• Buku
  • BUKU BANDUNG #47: Buku Kecil Membahas Peristiwa Besar KAA 1955

BUKU BANDUNG #47: Buku Kecil Membahas Peristiwa Besar KAA 1955

Buku "Di Balik Layar: Warna-warni Konferensi Asia Afrika 1955 di Mata Pelakunya" berusaha merekonstruksi peristiwa KAA. Termasuk adegan pemboman pesawat.

Buku Di Balik Layar Warna-warni Konferensi Asia Afrika 1955 di Mata Pelakunya, ditulis Sulhan Syafii dan Ully Rangkuti, Penerbit: TNC Publishing, Bandung, 2014. (Foto Kolase: Iman Herdiana/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana4 September 2022


BandungBergerak.idKonferensi Asia Afrika tahun 1955 sampai saat ini dikenal sebagai peristiwa terbesar dalam sejarah yang melibatkan negara-negara di Asia Afrika. Teramat banyak pihak yang terlibat, kejadiannya terus dibicarakan dari generasi ke generasi, dituliskan dalam bentuk artikel maupun buku.

Mengapa peristiwa KAA masih terasa magnitudenya hingga kini? Setidaknya dapat dilihat dari para tokoh penggagas maupun yang menghadiri konferensi ini. Sebut saja Sukarno, Mohammad Hatta, di dalam negeri. Nama Dwi Tunggal ini tidak asing di kalangan pejabat luar negeri sebagai proklamator RI.

Belum lagi dengan para delegasi yang hadir, salah satunya Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok, Chou En Lai. Potret kebesaran Konferensi Asia Afrika ini pula yang diceritakan kembali dalam buku berjudul “Di Balik Layar: Warna-warni Konferensi Asia Afrika 1955 di Mata Pelakunya” yang ditulis Sulhan Syafii dan Ully Rangkuti.

Buku ini ditulis tahun 2014, tetapi isinya berusaha merekontruksi pelbagai peristiwa yang terjadi pada KAA 1955. Ukuran bukunya terbilang kecil seperti buku saku dengan 167 halaman. Namun buku kecil ini berusaha merangkum peristiwa besar KAA.

Penulisan buku dilakukan secara kronikal karena terdiri dari beberapa artikel dengan bahasan yang terpisah-pisah. Total ada 20 artikel yang membicarakan KAA dari berbagai sudut pandang, mulai dari sisi Sukarno, warga, fotografer, jurnalis, pedagang, hingga intel tentara.

“Tantangan terbesar dalam penulisan buku ini adalah pencocokan peristiwa dan kejadian agar menjadi sebuah kebenaran fakta. Rentang waktu kejadian -- 59 tahun yang --  adalah sebuah jeda panjang, penulis harus bekerja ekstra sabar untuk menemukan pelaku demi informasi narasumber yang sudah berpulang,” demikian kata penulis.

Meski demikian, penulis mengaku telah menelusuri peristiwa demi peristiwa untuk direkonstruksi seperti kejadian aslinya 59 tahun silam (ketika buku ini ditulis). Dugaan-dugaan yang selama ini muncul sebagian besar sudah dicocokan dengan data dan dikonfirmasi dengan narasumber yang ditemui.

Artikel pertama yang membuka buku ini berjudul “Souvenir dari Jepang”. Tetapi sayang, halaman 4-6 ini hilang, entah salah cetak atau bagaimana. Padahal artikel ini dibuka dengan kalimat cukup menarik, tentang pertukaran satwa oleh kedua negara, yakni Jepang dan Indonesia.

Di luar kesalahan teknis tersebut, selebihnya tidak ditemukan masalah serupa. Semua artikel bisa dinikmati secara utuh yang disajikan dengan gaya penulisan yang ringan namun berisi fakta-fakta sejarah yang unik atau jarang terungkap selama ini.

