NGULIK BANDUNG: Paus Biru van Garut
Perairan Indonesia sejak dulu menjadi lintasan migrasi paus biru. Kerangka paus biru asal Garut koleksi Museum Zoologi Bogor sejak 1917 menjadi saksi bisunya.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
3 Februari 2023
BandungBergerak.id—Museum Zoologi di Kebun Raya Bogor sudah lama menyimpan koleksi kerangka paus biru. Koleksi kerangka paus tersebut merupakan salah satu koleksi andalan museum yang berada di dalam kompleks Kebun Raya Bogor. Kerangka mamalia laut sepanjang lebih dari 27 meter tersebut dipajang pada lorong di jalur pintu keluar museum. Rangkaian gelagar besi menopang kerangka paus biru tersebut yang memiliki bobot mencapai 64 ton.
Papan keterangan yang memajang informasi paus tersebut di Museum Zoologi menyebutkan paus biru tersebut awalnya ditemukan mati terdampar di pantai Pameungpeuk di Garut, Jawa Barat pada Desember 1916. Sebulan kemudian bangkai paus biru tersebut dibawa ke museum yang kala itu bernama Zoologisch Museum en Laboratorium. Tulang belulang paus tersebut yang kemudian dirangkai dan dipajang di sana.
Sejumlah koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda masih merekam peristiwa tersebut. Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 21 Desember 1916, salah satu yang pertama memberitakan peristiwa ditemukannya hewan mamalia laut tersebut. Koran tersebut memberitakan temuan paus yang belum diketahui jenisnya tersebut ditemukan mati terdampar sekitar tanggal 19 Desember 1916.
Koran Bataviaasch nieuwsblad tersebut menyebutkan bangkai paus tersebut ditemukan di teluk Cilauteureun Garut. Koran tersebut memberikan rincian ukuran bangkai paus tersebut.
“Sehari sebelum kemarin, di Teluk Tjilaoeteureun di pantai selatan Preanger di Garutsche, seekor paus terdampar, panjang 26 meter, tinggi 8, dan lebar 13 meter. Monster itu sudah mati,” tulis Bataviaasch nieuwsblad, tanggal 21 Desember 1916.
Hingga saat ini Museum Zoologi Bogor masih memajang kerangka bangkai paus tersebut. Museum tersebut mencatatkan spesies paus yang kerangkanya dipajang tersebut adalah Balaenoptera musculus. Bobot hidup ikan paus biru tersebut bisa mencapai 190 ton dengan panjang maksimal bisa menembus 30 meter. Jenis mamalia laut yang terhitung paling besar di dunia tersebut menjadikan krili atau kelompok udang kecil berukurang 1-2 centimeter sebagai makanan utamanya. Paus biru bisa mengkonsumsi hingga 40 juta kril per haril
Penyematan nama sekaligus klasifikasi spesies hewan tersebut pertama kali dilakukan oleh Carl Linnaeus dalam bukunya Systema Naturae per regna tria naturae, secundum classes, ordines, genera, species, cum characteribus, differentiis, synonymis, locis pada tahun 1758. Linnaeus mengelompokkan hewan raksasa tersebut dalam kelas Mamalia dengan nama spesies Balaena musculus. Belakangan peneliti dunia menyempurnakan klasifikasi hewan tersebut dengan penamaan spesies Balaenoptera musculus untuk paus biru.
Platform The Encyclopedia of Life (EOL) yang dikembangkan Smithsonian Institution’s National Museum of Natural History tahun 2018 mendokumentasikan data teknis terkait paus biru yang dikumpulkan dari hasil penelitian di seluruh dunia. Misalnya ukuran tubuh paus biru yang pernah tercatat berjenis kelamin wanita dengan panjang 32,6 meter dan berat 190 ton.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Perayaan Natal di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 5)
NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 4)
NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 3)
Paus Biru, Terdampar atau Diburu
Sejumlah museum di dunia menyimpan kerangka paus biru. Di antaranya National History Museum of London yang menjadi yang pertama menyimpan kerangka paus biru di dunia. Museum sejarah alam di Inggris tersebut memperoleh kerangka paus biru yang terdampar akibat terperangkap laut yang tengah surut di perairan dangkal di Wexford pada 25 Maret 1891 (nhm.ac.uk).
