• Buku
  • BUKU BANDUNG #59: Mengenal Bosscha dari Bacaan Wisnu

BUKU BANDUNG #59: Mengenal Bosscha dari Bacaan Wisnu

Buku “Terbang ke Angkasa Bersama Observatorium Bosscha” karya Keen Achromi dapat menjadi bacaan awal bagi anak-anak untuk berkenalan dengan Observatorium Bosscha.

Buku “Terbang ke Angkasa Bersama Observatorium Bosscha” karya Keen Achromi dicetak penerbit CV Mediatama tahun 2007. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya22 Januari 2023


BandungBergerak.id—Selepas makan siang, tidak seperti biasanya Wisnu mengurung diri di kamar. Tidak ada aktivitas semacam bermain Playstation, nonton televisi, atau main ke rumah Panji. Ibunya heran.

Ketika ditanya oleh ibunya, rupanya Wisnu sedang tenggelam dalam majalah anak yang tengah dibacanya. Setiap Kamis, majalah itu terbit. Dan setiap terbit, majalah itu selalu menjadi rebutan Wisnu dan dua saudaranya, Kak Lintang dan Dik Bayu.

“Wisnu tidak mau melakukan apapun sebelum membaca majalah langganannya tersebut,” tulis Keen Achroni (hlm. 4).

Begitulah kisah pembuka dari buku “Terbang ke Angkasa Bersama Observatorium Bosscha” yang ditulis oleh Keen Achromi. Kisah Wisnu menjadi pengantar untuk memancing pembaca agar penasaran dengan apa yang tengah dibaca oleh bocah berusia 11 tahun tersebut.

Kisah berlanjut. Setelah Ibunya meninggalkan kamar, Wisnu meneruskan membaca majalahnya. Halaman demi halaman dibuka oleh Wisnu. Hingga kemudian, Wisnu sampai di rubrik Jendela Pengetahuan. Dalam rubrik tersebut, tersedia sebuah artikel berjudul Wisata ke Langit. Dan, artikel tersebut menjadi jembatan untuk masuk ke inti pembahasan: Observatorium Bosscha.

Halaman dalam buku “Terbang ke Angkasa Bersama Observatorium Bosscha” karya Keen Achromi terbitan CV Mediatama tahun 2007. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Halaman dalam buku “Terbang ke Angkasa Bersama Observatorium Bosscha” karya Keen Achromi terbitan CV Mediatama tahun 2007. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Baca Juga: BUKU BANDUNG #58: Ledeng Oh Ledeng, Riwayatmu Kini
BUKU BANDUNG #57: Keluar dari Cengkeraman Kolonialisme Melalui KAA 1955
BUKU BANDUNG #56: Napak Tilas Jejak Sukarno, dari Pendidikan hingga Kisah Cintanya
BUKU BANDUNG #55: Maestro Musik Si Bengal Harry Roesli

Observatorium Bosscha dalam Bacaan Wisnu

Pada 1920, Karel Albert Rudolf Bosscha memelopori pendirian Perhimpunan Ahli Bintang Hindia Belanda atau NISV (Nederland Indische Sterrenkundige Vereeniging). Rapat pertama diselenggarakan pada 12 September 1920 di Hotel Homann Bandung.

“Dalam rapat ini dibicarakan mengenai rencana membangun observatorium untuk memajukan ilmu astronomi di Hindia Belanda,” terang Keen Achromi (hlm. 10).

Mr. Bosscha, begitu ia disapa, bersedia memberikan bantuan. Laki-laki yang juga merupakan pengusaha perkebunan teh di Malabar ini juga menjanjikan akan membelikan teropong bintang modern. Tak perlu waktu lama, pada tahun selanjutnya, Mr. Bosscha, ditemani oleh rekannya Mr. Dr. J. Voute, berangkat ke Jerman untuk memesan teleskop Zeiss.

Pembangunan observatorium berlangsung selama enam tahun, sejak 1922 sampai 1928. Lokasi pembangunan berada di atas tanah hasil hibah kakak beradik Ursone seluas seluas enam hektar di salah satu anak pegunungan Tangkubanparahu di Lembang, Bandung.

“Tempat ini dipilih sebagai lokasi pendirian observatorium karena beberapa alasan, yaitu udaranya yang sejuk, berada pada ketinggian yang sangat ideal (lebih kurang 1.300 di atas permukaan laut), jauh dari keramaian, dan memiliki pandangan yang lepas ke arah timur serta barat,” tulis Keen Achroni (hlm. 16).

Pada 1 Januari 1923, Gubernur Jenderal Mr. D. Fock meresmikan bangunan yang masih dalam proses pengerjaan ini. Nama Bosscha dipilih untuk mengenang jasa pelopor sekaligus donatur dana pembangunan tersebut. Kemudian, Dr. J. Voute diangkat menjadi direktur observatorium.

Selepas Indonesia merdeka, tepatnya 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan Observatorium Bosscha pada pemerintah Indonesia. Kala itu, Observatorium Bossca ‘dititipkan’ kepada Fakultas Ilmu Murni Universitas Indonesia. Namun, seiring berdirinya Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1959, observatorium ini pun dipindah tangankan ke kampus yang dulunya bernama Sekolah Tinggi Teknik Bandung tersrbut.

Kini, Observatorium Bosscha dikelola oleh Departemen Astronomi ITB. Selain berfungsi sebagai lembaga penelitian, Observatorium Bosscha juga dijadikan sarana pendidikan formal astronomi di Indonesia. Bahkan, kini Observatorium Bosscha juga mengadakan kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat.