Misalnya pada artikel berjudul “Bandung Someah”, menggambarkan bagaimana Kota Bandung bersolek untuk menyambut para delegasi Konferensi Asia Afrika (masa itu, istilah konferensi masih ditulis dengan huruf P, menjadi konperensi).

Disebutkan bahwa pada Kamis 7 April 1955, Presiden Sukarno mengecek langsung persiapan KAA di Bandung. Presiden pertama RI ini mengecek Gedung Concordia, Hotel Savoy Homann, Hotel Preanger, Hotel Victoria, dan Gedung Dana Pensiun.

Gedung-gedung tersebut akan dipakai untuk perhelatan sidang KAA maupun untuk menginap para delegasi. KAA sendiri berlangsung dari  18-24 April 1955.

Dari artikel ini juga diketahui bahwa terdapat perubahan nama-nama gedung dan jalan di Bandung. Misalnya, Gedung Concordia berubah namanya menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun berubah menjadi Gedung Dwi Warna.

Perubahan nama jalan terjadi pada Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika, jalan di depan Masjid Besar Bandung menjadi Jalan Masjid Agung. Perubahan nama jalan ini ditetapkan pada Kamis 14 April 1955.

Pada artikel lain, “Tionghoa Bandung Sambut Hangat Chou En Lai”, berusaha merekontruksi perjalanan pemimpin Republik Rakyat Tiongkok (RRT) bak film laga. Chou adalah sosok pemimpin dunia yang lagi bersinar terang pada masanya, ketika dunia masih dilanda peperangan. Hubungan RRT dengan Taiwan sedang panas-panasnya.

Artikel tentang Chou En Lai diawali dengan bom waktu yang meledak di dipesawat rombongan kepresidenan saat melintas di Natuna, Indonesia. Tetapi Perdana Menteri RRT itu ternyata selamat karena tidak ikut serta dalam rombongan pesawat kenegaraan.

Padahal, Chou sempat menaiki pesawat  bernama Khasmir Princess itu. Pesawat terbang dari Beijing menuju Hongkong. Mereka mendarat di Hongkong yang masih dikuasai Inggris. Rombongan menginap semalam. Meski dalam penjagaan ketat, rupanya bom waktu tetap bisa lolos ke kabin pesawat.

Ada perang intelijen dalam peristiwa ini. Keberhasilan menyelundupkan bom hingga meledakkannya adalah kerja intelijen. Tetapi intelijen RRT pun tak kalah canggihnya. Mereka bisa menyelamatkan Chou En Lai dengan mengalihkan sang Perdana Menteri ke pesawat lain.

Peristiwa dramatis ini mendapatkan perhatian serius dari warga Tiongkok yang ada di Indonesia, khususnya di Bandung. Minggu 14 April 1955 Chou bisa menemui warga Tionghoa yang sudah menantinya di Bandung.

PM RRT ini tinggal di sebuah ruamh di Jalan Tamansari 10. Tiap hari di sini ramai. Warga Tionghoa memenuhi jalan di depan rumah. Mereka ingin melihat Chou En Lai.

"Saya tiap hari berdiri di depan rumah itu," kata Lin Wan Li, yang masih duduk di SMP kelas 2 yang tinggal di Jalan Emong.

Baca Juga: BUKU BANDUNG #44: Menolak Melupakan Kisah Sjafei Soemardja
BUKU BANDUNG #45: Si Kabayan versi Utuy Tatang Sontani
BUKU BANDUNG #46: Braga Jantung Parijs van Java

Ceu Popong

Masih ingat dengan Ceu Popong? Perempuan asal Bandung yang malang-melintang di jagat politik ini juga memiliki peran pada KAA 1955. Popong Otje Junjunan masih duduk di bangku kelas dua SMAN 5 Bandung di Jalan Belitung saat perhelatan KAA. Ia tinggal di asrama Putri Parki di Jalan Balong Gede No 12 (kini gedung tersebut ditempati SMA Pasundan 2).

Ada pengumuman bahwa diperlukan gadis yang bisa bahasa Inggris untuk bertugas di KAA. Popong yang bisa bahasa Inggris, mengajukan diri. Ia lulus bersama 10 gadis lainnya.

Tugas Popong di KAA adalah menerjemahkan kuliner tradisional Sunda seperti colenak, ranginang, opak, bandrek, bajigur yang disuguhkan kepada para delegasi. Popong menjelaskan kuliner-kuliner khas tersebut pada Presiden Mesir Gamal Abdul Nasir yang posturnya tinggi besar bagi Popong. Popong sendiri hanya memiliki tinggi 150 cm, sehingga ia harus mendongak saat berbicara dengan Presiden Gamal.

Di sela perbincangan, tiba-tiba Popong berceloteh dalam bahasa Sunda, "Aduh meni cangkeul."

Popong mengaku pegal karena harus berbicara mendongak pada Presiden Mesir. Sang presiden pun heran dan menanyakan apa yang diucapkan Popong. Popong segera menjelaskan bahwa kalimat tersebut merupakan bahasa Sunda yang artinya ia merasa bangga bisa bertemu dengan Gamal Abdul Nasir.

Maka Gamal Abdul Nasir pun tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Popong. Dalam hati, Popong minta maaf pada Gamal karena telah berbohong.

Intel Banting Setir Menjadi Bintang Film

Kisah menarik lainnya datang dari Rachmat Hidayat, aktor senior peraih piala Citra. Pada zaman KAA, Rachmat Hidayat seorang intel tentara, bertugas di Polisi Militer atau CPM di lingkungan Kodam III/Siliwangi.

Ia ditugaskan komandannya untuk mengamankan bagian luar gedung-gedung yang digunakan rapat dan penginapan para delegasi. "Saya senang bisa membantu KAA, mengenang peristiwa April 1955.

Usianya Rachmat Hidayat baru 22 tahun ketika mengemban tugas intelijen itu. Tugasnya mengamati situasi di luar gedung dengan berjalan kaki. Ia mengawasi warga yang ramai berkerumun karena penasaran dengan konferensi tingkat dunia. Pengamanan dilakukan lima hari sebelum pembukaan KAA, yakni 18 April. 

Rachmat Hidayat tidak masuk ke gedung-gedung yang ia awasi, melainkan bertugas di bagian luarnya saja, membaur dengan masyarakat. Gedung Merdeka juga ia amati. Suasananya bersih dan cantik. Begitu juga dengan lingkungan di sekitarnya.

Selama bertugas, ia dibekali senjata api jenis pistol. Senjata ini harus disembunyikan agar tidak terlihat oleh siapa pun. Jenis pistol yang ia bawa kadang Fikas kadang Colt. Pergantian senjata dilakukan karena masih terbatasnya jumlah senjata api, sehingga satu senjata dipakai secara bergiliran oleh anggota tim.

Situasi dunia tahun 1955 masih dalam suasana Perang Dingin. Situasi di dalam negeri bukan berarti tidak mencekam. Sebab tahun tersebut di Indonesia muncul gerakan DI/TII. Gerakan inilah yang harus diwaspadai Rachmat Hidayat selama menjaga KAA.

Tetapi bukan DI/TII yang merepotkan Rachmat, melainkan aksi para pencopetlah yang bikin gaduh. Banyak pencopet yang memanfaatkan situasi ramai. Beberapa pencopet berhasil ditangkap dan diamankan ke kepolisian.

Informasi Buku

Judul: Di Balik Layar: Warna-warni Konferensi Asia Afrika 1955 di Mata Pelakunya

Penulis: Sulhan Syafii dan Ully Rangkuti

Editor: Siti Imania Triandewi

Tim Pengumpul Data dan Bahan: Robi Firmansyah, Singgih Jatmiko, Suparno Hadisaputro, Deke Wulandari.

Jumlah Halaman: 167 lembar

Penerbit: TNC Publishing, Bandung, 2014.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//