Hewan malang tersebut kemudian dibunuh nelayan dan tubuhnya dilelang hingga yang tersisa kerangka seberat 4,5 ton yang dijual ke National History Museum seharga 250 Poundsterling. Baru pada tahun 1934 kerangka paus biru tersebut dirangkai dan dipamerkan di galeri Museum Mamalia. Pada tahun 2017 kerangka paus biru yang kemudian nama Hope tersebut di pindahkan ke area pintu masuk museum, Hintze Hall hingga saat ini.
Dunia mengenal paus biru sedikitnya dengan dua cara. Menemukannya terdampar, atau memburunya. Hewan eksotis tersebut sejak lama menjadi hewan yang paling diburu dengan banyak alasan mulai dari mengambil daging dan minyaknya, hingga alasan kebanggaan semata. Saat ini paus biru termasuk hewan yang hampir punah. Kini, seluruh jenis paus dari genus Balaenoptera masuk dalam kategori terancam dan dalam perlindungan (Apendiks I CITES). Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan paus biru masuk dalam kategori Dilindungi Penuh yang tertuang dalam Permen LHK 106 Tahun 2018.
Kendati perairan Indonesia bukan habitat paus biru, hewan tersebut kerap ditemukan terdampar di sejumlah pantai di berbagai wilayah Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat sejak 2012-2021 ditemukan 20 kejadian paus terdampar di seluruh Indonesia (https://kkp.go.id/djprl/bpsplpadang/page/4144-database-paus-terdampar). Jenisnya beragam di antaranya paus sperma, paus baleen, paus bungkuk, juga paus biru. Jumlah temuan paus yang terdampar di Indonesia juga cenderung bertambah.
Sepanjang 2022 saja Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menangani 25 kasus mamalia laut terdampar di wilayah timur Indonesia. Sebagian besar yakni 13 kejadian adalah jenis paus yang terdampar, selebihnya dugong, dan lumba-lumba. Banyaknya kejadian paus yang terdampar disebabkan wilayah perairan Indonesia, terutama perairan di wilayah timur merupakan jalur migrasi berbagai jenis paus termasuk paus biru.
Paus biru yang terdampar di Garut pada 1916 bukan peristiwa yang pertama di zaman Hindia Belanda. Harian Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad tanggal 5 Desember 1878 melaporkan temuan paus terdampar di pantai di dekat Dessa Trissik deka Brosot, Djocjacarta.
“Seekor paus telah datang ke daratan. Namun, penduduk Jawa dengan tenang menggulingkan monster itu ke laut lagi. Orang-orang berpendapat bahwa sejak tindakan Kappeyne begitu banyak hal aneh telah terdampar di Hindia sehingga monster ini dapat disingkirkan tanpa merugikan Kompeni,” demikian yang dituliskan harian Harian Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad tanggal 5 Desember 1878
Koran Sumatra-bode tanggal 29 Desember 1916, saat memberitakan temuan paus terdampar di Garut juga menyebutkan peristiwa serupa juga kerap terjadi di pesisir barat Sumatera. “Paus mati juga terdampar beberapa kali di sini di Pantai Barat. Beberapa tahun lalu di Oelak Karang dan lain waktu di Pariaman,” tulis koran tersebut.
Namun paus biru yang terdampar di Garut pada tahun 1916 menjadi peristiwa mendapat perhatian khalayak luas di zaman kolonial. Beberapa koran mendeskripsikan paus tersebut. Koran tersebut mengutip cerita Tuan Lans yang sempat menyentuhnya dan merasakan kulit paus tersebut sehalus es, dengan bola mata yang besar, dan mulut selebar 5 meter.
