untuk anak-anak dan remaja, sudah jarang sekali ditawarkan dan disajikan kepada anak-anak. Kenapa? Pergeseran selera anak-anak yang lebih banyak dipengaruhi oleh budaya luar membuat lagu-lagu Mang Koko, khususnya tingkat anak-anak, tidak dikenal lagi di masyarakat. Sepulangnya beliau ke tempat terindah, kegiatan pendidikan kesenian yang ia rintis seketika pareumeun obor. Memang sosok Mang Koko merupakan pribadi yang luar biasa berpengaruh di dunia karawitan Sunda. Seperti yang diungkapkan oleh Raden Machjar Angga Kusumadinata, “Mang Koko jadi palopor modernisasi karawitan Sunda.”

Pengertian pendidikan yang memanusiakan manusia Mang Koko terapkan dalam perannya sebagai pendidik seni. Kemampuan kesenimanannya dimanfaatkan, diajarkan, dan disebarluaskan untuk kepentingan bersama. Banyak sekali jasa beliau yang dapat kita rasakan saat ini. Semangatnya seakan tak akan pernah padam walau jasadnya sudah langgeng di alam sana. Semangat mendidik dan mengajarnya tidak akan terlupa bagi muridnya, bahkan saya yang tidak pernah bertemu merasakan api semangat tersebut.

Kedisiplinan, ketekunan, kesungguhan, kesabaran, dan daya kreatif yang Mang Koko curahkan untuk karawitan Sunda berdampak sampai saat ini. Sekolah dan institusi pendidikan tinggi seni bahkan seluruh masyarakat sangat menghargai dan salut akan jasanya. Gelar maestro merupakan kata yang tepat untuk mewakilkan jasa, dedikasi, dan pengormanan Mang Koko akan perkembangan karawitan Sunda.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//