• Buku
  • BUKU BANDUNG #61: Menemukan Harapan di Wajah (Bopeng) Pendidikan

BUKU BANDUNG #61: Menemukan Harapan di Wajah (Bopeng) Pendidikan

Buku Di Balik Tembok Sekolah memuat 11 laporan jurnalistik tentang isu pendidikan yang pernah terbit di koran Pikiran Rakyat. Menyorot ragam persoalan mendasar.

Sampul buku Di Balik Tembok Sekolah: Wajah Pendidikan dalam Laporan Jurnalistik 2008-2017 yang memuat 11 laporan jurnalistik karya Tri Joko Her Riadi. Diterbitkan pertama kali pada tahun 2017. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Virliya Putricantika12 Februari 2023


BandungBergerak.id - Di Cimarel, Kabupaten Bandung Barat, Siti Masriyah setiap hari harus menempuh jarak sembilan kilometer untuk sampai ke sekolahnya, SMP Negeri Satu Atap Cimarel. Jalan itu tidak ramah untuk ditapaki. Sepatunya jebol berulang kali. Ketika hujan turun, siswi berusia 15 tahun itu terpaksa membolos.

Siti tinggal bersama keluarganya di Lembur Sawah. Sebuah kampung yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dengan menjadi buruh tani untuk Perum Perhutani. Pendidikan belum menjadi prioritas. Anak-anak yang lulus sekolah jenjang menengah, atau bahkan dasar, segera dihadapkan pada pilihan untuk bekerja. Mereka yang perempuan: menikah.

Setiap triwulan, sekolah Siti, yang terletak 73 kilometer dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, memperoleh Bantuan Operasional Siswa (BOS) senilai ‘hanya’ 20 juta rupiah. Dana ini segera tandas untuk membayar jasa para guru honorer. Beragam fasilitas sekolah yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran tersedia seadanya.

Permasalahan serupa ditemukan di SMP Negeri 1 Rongga yang letaknya tidak terlalu jauh dari Cimarel. Dana operasional banyak tersedot untuk mencukupi tanggung jawab sekolah membayar jasa para guru honorernya.

“Akreditasi kami memang A, tapi A-nya Rongga. Beda dengan A-nya Ngamprah atau A-nya Lembang,” canda Taufik Hidayat, sang wakil kepala sekolah.

Kisah Siti di Cimarel tersaji sebagai pembuka reportase mendalam “Menyoal Anggaran Pendidikan 20 Persen” yang ditulis oleh jurnalis Tri Joko Her Riadi. Terbit dalam 12 seri di koran Pikiran Rakyat mulai 20 Februari 2014, liputan yang diganjar Anugerah Adinegoro ini dimuat ulang dalam buku Di Balik Tembok Sekolah: Wajah Pendidikan dalam Laporan Jurnalistik 2008-2017 yang terbit pertama kali pada 2017 lalu.

Lima Bulan, 50 Narasumber

Reportase “Menyoal Anggaran Pendidikan 20 Persen” dikerjakan Joko, yang memulai karier jurnalistiknya pada awal 2008, selama tidak kurang dari lima bulan. Di empat kota besar di Indonesia, yakni Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar, ia menemui tidak kurang dari 50 narasumber.  Tak pelak, reportase ini menjadi catatan sekaligus kritik penting bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Dari buruknya layanan pendidikan di Cimarel dan Rongga, yang juga bisa ditemui di beragam wilayah di Tanah Air, Joko menelisik pertarungan politik di ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Sebuah keputusan mahapenting terjadi pada 28 Februari 2008 ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie memutuskan untuk menghapus sebagian frasa di dalam pasal 49 Ayat (1) Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ketok palu itu berdampak pada masuknya komponen gaji pendidik dalam perhitungan total anggaran pendidikan minimal 20 persen APBN dan APBD. Imbas lebih jauhnya, alokasi dana untuk peningkatan mutu sumber daya dan infrastruktur pendidikan terpangkas.

Para aktor dalam rangkaian sidang MK itulah yang satu per satu ditemui dan diwawancarai oleh Joko. Kaitan antara satu nama dengan nama yang lain, yang kemudian bermuara pada klarifikasi ke Jusuf Kalla, diurai. Beragam adegan menarik disajikan.

Lewat reportase mendalam “Menyoal Anggaran Pendidikan 20 Persen”, Joko mengamalkan hakikat kerja seorang jurnalis, yakni memverifikasi setiap informasi yang diperoleh. Bahkan jika kerja itu menuntut kita untuk datang ke lokasi-lokasi yang jauh.