Observatorium Bosscha memiliki lima jenis teleskop. Pertama, seperti yang disinggung di awal, yakni teleskop Refraktor Ganda Zeiss, sumbangan Mr. Bosscha. Teleskop ini ditempatkan dalam sebuah kubah yang dapat diputar 360 derajat. Teleskop Zeiss digunakan untuk mengamati bintang ganda visual, penentuan paralaks, mengamati gerak bintang, planet, dan komet.

“Teleskop Zeiss berdiameter 60 cm, panjangnya 11 meter, dan beratnya mencapat 17 ton. Pada awal dioperasikannya, teleskop Rafraktor Ganda Zeiss merupakan teleskop terbesar ke tiga di dunia,” tulis Keen Achromi (hlm. 22).

Kedua, teleskop Schmidt Bimasakti. Penamaan Bimasakti dipilih lantaran kerap digunakan untuk mempelajari struktur galaksi Bimasakti. Selain itu, teleskop ini juga dapat digunakan untuk mempelajari spektrum bintang, menentukan terang supernova, mengamati komet, dan mengamati asteroid.

Ketiga, teleskop Refraktor Bamberg. Teleskop ini ditempatkan di dalam gedung yang atapnya dapat dibuka dan ditutup. Teleskop Bamberg digunakan untuk mengamati terang bintang yang berguna untuk menentukan skala jarak.

Keempat, teleskop Cassegrain GOTO. Terleskop ini dikendalikan oleh komputer. Kegunaan teleskop ini adalah untuk untuk mengamati bintang variabel, kurva cahaya planet luar surya, asteroid, spektroskopi bintang, dan pencitraan planet.

“Penggunaan komputer dalam pengoperasian teleskop GOTO menunjukkan bahwa teleskop ini adalah teleskop yang paling baru dan paling canggih dibandingkan teleskop-teleskop lain di Bosscha,” jelas Keen Achromi (hlm. 30).

Terakhir, teleskop Refraktor Unitron. Jika dibandingkan dengan teleskop lain, teleskop ini relatif lebih kecil sehingga dapat diletakkan di atas tripod dan mudah dibawa kemana-mana. Teleskop ini digunakan untuk mengamati hilal (anak bulan) dan memotret gerhana bulan, gerhana matahari, serta benda-benda langit lain.

Selain teropong, Observatorium Bosscha juga dilengkapi dengan berbagai peralatan pengukuran untuk mengukur hasil-hasil amatan. Microdensitometer, astrometric measuring position machine, dan blink microscope, adalah beberapa peralatan yang tersedia di observatorium ini.

Epilog

Akhir buku ini ditutup dengan tekad Wisnu untuk berkunjung ke Bandung, ke Observatorium Bosscha, ketika waktu liburan nanti. Tekad tersebut dibuktikan dengan Wisnu yang segera menelepon ayahnya, Pak Alamsyah.

Setelah perbincangan singkat, Pak Alamsyah tidak segera mengiyakan, dia hanya mencoba mengusahakan. Agar sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, Pak Alamsyah, yang juga bekerja sebagai wartawan, berjanji untuk meminta izin kepada Pemimpin Redaksi agar ditempatkan untuk meliput Observatorium Bosscha.

Namun, tidak ada hasil yang didapat tanpa usaha. Bu Alamsyah yang mendengar percakapan Wisnu dengan suaminya memberikan beberapa syarat kepada Wisnu.

“Tunggu dulu, kamu hanya boleh ikut Ayah ke Bandung kalau nilai-nilai ulanganmu bagus. Kamu juga harus rajin membantu Ibu. Jangan lupa, kamu harus rajin beribadah,” ucap Bu Alamsyah kepada Wisnu (hlm. 56).

Secara keseluruhan, buku ini disajikan secara ringkas dan padat, hanya pada bagian peraturan di Observatorium Bosscha yang hampir memenuhi tiga perempat halaman. Di setiap lembarnya, terdapat ilustrasi yang dapat membantu memberi gambaran kepada pembaca tentang teks yang disajikan.

Meski sepertinya ditujukan untuk anak-anak, sayangnya, beberapa istilah-istilah astronomi yang tertulis dalam buku ini tidak lazim ada di percakapan sehari-hari. Dampaknya, pembaca perlu ditemani oleh orang tua agar mampu memberikan referensi lain dalam mengartikan istilah-istilah tersebut. Selain itu, pembahasan mengenai Observatorium Bosscha yang disajikan secara gamblang dapat membuat anak-anak tertidur karena bosan.

Namun, buku ini dapat menjadi bacaan awal bagi siapa pun yang ingin berkenalan dengan Observatorium Bosscha. Namun, sekali lagi, sebagai buku yang ditujukan untuk anak-anak, nampaknya harus kembali mengingat apa yang pernah dituliskan oleh A. S. Laksana, Hamid Basyaib, dan Reda Gaudimo dalam “Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Cerita Anak Dewan Kesenian Jakarta 2019”.

“Secara umum para peserta sayembara ini tidak menulis untuk anak-anak, tetapi menulis tentang anak-anak. Hal ini terlihat dari diksi, suara narator, dan pandangan dunia orang dewasa yang menyusup ke dalam penceritaan,” dan hasil tulisan peserta Sayembara Cerita Anak tersebut tak berbeda jauh dengan buku ini.

Informasi Buku:

Judul: Terbang ke Angkasa Bersama Observatorium Bosscha

Penulis: Keen Achromi

Penerbit: CV MEDIATAMA, 2007

Jumlah Halaman: viii+56 halaman.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//