• Buku
  • BUKU BANDUNG #57: Keluar dari Cengkeraman Kolonialisme Melalui KAA 1955

BUKU BANDUNG #57: Keluar dari Cengkeraman Kolonialisme Melalui KAA 1955

Perang Dunia Kedua baru saja berakhir dengan keruntuhan kekuatan fasisme Jerman, Italia, dan Jepang. Menyisakan semangat kolonialisme yang tertunda.

Buku Konferensi Asia Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Anti-Imperialisme, ditulis Wildan Sena Utama (Marjin Kiri, 2017). (Foto: M. Raihan Dani/BandungBergerak.id)

Penulis M. Raihan Dani1 Januari 2023


BandungBergerak.id - Dekade 1940-50an menjadi era yang penuh perjuangan bagi bangsa-bangsa yang terkolonisasi oleh bangsa Eropa. Puncaknya, pada 1955 Indonesia menjadi pelopor terlaksananya Konferensi Asia-Afrika (KAA), sebuah perlawanan diplomasi sekaligus menunjukkan eksistensi dan keberdayaan bangsa-bangsa yang terjajah di hadapan dunia.

Wildan Sena Utama dalam bukunya, Konferensi Asia Afrika 1955, menjelaskan secara komprehensif dan menarik tentang apa yang telah kita ketahui semasa sekolah dulu mengenai KAA.

Bermula pada 12 April 1955, Ketika pemimpin Mesir, Gamal Abdul Nasser menghadiri Konferensi Rakyat Delhi untuk memeuhi undangan Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru. Di sanalah kesadaran akan kemanusiaan mulai tumbuh di kalangan rakyat India.

Kemudian, Nasser dan Nehru beranjak bersama menuju Burma, menghadiri festival rakyat Thingyan. Perjalanan mereka kemudian mencapai tujuan utama, yakni Bandung. Di Bandung, puluhan negara sepakat untuk mengakhiri kolonisasi barat yang secara sistematis dan kokoh telah berlangsung selama ratusan tahun.

Dengan berbekal rasa solidaritas yang kuat, negara-negara dengan “kulit berwarna” menghadapi masalah yang sama. KAA adalah kesempatan bagi bangsa yang tertindas untuk menjalin rasa senasib dan membangun jaringan diplomatik yang kuat.

Ada pun negara-negara yang menjadi peserta KAA sebagai berikut; Filipina, Ceylon, Thailand, Kamboja, Laos, Republik Rakyat Tiongkok, Jepang, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Nepal, Afganistan, India, Iran, Irak, Arab Saudi, Suriah, Yordania, Lebanon, Turki, Yaman, Mesir, Sudan, Ethiopia, Liberia, Libya, Ghana, Burma, dan Pakistan.

Tokoh- tokoh yang memprakarsai Konferensi Asia Afrika adalah Ali Sastroamdjojo dari Indonesia, Jawaharlal Nehru dari India, Mohammad Ali Bogra dari Pakistan, U Nu dari Burma, dan John Kotelawala dari Ceylon atau Sri Lanka.

Kondisi Dunia Ketiga dan Perang Dingin

Pada 1940-an akhir, Perang Dunia Kedua baru saja berakhir ditandai dengan keruntuhan kekuatan fasisme Jerman, Italia, dan Jepang, serta kemenangan komunisme dan kapitalisme. Akan tetapi, hal tersebut masih menyisakan kolonialisme yang sempat “tertunda” lantaran kembali tingginya hasrat negara-negara barat untuk menjajah.

Pada kenyataannya, keinginan tersebut mendapatkan rintangan manakala paradigma kedaulatan dan kesetaraan mulai tumbuh di tanah-tanah jajahan. Paradigma tersebutlah yang kemudian menumbuhkan ide dekolonisasi dan antiimperialisme yang mencengkram mereka.

Dekolonisasi sendiri merupakan upaya penyerahan kedaulatan secara yuridis pada bangsa-bangsa yang terjajah, sekaligus mengakhiri cengkraman kolonialisme dan imperialism barat. Penjajahan barat tercatat pertama kali berakhir di Suriah pada 1943, Indonesia 1945, dan India (meliputi Pakistan) pada 1947.