Salah satu reportase di buku Di Balik Tembok Sekolah: Wajah Pendidikan dalam Laporan Jurnalistik 2008-2017 menguak serbuan produk dan iklan rokok di lingkungan sekolah-sekolah di Kota Bandung. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Salah satu reportase di buku Di Balik Tembok Sekolah: Wajah Pendidikan dalam Laporan Jurnalistik 2008-2017 menguak serbuan produk dan iklan rokok di lingkungan sekolah-sekolah di Kota Bandung. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Membingkai Temuan, Mencari Relevansi

Buku “Di Balik Tembok Sekolah”, terbitan Diandra Kreatif, Yogyakarta, menceritakan wajah pendidikan lewat 11 reportase lapangan yang semuanya telah terbit di koran Pikiran Rakyat. Dimulai dari cerita hari pertama sekolah seorang bocah dari keluarga buruh sepatu di kampung padat di Cibaduyut, Kota Bandung, dan diakhiri dengan reportase mendalam tentang anggaran pendidikan. Di antara keduanya, terselip beragam cerita, mulai dari seorang perempuan sinden di Kota Cimahi yang masih bersemangat belajar hingga serbuan produk dan iklan rokok ke lingkungan sekitar sekolah.

Di setiap cerita, Joko mampu membuat pembaca turut hadir mengalami. Tulisan “Menikmati Musik Klasik Rasa Teknik”, misalnya, bercerita tentang gelaran orkestra oleh mahasiswa jurusan teknik di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan detail yang tak terlewatkan. Mulai dari pakaian yang digunakan para penampil hingga sorak penonton yang enggan menyudahi konser pertama dari ITB Student Orchestra (ISO) yang digelar di Aula Barat ITB pada Jumat (5/12/2008) itu.

“Menghadirkan diksi-diksi Bahasa Indonesia yang kuat dan indah yang mulai dilupakan banyak wartawan muda kita yang cenderung terjebak dalam tulisan-tulisan dengan Bahasa Indonesia pucat dan miskin. Saya beruntung menemukan ‘wartawan daerah’ dengan kaliber ini,” demikian kesaksian Hermien Y. Kleden, wartawan senior Tempo, yang menjadi satu dari tiga juri Anugerah Adinegoro 2014, tentang reportase Joko.

Memuat reportase-reportase yang sudah lampau, terdekat adalah tahun 2017, apakah buku Di Balik Tembok Sekolah masih relevan dibaca sekarang? Apa yang bisa diharapkan pembaca?

Quacquarelli Symond (QS), perusahaan yang menganalisis institusi pendidikan tinggi seluruh dunia, pada 29 Juni 2022 lalu merilis laporan Best Student City 2023. Dari 140 kota, Bandung menduduki peringkat ke-120, lebih baik dari Jakarta dan Surabaya. Namun yang perlu diingat, laporan ini didapat dengan indikator yang dinilai berbasis pada perguruan tinggi. Bukan pendidikan dasar dan menengah.

Di tingkat pendidikan dasar, permasalahan yang kita hadapi amatlah pelik. Padahal, inilah jenjang kunci bagi anak-anak Indonesia untuk mengumpulkan bekal yang akan dibawa dalam perjalanan masa depan mereka. Pemerintah harus memberikan jaminan kuat untuk memenuhi hak-hak dasar mereka.

“Mengapa harus mempersoalkan Wajar Dikdas Sembilan Tahun? Karena inilah pendidikan minimal bagi warga negara yang dibebankan konstitusi pada pemerintah. Mengikuti logika sederhana, kalau yang minimal saja gagal diurus, maka semua jenjang pendidikan yang mengikutinya juga bakal menemui nasib serupa,” demikian tertulis dalam reportase “Menyoal Anggaran Pendidikan 20 Persen”.

Di Bandung, kita tahu bahwa kesenjangan antarsekolah masih terjadi. Ada nama-nama ‘sekolah favorit’ yang selalu jadi rebutan warga untuk menyekolahkan anak mereka. Sistem zonasi yang diberlakukan sejak tahun 2017 belum bisa secara efektif mendongkrak upaya pemerataan mutu sekolah. Terus saja terjadi pelanggaran dan pengabaian.

Buku Di Balik Tembok Sekolah mengingatkan pembaca bahwa wajah pendidikan di Indonesia masih semrawut. Masih sarat dengan persoalan. Kalaupun ada catatan terhadap buku ini, barangkali kebutuhan hadirnya sajian-sajian visual seperti foto yang lebih komplet atau gambar ilustrasi sederhana untuk mendukung cerita.

Meski sarat dengan isu dan masalah pendidikan yang pelik, buku “Di Balik Tembok Sekolah” toh mendokumentasikan juga kerja dan iniatif baik yang terjadi. Tidak semua cerita di dunia pendidikan Indonesia ini gelap. Selalu ada perbaikan yang mungkin datang. Doni Koesoema, seorang pemerhati pendidikan, menuliskannya di sampul balakang buku: “Wajah para tokoh dalam tulisan ini menjadi bukti bahwa pendidikan masih memberikan harapan.”

Baca Juga: BUKU BANDUNG #60: Sejarah Maenbal di Bandung dan Lahirnya Persib
BUKU BANDUNG #59: Mengenal Boscha dari Bacaan Wisnu
BUKU BANDUNG #58: Ledeng Oh Ledeng, Riwayatmu Kini

Informasi Buku

Judul: Di Balik Tembok Sekolah: Wajah Pendidikan dalam Laporan Jurnalistik 2008-2017

Penulis: Tri Joko Her Riadi

Penerbit: Diandra Kreatif, Yogyakarta

Cetakan: II, 2020

Tebal: 219 halaman 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//