NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #1
Rusaknya tanaman edelweis rawa Ranca Upas oleh para pemotor trail sempat menjadi buah bibir. Belakangan bunga rawa tersebut tidak tepat disebut edelweis.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
1 April 2023
BandungBergerak.id - Video Mang Uprit yang marah-marah karena even motor trail merusak lahan bunga edelweis rawa di Rancaupas Kabupaten Bandung yang di unggah 7 Maret 2023 viral di media sosial. Mang Uprit menyebut edelweis rawa itu langka, hanya ada di dua tempat di Indonesia. Even motor trail tanggal 5 Maret 2023, video di unggah 7 Maret 2023. Tak butuh lama video tersebut menyebar viral. Penyelenggara motor trail langsung hujan kecaman.
Belakangan sejumlah pihak mengoreksi nama tanaman yang dirusak even motor trail di Rancaupas. Perum Perhutani lewat akun Twitter menyebut nama tanaman tersebut Bakung Rawa (Eriocaulon decangulare) yang memang tumbuh sporadis secara alami di sana. Penyebutan edelweis rawa tersebut justru disematkan pengunjung.
Mengutip Tribunjabar.id (27/5/2021), Cluster Manager Kawah Putih, Rancaupas, dan Patuha Resort, Trisna Mulyana menyebutkan sekitar tahun 1990 Rancaupas mempunya rawa yang menjadi habitat bunga yang memiliki karakter mirip edelweis, yakni bisa bertahan lama dan tidak membusuk. Pengunjung kalangan muda kemudian menyebutnya edelweis rawa. Bunga tersebut dulu terhampar hingga 2 hektare, dan kemudian hanya tersisa satu spot saja di Rancaupas.
Bunga bakung rawa (Eriocaulon decangulare) juga terdapat di sejumlah negara. Ada dugaan juga bunga rawa tersebut bukan tanaman native (asli) Indonesia. Yang pasti, bunga bakung ini tidak termasuk tumbuhan yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
Di peraturan menteri tersebut mencatat 914 satwa dan tanaman yang dilindungi di Indonesia. Ada edelweis di sana, di nomor urut 798. Edelweis, dengan nama spesies Anaphalis javanica. Tumbuhan yang masuk dalam Famili Asteraeae dan Genus Anaphalis.
Nama edelweis sendiri lekat dengan nama tumbuhan khas pegunungan Alpen di Swiss. Di situs houseofswitzerland.org yang dikelola The Federal Department of Foreign Affairs negara tersebut, ada satu artikel yang mengulas mitos yang melambungkan nama tumbuhan endemik tersebut.
Nama edelweis sendiri berasal bahasa Jerman yang berarti putih mulia. Ahli botani dan biologi memberikan banyak julukan pada bunga tersebut. Di antaranya Wollblume (bunga wol ), Klein Löwenfuss (kaki singa kecil), étoile du gletser (bintang gletser), étoile d'argent (bintang perak), serta immortelle des Alpes (bunga abadi Pegunungan Alpen). Yang terakhir yang paling lekat, karena karakteristik bunga edelweis yang lama membusuk membuatnya mendapat julukan bunga abadi.
Ada banyak mitos dan pengultusan pada bunga tersebut. Edelweis merupakan bunga favorit Adolf Hitler dan menjadikannya simbol nasionalisme di Jerman, namun bunga tersebut juga menjadi simbol perlawanan Austria terhadap Nazi. Mitos edelweis sebagai simbolisasi kekuatan cinta yang dipopulerkan lewat novel Edelweiss karya penulis Jerman, Berthold Auerbach tahun 1861, yang menyiratkan begitu sulitnya mendapatkan bunga tersebut sehingga menjadi hadiah yang menyiratkan bukti dari keberanian dan cinta.
Edelweis di pegunungan Alpen tidak terdaftar sebagai spesies yang terancam punah, tapi Swiss sempat memasukkannya sebagai tanaman yang dilindungi. Penyebabnya, obsesi wisatawan yang berkunjung ke Swiss yang sengaja mendaki gunung Alpen untuk mengambil bunga tersebut dari habitatnya sebagai suvenir. Tahun 1878 Swiss sempat memberlakukan larangan menggali akar tanaman edelweis dari habitatnya. Edelweis di pegunungan Alpin punya nama ilmiah Leontopodium alpinum, spesies yang berbeda dengan Indonesia.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Situ-Situ di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Charlie Chaplin Mampir di Bandung #1
NGULIK BANDUNG: Charlie Chaplin Mampir di Bandung #2
Edelweis Jawa
Adalah Prof. Caspar Georg Carl Reinwardt, ahli botani asal Jerman yang merintis pendirian Kebun Raya Bogor yang menemukan dan memperkenalkan pertama kali habitat edelweis Jawa pada dunia. Ia menemukan habitat edelweis Jawa dalam perjalanannya bertualang di Gunung Gede Pangrango. Di sana ia menemukan hamparan tanaman edelweis yang ternyata salah satu yang terhitung langka di dunia.
Majalah Algemeene Konst- En Letter-Bode, no. 55, tanggal 24 Desember 1819 menuliskan kisah perjalanan Prof. C.G.C. Reinwardt menjelajahi pegunungan dan hutan-hutan di Preanger Regenfchappen (Priangan). Ia memulai perjalanannya pada 5 Juni 1819. Tujuannya untuk menyelidikan gunung-gunung tinggi di Priangan. Reindwart memulai dengan menjelajahi kaki Gunung Salak. Ia berjalan nyaris memutari gunung tersebut, dimulai dari lereng selatan hingga menuju lereng utara hingga ia mencapai sisi selatan kaki Gunung Gede.
