NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #2
Edelweis sempat diperjualbelikan untuk hiasan di Batavia, digunakan sebagai bunga hias di Surabaya. Oleh masyarakat setempat, digunakan dalam upacara adat.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
9 April 2023
BandungBergerak.id – Edelweis mendapat julukan bunga abadi karena bunga tersebut secara alamiah tidak mudah layu dan rusak. Bentuk dan warnanya pun menarik. Ditambah lagi, beragam mitos yang disematkan pada bunga tersebut membuat banyak yang ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Di Batavia, bunga tersebut sempat dijual sebagai penghias suvenir.
Koran Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie tanggal 3 Desember 1885 dalam artikelnya berjudul Onze Ronde Voor Het SInt-Nikolaas Feest (Penjelajahan Kami untuk Festival Saint Nicolas) menceritakan bunga edelweis menjadi penghias bermacam produk cuivre poli, yang terbuat dari polesan tembaga. Artikel tersebut menceritakan ulasan mengenai pernik-pernik yang dijajakan di sejumlah toko di Batavia yang cocok menjadi hadiah untuk diberikan pada hari perayaan Sint-Nikolaas menjelang perayaan Natal.
Rumah terbesar dan terindah dengan nama Madame Empting-Ariessen di Rijswijk, Batavia, adalah toko yang isinya melimpah sehingga lebih sering disebut gudang penyimpanan. Di dalamnya, tersaji pernak-pernik dan koleksi cantik dari porselen, bunga, kerudung, sulaman, album, bingkai foto, dan banyak lagi. Dari sekian banyak pernik-pernik tersebut, ada beberapa yang berhiaskan bunga edelweis asli.
Edelweis bukan bunga sembarangan. Tidak mudah untuk memperolehnya karena hanya tumbuh di puncak gunung yang tidak gampang didaki. Di Hindia Belanda kala itu, habitat bunga edelweis pertama kalinya ditemukan oleh Prof. Caspar Georg Carl Reinwardt, ahli botani asal Jerman yang merintis pendirian Kebun Raya Bogor.
Majalah Algemeene Konst- En Letter-Bode, no. 55, tanggal 24 Desember 1819 menuliskan kisah perjalanan Prof. C.G.C. Reinwardt menjelajahi pegunungan dan hutan-hutan di Preanger Regenschappen (Priangan) hingga menemukan hamparan padang edelweis di dekat pucak Gunung Gede pada tahun 1819. Sejak saat itu, ditemukan sejumlah lokasi lain yang menyembunyikan bunga abadi tersebut.
Edelweis di Gunung-gunung
Koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 1 Agustus 1883, misalnya, menceritakan keberadaan bunga tersebut yang ditemukan di tengah penjelajahan T. Ottolander mendaki Gunung Semeru. Dalam artikel koran tersebut berjudul Een tocht naar den Semeroe (Perjalanan ke Semeroe), dikisahkan bagaimana perjalanan Ottolander menuju puncak Semeroe dilakukan dari kawasan Gunung Bromo. Ia berjalan melewati lautan pasir melewati Batoq, dan Widodaren menuju celah Mongal. Ia berjalan menembus daerah yang dinamai lembah Badjangan yang nyaris tidak ditemukan vegetasi apa pun selain sekumpulan semak yang jarang-jarang. Setelah berjalan menyusuri Widodaren ke arah barat, dengan melintasi bentukan alam serupa dinding yang memanjang, rombongan Ottolander sampai pada padang edelweis Jawa.
Tidak hanya di sana. Dalam perjalanannya selanjutnya dari Ider-ider menuju dataran besar Ranoe-Panie yang membentuk labirin bukit dan lembah dengan hamparan padang rumput, Ottolander menemukan lagi habitat edelweis Jawa. Beberapa kelompok pohon cemara, pisang raja, pakis, dan sekumpulan edelweis. (Soerabaijasch handelsblad, Een tocht naar den Semeroe III Ranoe Panie, 23 Agustus 1883)
Edelweis juga ditemukan di gunung tinggi di luar Jawa. Koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 11 Desember 1895 menceritakan keberadaan edelweis, walau tidak disebutkan jenisnya, di dalam perjalanan menjelajah Gunung Lompo Battang dan Gunung Bawa-Karaeng di Sulawesi. Kisah tersebut tercatat artikel berjudul De Beklimming der Lompo-Battang en Bawa-Karaëng op Celebes (Pendakian Lompo-Battang eo Bawa-Karaeng di Sulawesi).
Artikel tersebut menceritakan perjalanan Tuan Sarasin di dua gunung yang berada di Gowa, Sulawesi. Disebutkan puncak Lompo Battang memiliki ketinggian 2.850 meter dan Bawa Karaeng hanya sedikit lebih rendah darinya. Dua gunung tersebut mengelilingi kawah raksasa yang dasarnya memiliki kedalaman hampir satu kilometer. Nyaris tidak mungkin menuruni kawah tersebut karena konturnya yang curam, nyaris tegak lurus. Tidak ada pohon tinggi yang tumbuh di tebingnya, namun di sanalah ditemukan tanaman sejenis edelweis.
Edelweis dalam Pawai Bunga dan Sepeda Hias
Kala itu belum banyak yang mengetahui jika edelweis Jawa butuh waktu puluhan tahun untuk tumbuh sehingga sangat sulit menggantikan tanamannya yang rusak. Namun ada masanya Edelweis dengan mudahnya ditemukan dan dibawa turun gunung untuk diperjualbelikan dan dimanfaatkan sebagaimana bunga-bunga lainnya. Di Pasoeroean (Pasuruhan), edelweis sempat disertakan dalam festival bunga yang pertama di gelar di Hindia Belanda.
Koran Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie tanggal 15 Oktober 1887, pada artikel berjudul Het eerste corso-rijden op Java (Parade yang Pertama di Jawa) menceritakan tentang pawai bunga pertama yang diselenggarakan di Hidia Belanda. Artikel tersebut menyanggah klaim festival bunga di Batavia yang disebut yang pertama kali di Batavia. Festival bunga pertama justru digelar di Pasuruhan selama tiga hari 13-15 Mei 1887, lengkap dengan parade kereta yang dihiasi bunga-bunga. Bunga-bunga melimpah, banyak yang sengaja didatangkan dari tempat yang jauh. Festival tersebut yang kemudian ditiru di Batavia.
Rangkaian kereta-kereta kuda yang dipenuhi dekorasi bunga-bunga diarak melintasi jalan di tengah kota Pasuruhan dengan iringan gamelan dan musik dari band setempat. Satu kereta yang menarik perhatian, dan kemudian didapuk menjadi pemenangnya dihiasi bunga lili, patjar djawa, marguerites, oleander, dan edelweis liar.
Tahun 1903 digelar parade sepeda di Surabaya. Koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 9 Oktober 1903 menerbitkan tulisan berjudul Het rijwielcorso (Pawai Sepeda). Koran tersebut menceritakan bagaimana pawai yang berlangsung sore hari di ikuti warga dari segenap penjuru kota Surabaya.
Parade berlangsung 8 Oktober 1903, menjelang malam. Peserta sendiri sudah berkumpul sejak pukul 4 sore. Arak-arakan peserta akan melewati Simpangschenweg tempat juri sudah menunggu di tribun di pinggir jalan tersebut. Peserta tak hanya menghiasi sepeda, tapi juga menggunakan beraneka kostum. Musik dimainkan mengiringi iring-iringan sepeda yang melintas di tribun juri.
Iring-iringan sepeda yang melitas menarik perhatian masyarakat yang sudah berkumpul. Kostum yang digunakan pengendara beragam. Namun umumnya sepeda dihiasi bunga-bunga. Sekelompok iring-iringan sepeda melintas dengan pengendara menggunakan kostum seragam berwarna krem muda menarik perhatian. Bukan karena kostumya, tapi karena hiasan bunga edelweis Jawa pada sepedanya. Rombongan tersebut kemudian diputuskan memenangkan pawai hari itu.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #1
NGULIK BANDUNG: Paus Biru van Garut
Edelweis dan Masyarakat Tengger
Tak banyak catatan mengenai penggunaan edelweis oleh masayarakat di Nusantara. Namun koran Belanda sempat mencatat penggunaan bunga abadi tersebut dalam upacara adat masyarakat Tengger di kaki Gunung Bromo. Koran De nieuwe vorstenlanden tanggal 19 Februari 1902 dalam artikelnya yang berjudul Het offeriest op den Bromo (Persembahan di Bromo) menceritakannya.
Koran tersebut menukil kisah perjalanan Freule von Schmidt auf Altenstadt saat mengikuti upacara persembahan yang dilakukan masyarakat Tengger di Gunung Bromo. Schmidt sengaja berjalan pagi-pagi buta dari Tosari menuju Gunung Bromo. Ia berangkat dari hotel dengan rombongan yang menunggang kuda bersama pekerja yang membawa tandu. Rombongan menempuh perjalanan di bawah penerangan cahaya bulan sejak pukul tiga dini hari.
Schmidt dan rombongannya berjalan menuju Celah Moenggal, tak jauh dari kawah Gunung Bromo. Di sana telah didirikan bangunan dari bambu untuk perhentian warga, termasuk rombongan Schmidt yang hendak mengikuti upacara persembahan yang dimulai di lautan pasir di kaki kawah Gunung Bromo.
Dari Celah Moenggal, rombongan berjalan kaki menyusuri padang pasir. Tidak hanya pria, wanita pun mengikuti perjalanan tersebut. Schmidt menggambarkan wanita yang datang mengendarai kuda. Para wanita tersebut menggunakan celana panjang, mengenakan sarung, kebaya dengan sulaman emas, serta selendang yang dipergunakan menutup kepala. Mereka tak kalah sigap dengan para pria, terlihat kokoh duduk di atas pelana. Kuda-kuda yang dipergunakan juga dihiasi baju warna-warni dan lonceng di sekitar kaki depannya.
Cuaca gelap dengan kabut yang tebal. Di tengah lautan pasir rombongan berhenti. Beberapa pendeta sudah duduk menunggu di dalam tenda yang dibuat dari kain panjang. Di mata Schmidt, para pendeta tersebut berpakaian yang tak lazim. Mereka mengenakan selimut, topi, dan selempang emas. Di depan pendeta tersebut, berdiri anglo tembaga untuk membakar dupa, tong tembaga berisi air, dan seikat edelweis di dalamnya.
Tak lama upacara dimulai. Kain lebar dibentangkan di atas setiap pendeta. Pendeta yang dituakan mengambil semangkuk air dan seikat bunga edelweis. Ia kemudian melafalkan mantra, dan sesekali mencelupkan edelweis ke dalam air dan memercikkannya pada persembahan berupa bahan makanan yang sudah disiapkan. Tak lama mereka berjalan menaiki tangga kayu mendaki menuju pinggiran kawah Gunung Bromo. Warga yang sudah berkerumun ramai-ramai mengikuti mendaki tangga.
Tepi kawah Gunung Bromo sempit. Para pendeta berdiri paling depan di pinggir kawah, memanjatkan doa, lalu bergantian membuang sesajen yang sudah disiapkan ke dalam kawah. Ada ayam hidup, tandan padi, jagung, kelapa, serta koin yang dilema ke dalam kawah. Setelah upacara berakhir, rombongan turun dan melanjutkan perjalanan menyeberangi lautan pasir.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman