• Buku
  • BUKU BANDUNG #58: Ledeng Oh Ledeng, Riwayatmu Kini

BUKU BANDUNG #58: Ledeng Oh Ledeng, Riwayatmu Kini

Musikus balada Adew Habtsa melalui bukunya, Oh Ledeng, Oh Bandung, mengisahkan perubahan kampung halamannya dari kawasan agraris menjadi industri dan jasa.

Buku Oh Ledeng, Oh Bandung karya Adew Habtsa, diterbitkan Penerbit ProPublic.info (2022). (Foto: Sherani Soraya Putri/BandungBergerak.id)

Penulis Sherani Soraya Putri8 Januari 2023


BandungBergerak.idPada suatu masa, banyak orang berdatangan ke Ledeng, kawasan yang terletak di atas ketinggian utara dengan lembah dan udara dingin menyelimutinya. Luasnya sawah, ladang, dan sumber mata air yang mengalir bersatu menjelma sumber hidup bagi masyarakat sekitar. Tidak aneh jika banyak warganya kala itu menggeluti profesi petani, bukan pelaku industri. 

Musikus balada Adew Habtsa menceritakan perubahan kawasan Ledeng itu ke dalam buku Oh Ledeng, Oh Bandung: Sejauh Mata Memandang adalah Tembok yang terbit di penghujung tahun 2022. Inilah kesaksian personal tentang perjalanan organik penulis di tempat kelahirannya yang berbatasan dengan daerah wisata Lembang tersebut. Aspek sosial budaya dan ekonomi saling berkelindan melahirkan napas kehidupan yang menyokong keberlangsungan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. 

"Misalnya dalam pertanian, masyarakat Sunda terutama, selalu mengedepankan pemujaan terhadap Nyi Pohaci, Dewi Sri selaku dewi padi, dewi kesuburan bagi tumbuh kembangnya padi. Tak ayal aktivitas itu telah melahirkan upacara ritual. Dan yang tak boleh dipungkiri kehadiran kesenian, sebagai media yang ampuh, tepat, dan sakral demi kekhidmatan upacara itu, seperti upacara seren taun, ngaruwat, nolak bala. Kesenian yang muncul dan berkembang erat kaitannya dengan kehadiran seni dan musik untuk menguatkan tahapan ritual yang ada," tulis Adew. (Halaman 24). 

Namun masyarakat sawah ini beralih jadi wisata. Kawasan Ledeng berubah wujud menjadi bagian dari kota dengan gegap gempita keindahan bangunan tinggi yang turut mempengaruhi nilai dan norma sosial yang dianut oleh masyarakat. 

Adew menggambarkan kondisi Ledeng dalam kalimat menohok: "Sayang seribu sayang, di tempat yang sekarang identik dengan terminal angkutan umum, padat penduduk, satu rumah berebutan cahaya sinar mentari dengan rumah lainnya, lingkungan yang sarat dengan problematika sosial; terlebih di kalangan muda-mudi acap kali yang tersodorkan adalah perihal tindak dan polah yang tidak membanggakan." (Halaman 26). 

Menurut Adew, salah satu cara menyikapi polemik di atas yakni dengan mengembalikan masyarakat untuk mempelajari seni tradisi kedaerahan. Kawasan yang mulanya bernama Nagrak (tempat yang strategis untuk memandang lebih leluasa pemandangan yang ada di bawah) ini pada masa silam juga hidup dari kekayaan akan seni dan tradisi. 

Adew menceritakan Ledeng melalui orang-orang di alam memorinya. Mulai dari lingkup paling dekat, yakni keluarga, tetangga, dan kawan kecil, hingga orang asing yang menarik perhatiannya. Baginya setiap manusia itu berguna. Entah itu sebagai teladan dan diikuti sikapnya atau contoh untuk tidak ditiru. 

Semua tokoh itu turut mempengaruhi sosok Adew yang hidup di masa kini. Menjadi sederhana atau cukup adalah jalan untuk menciptakan sikap bijaksana. Bagaimanapun baginya rasa tenteram dan bahagia adalah unsur penting seseorang bertahan hidup. 

Ledeng yang berada di kawasan dataran tinggi menyuguhkan pemandangan panorama indah Kota Bandung. Lalu lalang pelajar yang berasal dari universitas dekat wilayah Jalan Sersan Bajuri itu mewarnai denyut aktivitas warga Ledeng. Tak sedikit dari mereka yang membantu masyarakat dalam menguatkan edukasi anak-anak warga. 

Pegiat Asian African Reading Club (AARC) ini percaya bahwa literasi adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan. Kesukaannya pada buku ia dapatkan dari orang tua maupun lingkungan sekitar. Pun perspektifnya semakin tajam manakala mengenal musik yang tidak sengaja ia dengar dari salah satu pemuda penghuni kosan dekat rumahnya bernama Haniful Iqbal, yang memicu nurani kemanusiaannya. 

Pada akhirnya tulisan dan musik dijadikan sarana untuk menuangkan keresahannya. Ia pun aktif di komunitas terkait buku dan musik.

Menelisik ke belakang, kepekaan pikiran dan empati telah terpupuk sejak dia juga turut serta berperan dalam kegiatan-kegiatan kepemudaan di daerahnya, serta perkenalan singkat dengan berbagai individu yang ia temui di moda transportasi umum saat masa kuliah di kampus Jatinangor.