Reinwardt mendaki Gunung Gede hingga mencapai puncaknya, di sana ia melakukan beberapa pengamatan. Ia mencatat puncak gunung tersebut disebut Seda Ratoes, seluruhnya ditutupi semak dan tumbuh-tumbuhan. Ia melanjutkan perjalanan ke arah barat laut menuju puncak kedua Gunung Gede yang disebut warga setempat sebagai Gunung Kawa yang merupakan kawah aktif gunung tersebut. Ia kemudian turun dan melanjutkan penjelajahannya.
Dalam penjelajahannya Reinwardt mencatat keanekaragaman tanaman yang ditemuinya. Ia tidak hanya mengamati vegetasi, juga kondisi geografis tempat tanaman tersebut tumbuh. Di Gunung Gede, Reinwardt mendapati kondisi vegetasi yang khas pada ketinggian antara 5.000-7.000 kaki. Di sekitar puncak gunung ia menemukan kelompok tanaman yang terlihat berbeda sendiri, tanaman yang memiliki kekhasan tanaman yang biasa ditemukan di daerah ketinggian pegunungan Alpen.
Tahun 1823, Reinwardt menerbitkan catatan perjalanannya menjelajahi Priangan dalam buku “Over de hoogte en verdere natuurlijke gesteldheid van eenige bergen in de Preänger regentschappen”. Ia menceritakan bahwa pohon dan semak yang ada di sekitar puncak Gede, di atas ketinggian 9 ribu kaki, mirip dengan flora yang ada di utara Eropa ketimbang yang ada di wilayah dataran rendah Hindia.
Reinwardt menyebutkan sejumlah tanaman yang ditemukannya di puncak Gunung Gede. Di antaranya Kamperfuli dengan bunga kuning atau Lonicera, Hypericum yang mirip dengan yang ditemukan di Jepang, Bellis, Vlaeriana, Ranunculus, Swertia, Gentiana, serta Gnaphalum putih yang lebat.
Franz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis asal Jerman yang juga penjelajah gunung dan hutan di Hindia Belanda. Catatan penjelajahannya tersebut dituangkannya dalam buku karyanya berjudul “Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw” yang terbit tahun 1853. Junghuhn di buku itu menuliskan vegetasi unik yang ditemukan di sekitar puncak Gunung Gede. Vegetasi yang sama yang ditemukan Reindwart.
Junghuhn menyebutkan nama Soemboeng, atau Sendoro, untuk tanaman tersebut. Ia menamai tanaman itu Antennaria javanica atau Gnaphalium javanicum. Tanaman itu ada yang tumbuh berkelompok, dalam rumpun-rumpun. Ada yang terisolasi di antara pepohonan. Warna bunganya yang berhimpun membuatnya terlihat kontras dengan tanaman lainnya. Daun sempit, lurus, dengan warna hijau pucat. Bunganya berbentuk lingkaran bewarna putih. Tanaman sendoro yang muda tingginya 7 kaki, dan yang berumur tua ada yang menjulang hingga 20-25 kaki dari atas tanah. Melihat hamparan ribuan bunga sendoro, seperti melihat hamparan salju yang menutupi.
Botanis-lain menyusul melakukan penelitian lebih detil berdasarkan temuan Reindwart dan Junghuhn. Hasil penelitiannya dikumpulkan bersama penelitian botanis lainnya menjadi buku babon vegetasi di Hindia Belanda yakni “Flora van Nederlandsch Indie” yang disusun F.A.W. Miquel terbit tahun 1856.
Di buku tersebut disebutkan tanaman yang ditemukan Reinwardt dikukuhkan dengan nama ilmiah Gnaphalium javanicus REINW. Orang Sunda menyebutnya tanaman soemboeng, sementara orang Jawa menamainya Sendoro. Tanaman yang sama juga diidentifikasi dengan nama spesies Antennaria javanica seperti yang disebutkan Junghuhn, atau jenis Anaphalis oleh botanis Scultz.
Tanaman yang ditemukan pertama kali oleh Reinwardt tersebut selanjutnya dikenal dengan nama edelweis Jawa. Di buku “Flora van Nederlandsch Indie” mencatatkan sejumlah lokasi temuan tanaman tersebut. Yakni Pangerango pada ketinggian 8-10 ribu kaki, Merbaboe 6-8,5 ribu kaki, Tengger, Blambangan, serta sekitar kawah Lokkoen di Celebes. Botanis Shcultz di buku tersebut mengidentifikasikan spesie Gnaphalium viscidium yang ditemukan di Gunung Tjerimai, Waliran, Blambangan, dan Smeru sebagai Anaphalis.
Klasifikasi pengelompokan dan penamaan tanaman di Hindia Belanda terus diperbarui. Hingga pada buku “Plantkundig woordenboek voor de boomen van Java : met korte aanteekeningen over de bruikbaarheid van het hout” tahun 1894, dipergunakan nama yang lebih pas yakni Anapahlis untuk sebutan seluruh spesien Gnaphalium.
Anaphalis dideskripsikan kebanyakan merupakan tanaman yang disebut warga setempat sebagai Swndara atau Sindara (di tanaman serupa yang ditemukan di Gunung Slamet, disebut oleh warga Tegal dengan nama Sarasati), kadang juga tidak disebutkan namanya. Lalu orang Eropa di Jawa menyebutnya dengan nama Edelweis Jawa hanya karena kemiripannya karena daun yang ditutupi selaput serbuk putih.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman