• Kolom
  • SUBALTERN #3: New Age Spiritualism, Subaltern di Tengah Hegemoni Sains

SUBALTERN #3: New Age Spiritualism, Subaltern di Tengah Hegemoni Sains

Spiritualisme baru menantang hegemoni sains dan agama tradisional. Menganjurkan pendekatan pengetahuan yang lebih partisipatif dan demokratis.

Al Nino Utomo

Pegiat Kelas Isolasi

Sejumlah ulama melakukan pengamatan hilal di halaman Observatorium Al Biruni di kampus Unisba, Kota Bandung, Rabu (22/3/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

8 April 2023


BandungBergerak.id - Spiritualisme alternatif yang banyak bermunculan di akhir abad ke-20 melahirkan sebuah istilah yang dikenal sebagai New Age Spiritualism. Kemunculannya merepresentasikan diskursus subaltern yang menantang hegemoni sains dan agama tradisional dengan membawa nilai-nilai holistik, pandangan terhadap dunia yang menolak oposisi biner dengan menitikberatkan pada interdependensi dan keterhubungan seluruh subjek di muka bumi. New Age Spiritualism sering dianggap sebagai pionir dari  counter-culture yang terjadi di era 1960-1970, namun terdapat beberapa perbedaan mendasar seperti nilai-nilai religius, filsafat, dan tradisi saintifik dari seluruh dunia.

Aliran ini memiliki beberapa ciri khas, dan yang pertama adalah sinkretisme atau penggabungan elemen dari banyak tradisi religius dan spiritual yang berbeda-beda. New Age Spiritualism seringkali mengambil elemen penting dari agama-agama Timur seperti Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, dan tradisi tertentu seperti shaman, dan praktik-praktik lain yang melandaskan diri pada alam. Agar tetap relevan dengan perkembangan jaman, mereka juga banyak memasukkan sains modern ke dalam ajarannya, seperti psikologi transpersonal, archetype Jung, dan fisika quantum. Dengan menggabungkan beberapa aspek ini, New Age Spiritualism ingin menciptakan sebuah cara pandang yang terintegrasi, utuh dan menyeluruh yang mampu menembus batasan agama dan sains konvensional.

Elemen kedua yang menjadi ke-khas-an dari aliran baru ini adalah ajarannya yang terpusat pada spiritualitas individual dan tidak terorganisir seperti agama pada umumnya. Pengikut spiritualisme ini seringkali berusaha untuk terhubung dengan “inner self” atau “inner spirituality” yang bisa dicapai melalui beberapa cara seperti meditasi, yoga, dan penyembuhan alternatif. Sebagai pihak yang menantang hegemoni sains, spiritualisme baru juga banyak menggunakan pengobatan yang tidak termasuk ke dalam ilmu medis modern seperti herbal, aromaterapi, akupuntur, kristal, dan bebatuan yang dianggap berasal dari alam dan selaras dengan pergerakan kosmos.

Elemen ketiga yang dianggap sebagai basis dari New Age Spiritualism adalah penekanannya pada kekuatan pikiran dan law of attraction. Ide ini menyatakan bahwa setiap individu dapat mencapai keinginannya dengan cara memanifestasikan keinginan itu di dalam pikiran. Bukan hanya keinginan, spiritualisme baru ini bahkan percaya bahwa realitas dapat dibentuk melalui pikiran dan intensi yang positif.

Meskipun sangat diminati oleh banyak kelompok masyarakat, spiritualisme baru menerima banyak kritik terkait kurangnya pembuktian saintifik dan tendensinya untuk mempromosikan kepercayaan yang tidak realistis dan tidak berdasar. Argumen lain dari kelompok skeptis adalah bahwa banyak praktik dan ide yang dipercaya oleh spiritualisme baru adalah kurangnya bukti empiris yang bisa jadi membahayakan.

Salah satu modal utama kritik terhadap spiritualisme baru adalah ketergantungan pada konsep dan praktik yang dianggap pseudo-sains. Misalnya, banyak pengetahuan pada spiritualisme baru berpusat pada ide tentang energi dan manipulasi terhadapnya melalui praktik-praktik seperti akupunktur, reiki, dan keseimbangan cakra. Namun, konsep-konsep ini belum terbukti melalui eksperimen ilmiah dan sering didasarkan pada pengalaman yang bersifat anekdotal. Selain itu, banyak praktik pada spiritualisme baru, seperti penyembuhan kristal dan aromaterapi, kurang memiliki dasar ilmiah dan tidak didukung oleh bukti empiris. Sebagai hasilnya, spiritualisme era baru sering kali dipandang sebagai tidak ilmiah dan tidak didukung oleh penelitian yang dapat dipercaya.

Di samping itu, spiritualisme baru sering mempromosikan rasa individualisme dan self-centeredness yang tidak kondusif untuk kemaslahatan masyarakat luas. Banyak di antara para pendukung yang percaya bahwa mereka dapat menciptakan realitas mereka sendiri melalui kuasa berpikiran positif dan visualisasi, dan bahwa mereka hanya bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan perkembangan rohani mereka sendiri. Penekanan pada individu ini dapat menyebabkan kurangnya perhatian untuk kesejahteraan orang lain dan penolakan akan tanggung jawab sosial. Selain itu, fokus pada kepentingan pribadi dan self-improvement dapat menyebabkan mengabaikan masalah sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan, dengan ketidaksetaraan. Oleh karena itu, spiritualisme baru dapat dikritik karena mempromosikan cara pandang sempit dan self-centered, pandangan yang tidak dengan mengedepankan well-being masyarakat secara keseluruhan.

Baca Juga: SUBALTERN #2: Dari Mana Diskriminasi Muncul?
SUBALTERN #1: Mengapa Tidak Ada Seniman Perempuan yang Hebat?

Pandangan Dunia yang Unik

Namun, pada saat yang bersamaan, spiritualisme baru menantang paradigma dominan ilmu pengetahuan dan rasionalitas dengan menganjurkan pendekatan yang lebih intuitif dan eksperiensial terhadap pengetahuan. Ajaran ini menolak reduksi dan mekanistik pandangan dunia ilmu tradisional, yang mereka anggap terlalu reduksi dan materialistis. Mereka mengajukan pemahaman yang lebih holistik dan ekologis akan realitas yang menekankan keterkaitan dan saling ketergantungan dalam segala sesuatu. Mereka juga menolak pandangan dualistik dan hierarki dunia tradisional agama, yang mereka lihat sebagai sumber dari perpecahan dan konflik yang menjadi masalah masyarakat modern. Mereka menawarkan pandangan dunia non-dutualistik dan egalitarian yang mengakui nilai intrinsik dan interkoneksi dari semua makhluk. 

Spiritualisme baru juga menantang otoritas tradisional ilmu pengetahuan dengan menganjurkan pendekatan pengetahuan yang lebih partisipatif dan demokratis. Spiritualisme ini percaya bahwa pengetahuan tidak boleh dimonopoli oleh satu kelompok tertentu saja, tetapi harus terbuka untuk semua orang. Mereka menolak gagasan bahwa sains memiliki sifat netral, objektif, dan bebas nilai. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa sains dibentuk oleh sosial, politik, dan ekonomi. Mereka juga menolak gagasan bahwa sains dapat memberikan jawaban definitif untuk semua pertanyaan. Mereka menginginkan pendekatan yang lebih terbuka dan pluralistik terhadap pengetahuan yang mengakui keragaman dan kompleksitas pengalaman manusia.

Spiritualisme baru mewakili diskursus subaltern yang menantang hegemoni ilmu pengetahuan dan agama tradisional dengan menganjurkan cara pandang yang holistik, non-dutualistik, dan pendekatan partisipatif untuk pengetahuan. Dengan mengambil banyak elemen dari berbagai agama, filsafat, dan tradisi ilmiah, spiritualisme baru mampu menciptakan pandangan dunia yang unik dan sinkretis yang melampaui kategori konvensional. 

*Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//