Menjadi Koleksi Museum
Sejumlah koran saat itu mendorong agar Museum Zoologi di Buitenzorg, kini Bogor memanfaatkan bangkai paus tersebut. Salah satunya koran Bataviaasch nieuwsblad dalam terbitannya tnggal 23 Desember 1916 saat melaporkan perkembangan penemuan bangkai paus tersebut. “Orang mungkin bertanya apakah ada gunanya (bangkai paus terdampar tersebut) bagi museum di Buitenzorg,” tulis koran tersebut.
Pada papan keterangan di Museum Zoologi Bogor menceritakan bahwa pada Desember1916 tersebut, PA Owens yang kurator ahli dari Museum Zoologicum Bogorieense mendatangi pantai di Pameungpeuk Garut untuk melakukan observasi bangkai paus biru terebut. Ia datang bersama ahali gambar dan seorang fotografer lokal.
Lalu pada 6 Januari 1917 museum memutuskan untuk membawa bangkai paus tersebut ke Bogor. Butuh 44 hari dihabiskan untuk memindahkan bangkai paus tersebut hingga tiba di Museum Zoologicum Bogorieense. Pekerjaan pengangkutan tersebut dibantu oleh JA van Oostersee dan E van Leeuweun, masing-masing adalah Pengawas dan Mandor di Dewan Pekerjaan Umum Goengoeng Glap, lalu Wedana Pameungpeuk Raden Soerialegawa, serta Pembantu Wedana dari Tjikelet Raden Danoeatmadja.
Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 9 Januari 1917 memberitakan rencana terebut. “Paus yang terdampar di Pameungpeuk akan ditempatkan di Museum Zoologi di Buitenzorg,” tulis koran tersebut.
Koran De Preanger-bode tanggal 18 Februari 1917 menceritakan sekilas proses pengangkutan bangkai paus tersebut. Bagian demi bagian bangkai paus tersebut dimuat dalam 6 gerbong kereta. Bagian tulang belakang dan tulang rusuk ditempatkan dalam 2 gerbong tertutup. Sementara sisanya mulaidari bagian kepala, rahang, dan lain-lainnya dibaringkan dalam 4 gerbong kereta yang terbuka.
“Pengiriman akan melewati Bandung pada hari Sabtu (yaitu kemarin), dalam perjalanan ke Buitenzorg, di mana kerangka akan menemukan tempat di museum,” tulis De Preanger-bode, tanggal 18 Februari 1917.
Kisah pengangkutan bangkai paus yang lebih rinci dilaporkan dalam tulisan panjang yang terbit di sejumlah koran berbahas Belanda sebulan kemudian. Koran De locomotief tanggal 12 Maret 1917 termasuk salah satu koran berbahasa Belanda kala itu yang memuat artikel panjang proses pengangkutan bangkai paus tersebut dari Pameungpeuk menuju Museum Zoologi di Buitenzorg.
Mayor Ouwens, demikian koran De locomotief menuliskan nama kurator Museum Zoologi di Buitenzorg, yang bertanggung jawab dalam proses mengangkut bangkai paus tersebut. Reuter, asistennya, yang bertugas memotong bagian demi bagian paus agar bisa diangkut menggunakan kereta, sementara Ouwens yang selanjutnya bertugas merakit kerangka bangkai paus tersebut setibanya di Museum Zoologi di Buitenzorg.
Tubuh paus tersebut memang luar biasa besar. Koran De locomotief menuliskan, tulang paus tersebut saja memiliki berat 6.390 kilogram. Lalu tulang hidung paus tersebut memiliki panjang 4 meter, bagian rahang bawah 5,5 meter, lebar ekor 5,6 meter, bagian lengan paus atau fin memiliki panjang 3,5 meter. Bilah bahu milik paus tersebut sebesar meja. Bangkai paus tersebut memiliki 65 ruas tulang belakang, dengan setiap ruas sebesar baling-baling perahu.
