SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #2: Letusan Dahsyat 1982 dalam Syair Guntur Galunggung
Letusan Gunung Galunggung yang dahsyat (1982-1983) menimbulkan bekas mendalam pada ingatan. Mang Koko menulis syair Guntur Galunggung.
Abizar Algifari Saiful
Pendidik musik, komposer, dan peneliti
29 Mei 2021
BandungBergerak.id - Peristiwa meletusnya Gunung Galunggung tahun 1982 menimbulkan memori pada setiap orang yang mengalaminya. Letusan Galunggung (2167 mdpl) waktu itu merupakan letusan terdahsyat kedua setelah letusan Gunung Tambora, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ciri khas letusan Galunggung adalah gemuruh luar biasa yang berasal dari tabrakan awan panas pada bagian kawah. Letusan ini sangat menyita perhatian masyarakat internasional pada saat itu. Abu vulkanik yang keluar dari perut gunung berdampak tak hanya di Jawa Barat, melainkan menjadi masalah internasional yang serius karena mengganggu jalur penerbangan.
Bila melihat gambar cover kaset pita album Mang Koko di atas, terdapat beberapa kesamaan kejadian yang terjadi pada saat meletusnya Gunung Galunggung tahun 1982. Pada kaset pita itu, lagu Guntur Galunggung dijadikan sebagai tema utama, ditegaskan dengan gambar Gunung Galunggung yang sedang meletus, sesuai dengan dokumentasi asli letusan gunung yang berlokasi di Tasikmalaya, Jawa Barat, itu.
Melihat data yang ada, lagu Guntur Galunggung yang ditulis Wahyu Wibisana dan dialihwahanakan Mang Koko tercipta pada tahun yang sama dengan meletusnya Galunggung.
Banyak sekali saksi yang merasakan suasana pada saat letusan Gunung Galunggung 1982. Pada saat proses analisis lagu Guntur Galunggung karya Mang Koko, saya melakukan wawancara kepada beberapa narasumber. Salah satunya adalah Iskandarwassid. Saya bertemu dengannya di gedung pascasarjana UPI Bandung. Pada saat itu saya mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan arti dan makna rumpaka (syair) yang digunakan di lagu Guntur Galunggung.
Mang Koko dalam lagu Guntur Galunggung berkolaborasi dengan sastrawan Sunda Wahyu Wibisana sebagai penulis syair untuk lagu itu. Secara mendasar lagu tersebut menceritakan pengalaman penulis (Wahyu Wibisana) saat kejadian meletusnya Galunggung 1982. Iskandarwassid juga mengungkapkan pengalamannya pada saat meletusnya Gunung Galunggung. “Saat itu saya sedang naik motor, hujan abu vulkanik saat itu sangat tebal, menutupi pandangan saya. Jalan pun tertutup oleh abu vulkanik, sampai saya tidak bisa melihat ke mana arah jalan sebenarnya”.
Peristiwa meletusnya gunung Galunggung di interpretasi oleh sastrawan Wahyu Wibisana menjadi sebuah karya sastra yang ditafsirkan dan dialihwahanakan oleh Mang Koko menjadi sebuah karya musik (kawih). Judul dari karya tersebut adalah Guntur Galunggung. Lagu ini diiringi tiga buah kacapi yang memiliki laras dan surupan yang berbeda. Proses pemilihan laras dan surupan tersebut disesuaikan dengan arti serta makna di setiap bait rumpaka. Berikut merupakan beberapa bait rumpaka terakhir lagu Guntur Galunggung.
Gusti anu Maha Wenang
Nu kagungan bumi alam
Gusti anu Maha Agung
Anu kagungan Galunggung
Deudeuh teuing Mang Maman reujeung Bi Warsih
Di buruan panto asih lambang asih
Teu kaburu diterapkeun, sabab gunung bitu mantén
Menurut beberapa saksi, letusan Gunung Galunggung 1982 memunculkan bunyi gemuruh dari dalam kawah disertai dengan petir yang menggelegar di antara abu vulkanik yang terhempas ke langit. Batuan kecil (lapilli) pun berhamburan terhempas dari kawah Galunggung ke pemukiman dan merusak rumah warga. Hal ini membuat suasana pada saat itu sangat mencekam.
Deudeuh teuing imah kakubur ku lahar
Ngan suhunan nu tembong manjang ngalungsang
Di mana nya geusan cicing, ngahareruk sedih kingkin
Baca Juga: Seputar Mang Koko dan Karyanya (1)
Jejak Pieter Sijthoff
Sarekat Islam Bandung, Madjoe Kamoeljan, dan Upaya Pemberantasan Prostitusi
https://bandungbergerak.id/article/detail/438/ingatan-masa-kecil-1965-1970-7-ikan-di-ci-palebuh-mati-diendrin
https://bandungbergerak.id/article/detail/435/pagebluk-covid-19-dan-tugas-jurnalistik-2
Kebijakan Transmigrasi Suharto dalam Syair
Gambaran yang terlukiskan pada syair lagu Guntur Galunggung sesuai dengan kejadian sebenarnya di tahun 1982. Kondisi rumah warga hancur dan bahkan terkubur material letusan, sampai hanya terlihat atapnya saja. Awan panas yang bergerak turun, tidak memiliki belas kasihan. Semua yang dilaluinya akan hancur, terbakar, dan musnah. Berton-ton material dikeluarkan dari kawah gunung Galunggung berupa magma, pasir, dan batuan.
Basa maranéhna kapaksa duh, transmigrasi ka Sumatra
Panto tralis karék anggeus
Dicokot ti tukang elas
Bi Warsih neuteup ngahelas
Hég dipanggul ku Mang Maman, ngeluk sajeroning leumpang
Na iraha dipasangna duh, panto tralis di Sumatra
Lain di lebak Galunggung
Lain di sisi Cikunir
Jauh peuntaseun supitan
Pileuleuyan emh… PASUNDAN
Tepung deui na impian
Tidak banyak warga yang menjadi korban letusan Gunung Galunggung. Namun puluhan ribu orang Tasikmalaya mengungsi, semua harta benda: rumah, kebun, sawah, dan hewan ternak lenyap begitu saja. Tragedi meletusnya gunung Galunggung tahun 1982 bersamaan dengan sedang maraknya kegiatan transmigrasi yang digalakan oleh pemerintah pada masa kepemimpinan presiden Suharto. Banyak korban letusan Gunung Galunggung yang kehilangan tempat tinggalnya dialokasikan untuk mengikuti transmigrasi ke pulau Sumatera. Hal ini tersurat pada bait akhir lagu Guntur Galunggung.
Fakta mengenai peristiwa meletusnya Gunung Galunggung tahun 1982 sama dengan gambaran hasil tafsir berupa karya sastra yang dituliskan oleh Wahyu Wibisana dalam syair lagu Guntur Galunggung yang dialihwahanakan oleh Mang Koko menjadi karya kawih. Bila melihat tahun meletusnya gunung Galunggung, dua tokoh ini mengalami dan merasakan efek dari letusan tersebut. Terbukti dari tafsir yang mereka tuangkan dalam bentuk kata ataupun bunyi (musik).
Dari sisi auditif, bila mendengar lagu Guntur Galunggung garapan Mang Koko, secara tidak langsung kita akan merasakan kesan afektif kejadian meletusnya Gunung Galunggung yang disajikan melalui gending dan melodi sekar (vokal) yang disusun oleh Mang Koko.