• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 5)

NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 5)

Tirto Adhi Soerjo meninggal 7 Desember 1918 di Batavia. Jurnalis pertama Indonesia di zaman kolonial.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Foto lukisan potret Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) koleksi H.C. Beynon. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.n)

25 November 2022


BandungBergerak.id—Satu demi satu seluruh aset NV Medan Prijaji di Bandung terus dilelang. Pengadilan menunjuk firma Franzen & Co. melakukan pelelangan. Iklan di koran De Preanger-bode tanggal 22 Agustus 1912 merinci aset sitaan yang dilelang tersebut. Diantaranya lemari, beberapa meja dan meja tulis, pulpen, kertas, berbagai jenis tinta, pengikat kertas, sabun, buku, lukisan, tongkat dari gading, berbagai jenis jam, kursi, hingga piring. Tentu saja peralatan percetakan seperit mesin pres, mesin pemotong kertas, serta mesin tik merek The Soltir.

Koran De Preanger-bode tanggal 20 September 1912 memberitakan koran Medan Prijaji edisi tanggal 20 dan 21 Agustus 1912 adalah koran terakhir yang terbit sebelum mesin cetak milik NV Medan Prijaji berganti pemilik. Eksekusi lelang mesin cetak koran Medan Prijaji tersebut dilakukan juru sita pada 24 Agustus 1912.

Medan Prijaji sudah berhenti terbit, tapi tulisannya masih menjadi bahasan sejumlah koran berbahasa Belanda. Di tengah jerat hukum dan bisnis koran yang morat-marit, Medan Prijaji tidak kehilangan taji. Koran yang digawangi Tirto Adhi Soerjo tersebut tetap menerbitkan tulisan yang tajam.

Koran De Preanger-bode tanggal 29  Oktober 1912 memberitakan surat terbuka yang dilayangkan perhimpunan Ambtenaren Binnenlandsch Bestuur (Pegawai Negeri Sipil) di Hindia Belanda yang meminta Menteri Koloni melakukan penyelidikan pada tuduhan praktek suap dibalik pengangkatan bupati seperti yang dituliskan oleh Medan Prijaji yang dikutip oleh Koloniaal Tijdschrift edisi September 1912.

Medan Prijaji menuliskan banyak bupati yang terlilit hutang karena saat mencalonkan diri menjanjikan akan membayar 100-200 Gulden setiap bulan pada pejabat sipil Belanda setempat. Perhimpunan Pegawai Negeri Sipil pemerintah Hindia Belanda meminta penyelidikan kasus tersebut dan menindak tegas pelakunya yang dinilai telah mencoreng nama baik pegawai sipil Hindia Belanda.

Kasus hukum yang menjerat Tirto Adhi Soerjo mencapai puncaknya. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 21 Oktober 1912 memberitakan pengadilan Batavia menjatuhkan hukuman pidana pada Tirto Adhi Soerjo, 32 tahun, selaku pemimpin redaksi Medan Prijaji atas perkara delik pers. Koran Bataviaasch nieuwsblad di tanggal yang sama memberitakan kasus yang melibatnya adalah tulisan di Medan Prijaji yang terbit tanggal 17 Mei 1912 berjudul "Klakoean jang ta' patut". Bataviaasch nieuwsblad tanggal 27 Desember 1912 memberitakan Tirto Adhi Soerjo akhirnya dijatuhi hukuman 6 bulan penjara di tempat pembuangan dengan dakwaan pencemaran nama baik.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 4)
NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 3)
NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 2)
NGULIK BANDUNG: Palagan Medan Prijaji di Bandung (Bagian 1)

Berseteru dengan Douwes Dekker

Sekembalinya dari hukuman pembuangan Tirto Adhi Soerjo masih harus berhadapan dengan pengadilan. Kali ini bukan sebagai terdakwa tapi sebagai saksi yang membawanya berseteru dengan Douwes Dekker.

Kasus tersebut bermula saat Tirto Adhi Soerjo masih berkutat dengan perkara gugatan pidana dan perdata yang menyebabkan ditutupnya Medan Priaji. Douwes Dekker kala itu menulis di koran Bataviaasch nieuwsblad yang menyinggung Tirto Adhi Soerjo. Belakangan saat kasus tersebut berlanjut di pengadilan pada Februari 1913, Tirto Adhi Soerjo mencabut gugatan tersebut.

Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 11 Februari 1913 memberitakan Tirto Adhi Soerjo yang datang sebagai saksi kasus yang menjerat Douwes Dekker memutuskan mencabut gugatannya. Hakim membolehkan mencabut gugatan tersebut dengan syarat Tirto Adhi Soerjo membayar biaya perkara. Tirto Adhi Seorjo sempat meminta Douwes Dekker membayari biaya perkara yang dibebankan untuk mencabut gugatan tersebut. Douwes Dekker menolaknya. Tirto Adhi Soerjo kemudian mencari pinjaman uang dari pengunjung pengadilan untuk membayar biaya perkara tersebut sehingga gugatannya pada Douwes Dekker  sah untuk dicabut.