Tantangan yang ia hadapi tidak menyurutkan semangatnya bersama kawan-kawannya untuk berjibaku menyiapkan perhelatan kegiatan-kegiatan yang memberikan setitik makna bagi warga Ledeng. Kegiatan ia lakukan dengan semangat menanamkan nilai nasionalisme dan kearifan lokal. 

"Kondisi kami saat itu, sejenis elite kelompok pemuda, yang acap kali menyemarakkan suasana lembur kami supaya lebih bercahaya, lebih jauh menutup kejelekan-kejelekan kasus yang merebak, dengan sesuatu program kegiatan yang lebih asyik dan mendidik" (Halaman 152). 

Peristiwa itu membawa Adew untuk mengenal lebih jauh memahami penindasan guna menciptakan perdamaian dan kesejahteraan di level mikro. Bagaimanapun keberpihakan di masyarakat akan terus dinanti dan tidak harus menunggu jadi seseorang berkedudukan tinggi untuk berperan. 

Konteks permasalahan nasional dan daerah menyertai rangkaian kisah pertumbuhan Ledeng. Sejatinya modernitas yang mengaburkan lokalitas, serta individualisasi yang menghalau gotong royong, menurut Adew sudah seharusnya dikikis dengan langkah progresif untuk menciptakan peradaban suatu bangsa. 

Tepatnya diaktualisasikan oleh kesejajaran antara generasi tua maupun muda dalam ruang kontribusi. Di mana semua bersatu padu dalam gejolak jiwa kawula muda yang tak mengendur dan bertenaga. Paling penting menurut Adew, sejatinya keberadaan mereka tidak bermaksud mengejar eksistensi dan kemegahan harta dunia. 

"Bukankah lebih baik sederhana saja, bersahaja saja, tak kurang dan tak lebih? Menjadi orang yang selalu merasa cukup. Tak berlebihan, tak memaksakan kehendak." (Halaman 55). 

Baca Juga: BUKU BANDUNG #55: Maestro Musik Si Bengal Harry Roesli
BUKU BANDUNG #56: Napak Tilas Jejak Sukarno, dari Pendidikan hingga Kisah Cintanya
BUKU BANDUNG #57: Keluar dari Cengkeraman Kolonialisme Melalui KAA 1955

Gedong Cai Cibadak Gedong Elmu 

Tanah Ledeng yang memiliki sumber daya air melimpah, dimanfaatkan sejak zaman dulu sebagai pusat penyaluran air. Para pendahulu Ledeng ikut merawat sumber penunjang kehidupan tersebut. Dalam hal ini asal mula disebut Ledeng pun bekaitan dengan unsur air tersebut, memiliki arti pada bahasa Belanda yaitu saluran pipa-pipa air. 

"Orde ke orde bergantian. Kebutuhan air tetaplah menjadi keniscayaan," tulis Adew Habsta. (Halaman 175). 

Penulis yang aktif di Forum Lingkar Penulis (FLP) Bandung ini menceritakan tentang keseriusan sikap ia dan teman-temannya mempersiapkan lahirnya acara Festival Gedong Cai Cibadak. Dimaksudkan untuk mengenal kembali seluk beluk sejarah dari Ledeng (Kampung Cidadap), tujuannya menumbuhkan rasa cinta dan kepedulian bagi kelestarian lingkungan hidup dan air. 

Jejak Ledeng yang begitu kental dengan pembangunan kota layak huni di masa Belanda tahun 1920, ditujukkan untuk pembangunan saluran penyediaan air minum bagi kepentingan warga masyarakat di kala itu. Cidadap yang berada di kawasan utara kota Bandung dengan sumber mata air, akhirnya dipilih untuk melancarkan program tersebut. 

Hingga saat ini bangunan persediaan air itu masih tetap mengalir, tersalurkan dan mampu menghidupi warga di Bandung.  Etika lingkungan hidup perlu terus digaungkan untuk menjaga ekosistem kehidupan tersebut. Warga Ledeng yang sudah terlebih dahulu menerapkan hal demikian, perlu terus dipertahankan dan dikuatkan oleh segenap masyarakat sekitar.

Sebagai penutup resensi buku ini, berikut ini petikan sajak tentang Gedong Cai: 

Tanah pusara dilalui, jalan setapak, rerumputan meninggi, berhimpitan ilalang, beberapa pohon tumbang, halangi langkah kaki. Bunga yang jatuh, entah apa namanya, tutur taburkan derap hasrat, sementara Gedong Cai ditempuh dengan nafsu kami yang membenci kemandegan jalanan. 

Oh ya, saya tak seharusnya mengutuk sekitar, namun potongan doa yang basi, moga tak meracuni sumber mata air ini. Silakan, teman-teman membasuh wajah, merasakan air bukit, air yang telah beratus-ratus tahun menyegarkan warga tanah ini. 

Informasi Buku:

Judul: Oh Ledeng, Oh Bandung: Sejauh Mata Memandang adalah Tembok

Penulis: Adew Habtsa

Penerbit: ProPublic.info

Tahun Terbit: 2022

Jumlah Halaman: 190

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//