Proses penyerahan kedaulatan secara yuridis tersebut tidak serta-merta dibiarkan begitu saja. Bangsa-bangsa barat pun berusaha meredam semangat dekolonisasi dengan sengit. Sebagai contoh, setelah kemerdekaan Indonesia merdeka, Belanda tetap ingin menjajah Kembali—seakan tidak sudi melepas tanah jajahannya.

Baca Juga: BUKU BANDUNG #45: Si Kabayan versi Utuy Tatang Sontani
BUKU BANDUNG #44: Menolak Melupakan Kisah Sjafei Soemardja
BUKU BANDUNG #43: Kebangkitan Kembali Orang Sunda

Konferensi Asia Afrika

Secara kronologis, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Sukarno meyetujui penggarapan persiapan KAA pada akhir April 1955. Pemerintah pusat melalui kementerian luar negeri mulai menyebarkan undangan kepada kedutaan besar di Jakarta, sementara itu pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dipimpin Sanusi Hardjadinata membantu pemerintah pusat dalam hal pelaksanaan teknis, administrasi, serta keamanan acara. Peran penting Jawa Barat dan Bandung tidak bisa dipandang sebelah mata, karena berkat kontribusinya, KAA dapat dilaksanakan dengan aman dan penuh sambutan hangat.

Undangan dari Kemenlu Indonesia pun mendapat respons yang beragam dan sebagian besar negara segera menyetujui untuk datang, misalnya Mesir. Ada pula negara-negara yang tidak berkenan untuk datang, seperti Lebanon dan Irak, karena dekat dengan barat. Namun, sikap tersebut berubah, yakni negara-negara tersebut menjadi bersedia untuk hadir. Sikap tersebut diambil seiring dengan kepentingan Amerika Serikat yang ingin membendung paham komunisme di Asia Afrika melalui perantara kedua negara itu.

Peristiwa paling menarik terjadi saat para pemimpin negara anggota KAA melakukan jalan kaki ke Gedung merdeka. Mereka berjalan kaki dari hotelnya masing-masing agar menghindari kemacetan. Sebuah konferensi diplomatik seketika berubah layaknya “teater solidaritas”.

Lautan manusia tumpah ke jalan saat momen ikonik tersebut. Perhatian banyak tertuju pada inisiator perhelatan ini, yaitu Sukarno dan Gamal Abdel Nasser. Sorak sorai “Merdeka!” menyambut mereka dengan penuh rasa semangat dari rakyat.

Setelah enam hari mengadakan konferensi, KAA menghasilkan komunike final yang berisi sepuluh prinsip usaha memajukan perdamaian dan kerja sama di dunia yang kemudian dikenal dengan nama Dasasila Bandung. Konferensi ditutup dengan pidato ketua KAA, Ali Sastroamidjojo:

Apa yang telah kita lakukan di Bandung saat ini sebagai tonggak sejarah, dan juga mengingatkan apa yang menjadi consensus bersama dalam konferensi ini sesungguhnya ialah pesan toleransi dan perdamaian dunia”.

Pada akhirnya, KAA bukanlah puncak perjuangan bangsa-bangsa yang dianggap inferior untuk lepas dari kolonialisme secara utuh. Prinsip kesetaraan dan keadilan dunia tidak berhenti sampai di sana. Meskipun mendapat banyak tantangan, peristiwa penting bersejarah ini kemudian menginspirasi peristiwa-peristiwa penting setelahnya yang masih bernapas sama, yakni antikolonialisme dan antiimperialisme. KAA dinilai berhasil memberikan perlawanan diplomasi sekaligus menunjukkan eksistensi dan keberdayaan bangsa-bangsa yang terjajah di hadapan dunia

Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca, terutama bagi yang memiliki keingintahuan mengenai Konfrensi Asia Afrika dengan lebih komprehensif. Teruntuk kalangan mahasiswa dan pelajar juga sangat direkomendasikan untuk membaca karya literatur historiografi ini.

Informasi Buku

Judul Buku: Konferensi Asia Afrika 1955. (Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Anti-Imperialisme)

Penulis: Wildan Sena Utama

Penerbit: Marjin Kiri

Jumlah halaman: xxii +281 halaman

Tahun Terbitan: 2017

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//