Koran De Preanger-bode tanggal 12 Februari 1913 memberitakan perkara yang menjerat Douwes Dekker tersebut bukan hanya akibat gugatan Tirto Adhi Soerjo. Douwes Dekker  dijerat dakwaan hasutan kebencaian dan penghinaan yang ditujukan pada pemerintah Hindia Belanda gara-gara tulisannya yang terbit di koran berkaitan dengan aktivitasnya pada organisasi Indische Partij yang didirikannya bersama Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat. Hakim kemudian menjatuhkan hukuman 2 bulan penjara pada Douwes Dekker dengan delik pers.

Ruangan kecil yang dindingnya ditutupi koran dan poster di sebuah gedung, mungkin di Batavia sekitar tahun 1918. (Koleksi KKITLV 13488, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Ruangan kecil yang dindingnya ditutupi koran dan poster di sebuah gedung, mungkin di Batavia sekitar tahun 1918. (Koleksi KKITLV 13488, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Menghembuskan Nafas Terakhir di Rumah Sakit

Tirto Adhi Soerjo belum patah arang. Namun yang dilakukannya sering berbalas cemoohan. Koran De Expres tanggal 20 Oktober 1913 memberitakan Tirto Adhi Soerjo yang mengganti panggilan Raden Mas menjadi Pangeran kini tinggal di Bandung setelah menjalani hukumannya. Koran tersebut memberitakan Tirto Adhi Soerjo membantu iparnya, Pangeran Kesultanan Batjan untuk mempromosikan organisasi Pan Islam yang membuka cabang di Hindia Belanda dengan menuliskan artikel mengenai organisasi muslim lintas negara tersebut.

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 27 Oktober 1913 memberitakan surat terbuka Tirto Adhi Soerjo yang ditujukan pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar tidak tidak ikut campur dalam kegiatan yang menekan aktivitas organisasi Sarikat Dagang Islam dan Sarikat Islam. Kendati menayangkan surat terbuka itu, koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? mencemoohnya dengan menyebutnya omong kosong.

Setahun tak terdengar kabar, Tirto Adhi Soerjo diberitakan hilang setelah pindah kembali ke Buitenzorg setelah hampir setahun tinggal di Bandung. Koran De Preanger-bode tanggal 3 Februari 1914 memberitakan kerabat Tirto Adhi Soerjo mencari keberadaannya.

Tirto Adhi Soerjo kemudian benar-benar tak ketahuan lagi kabarnya. Bertahun-tahun kemudian namanya tak lagi disebutkan. Orang-orang mulai melupakannya.

Tapi dia tidak sepenuhnya dilupakan. Kabar terakhir tentang Tirto Adhi Soerjo adalah kabar duka. Dokumen semi arsip Overzicht van de Inlandsche Pers nomor 49 tahun 1918 menukil berita pendek yang terbit di harian Neratja tanggal 7 Desember 1918. Tirto Adhi Soerjo meninggal dunia tanggal 7 Desember 1918 karena sakit.

“Dengan sangat menyesal atas kematian, pada tanggal 7 Desember, pemilik jurnalisme Inlandsche, R.R.M. TirtohadisoerJo, di RS Glodok. Almarhum, yang mencapai usia 52 tahun, adalah bapak dari banyak surat kabar harian dan mingguan, seperti: Soeloeh Hindia, Pewarta Betawi dan Medan Prijaji. Setelah majalah terakhir menghilang, dia dan R. Goenawan menjadi manajer hotel Samirono, di mana dia dirawat sampai sesaat sebelum kematiannya,” kutip Overzicht van de Inlandsche Pers (1918).

Dalam Kenangan Sekondan

Sebulan kemudian sejumlah koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda menerbitkan obituari Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Koran De locomotief tanggal 14 Januari 1919 menerbitkan tulisan panjang dengan judul “Raden Mas Tirto Adi Soerjo”. Koran itu menyebutnya sebagai jurnalis pribumi pertama di Hindia Belanda. Tirto Adi Soerjo dikuburkan di makam sederhana di Manga Doewa di Batavia.

De locomotief mengutip artikel yang pernah terbit di majalah Sinar Hindia yang diterbitkan ulang oleh majalah Poetri Hindia tanggal 29 Juli 1909. Kala itu Tirto Adi Soerjo diangkat menjadi Direktur NV Medan Prijaji, posisi yang dipegangya setelah 15 tahun berkarier sebagai jurnalis. Tulisan tersebut meringkas pengalaman Tirto Adhi Soerjo saat menjadi jurnalis.

“Apa yang sepuluh, seratus atau lebih rekan senegaranya tidak dapat capai, Tirto Adi Soerjo melakukannya sepenuhnya secara mandiri, dengan tenaga kerja yang menakjubkan yang dimilikinya. Dia bekerja untuk kemajuan bangsanya,” tulis De locomotief, 14 Januari 1919.

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? yang terhitung paling rajin memberitakan kiprah Tirto Adi Soerjo juga menerbitkan obituari untuk sekondannya itu. “Raden Mas Tirtoadisoerjo dikenal jauh di atas segalanya sebagai orang yang suka menolong. Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, pikirannya menjadi gelap. Dalam banyak hal dia adalah dan masih menjadi contoh bagi rekan-rekannya,” tulis koran itu, 14 Januari 1919.

* Tulisan kolom NGULIK BANDUNG,  merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//