Membawa bangkai paus tersebut bukan perkara mudah. Dengan ukuran bagian kepala paus yang besar membuat sejumlah jembatan kereta terpaksa dibongkar sementara pagar pembatasnya agar kereta yang mengangkutnya bisa melintas. Bau menyengat pun menguari dari bangkai paus tersebut di sepanjang kereta melintas. Penduduk setempat sempat ogah membantu mengangkut walau pun di iming-imingi uang. Dengan bantuan kepala desa akhirnya penduduk bersedia membantu
“Dan museum di Buitenzorg memiliki contoh langka, memiliki kerangka ikan paus, yang jika saya mengerti dengan benar, pastilah yang terbesar yang dipajang di mana saja di museum. Dengan itu Buitenzorg juga menjadi daya tarik yang lebih kaya. Gudang khusus akan dibangun di taman untuk menampung hewan tersebut. Balaenoptera Indica beristirahat dengan tenang di sana! Untuk kepentingan sains..,” tulis De locomotief, 12 Maret 1917.
Paus Terdampar Masih Terjadi
Obituari Mayor PA Ouwens yang terbit di koran De Preanger-bode tanggal 9 Maret 1922 menceritakan kisah hidup kurator yang menjadi tokoh dibalik pengangkutan bangkai paus biru tersebut Ouwens memulai kari sebagai tentara, tapi di penghujung hidupnya dikenal sebagai kurator museum zoologi setelah 16 tahun bekerja di sana.
Museum Zoologi kala itu populer di Hindia Belanda karena koleksi beragam jenis hewan yang diawetkan yang dipajang di sana. Tidak hanya penduduk Eropa yang berkunjung, juga warga pribumi. Ouwens yang mengatur penyimpanan koleksi museum tersebut, termasuk juga mengumpulkan sebagian koleksi tersebut.
Sejak berkarier di militer, Ouwens sudah menjadi kolektor. Bersama rekannya, Haeckel, keduanya mengoleksi reptil, mengumpulkan spesimen serangga dan kerang. Ouwens sempat mengunjungi Banda pada 1909 untuk mengumpulkan berbagai jenis burung, ikan, dan makhluk laut lainnya, termasuk janin ikan paus sperma. Pada 1911 ia mengunjungi pantai barat Sumatera untuk mengumpulkan sejumlah mamalia, burung, monyet, dan antelop gunung. Ouwens kadang membawa spesimen koleksi museum tersebut dalam keadaan hidup.
Puncaknya Ouwens harus melewati berbagai macam kesulitan untuk mengangkut bangkai paus biru seberat hampir 6.400 kilogram dengan menempuh jarak 1.500 kiloemter dari Pameungpeuk menuju Buitenzorg. Tulang belulang dari bangkai paus tersebut dibersihkan dan dirangkainya kembali dan hingga kini menjadi koleksi andalan Museum Zoologi Bogor hingga kini.
Peristiwa terdamparnya paus pun beberapa kali masih terjadi di Hindia Belanda. Koran De Preanger-bode tanggal 1 Oktober 1920 memberitakan terdamparnya paus di Pantai Pantelaboe dekat Perbaoengan. Paus tersebut dilaporkan memiliki panjang 14 meter. Penduduk sempat menyeret bangkai paus tersebut ke Perbaoengan.
Kemudian Bataviaasch nieuwsblad tanggal 16 September 1921 melaporkan terdamparnya paus sepanjang 19 meter di pantai di Sitoebondo. Selanjutnya harian De Indische courant tanggal 17 Oktober 1923 memberitakan terdamparnya paus dengan panjang 11 meter, tinggi 1,5 meter, dan lebar 2,5 meter di Purwodadi.
Hingga saat ini masih kerap ditemukan paus terdampar di pantai-pantai di sekujur Indonesia dalam perjalanan migrasinya melayari perairan dunia.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman