Bagaimana Pendidikan Kita Bisa Maju kalau Para Dosennya Tenggelam dalam Tugas Administrasi?
Para dosen disibukkan mengisi data-data tridarma ke dalam banyak aplikasi. Kualitas pendidikan tersisihkan oleh tugas-tugas administrasi.
Penulis Awla Rajul13 April 2023
BandungBergerak.id - Dalam beberapa hari belakangan ini Rana Akbari, dosen swasta tetap Telkom University, lebih sering membaca-baca kebijakan baru bahwa para dosen diharuskan menginput data Tridarma Penilaian Angka Kredit (PAK) ke aplikasi Sijali/Sijago. Kebijakan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Ditjen Dikti Ristek) ini belakangan diprotes para dosen melalui petisi.
Rana turut terdampak kebijakan pengisian PAK. Saat ini ia memegang jabatan sebagai lektor sejak 2020. Ia harus menginput data terkait jabatannya itu sejak 2020 hingga Desember 2022 ke aplikasi Sijali/Sijago (Sistem Jabatan Informasi Akademik), mulai dari daftar kehadiran, bukti-bukti membimbing skripsi, jurnal ilmiah, bukti-bukti pengabdian masyarakat, dan lainnya.
Pengumpulan berbagai jenis dokumen tersebut bukanlah perkara mudah. Ia harus menyisir daftar hadir setiap kelas di setiap semester yang ia ajar. Syukurnya sistem internal di kampusnya menyimpan seluruh dokumen itu. Namun tetap saja menambah beban pekerjaannya.
Sementara data yang sudah terkumpul harus diinput secara manual. Rumit. Di sisi lain, pengisian PAK harus selesai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, yakni 15 April 2023.
Keterlambatan pengisian PAK adalah kerugian bagi dosen, karena angka kredit tridarmanya harus dimulai dari nol lagi, walaupun sebelumnya ia sudah banyak menjalankan tridarma perguruan tinggi. Angka kredit dosen dibutuhkan untuk kepentingan kenaikan jabatan (JJA).
Anehnya, sebelumnya para dosen telah biasa rutin mengisi data serupa ke aplikasi Sister (Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi) yang juga buatan Ditjen Dikti Ristek.
“Pertanyaan kami berikutnya terus kenapa harus dibikin lagi Sijali ini? Otomatis yang tadinya Sister itu terintegrasi malah jadi masing-masing lagi, sporadis. Kan Sister sudah bagus,” kata Rana Akbari saat dihubungi BandungBegerak.id, Selasa (11/4/2023).
Keberadaan aplikasi baru Sijali/Sijago yang menggantikan aplikasi Sister mestinya mempermudah tugas administrasi para dosen. Namun yang terjadi justru sebaliknya, membuat para dosen tenggelam dalam pekerjaan administrasi. “Jadi buat apa ada aplikasi kalau pekerjaan kita tambah berat,” tegas Rana.
Persoalan aplikasi ini menjadi kekhawatiran tersendiri. Jika seluruh kementerian berlomba membuat aplikasi yang tidak terintegrasi, maka dosen yang akan kesulitan. Belum lagi, para dosen di setiap internal kampus juga memiliki aplikasi-aplikasi yang harus mereka isi.
Menurut Rana, kementerian jangan cuma bisa membuat aplikasi baru tanpa memikirkan migrasi data dari aplikasi lama ke aplikasi baru tersebut. Jangan sampai masalah migrasi data ini dibebankan pada dosen yang sudah sibuk dengan tugas-tugas administrasi.
Rana menyinggung bahwa beban dosen selama ini sudah berat. Belum lagi dengan isu gelap pendidikan yang menjadi sorotan belakangan ini, mulai dari korupsi penerimaan mahasiswa baru, kualitas penelitian yang kalah dengan negara-negara lainnya, obral guru besar, dan praktik-praktik gelap lainnya di perguruan tinggi.
Di tengah masalah tersebut, ironisnya para dosen terus terbelit persoalan administrasi. Bagaimana dosen-dosen di Indonesia mau meningkatkan kualitas kalau mereka sendiri direpotkan dengan urusan-urusan administrasi?
Baca Juga: Ketika Kepentingan Publik Tunduk pada Nama Baik Pejabat
Buruh dan Mahasiswa Bandung Raya Menuntut Pencabutan UU Cipta Kerja ke DPRD Jabar
Sebelum Pagebluk, Ada Ratusan Ruang Kelas di Kota Bandung yang Rusak Berat
Petisi Protes Para Dosen
Rana berharap petisi keberatan para dosen terhadap pengisian data Tridarma Penilaian Angka Kredit bisa sampai ke Mendikbud Ristek. Rana setuju bahwa poin-poin di petisi yang digagas dosen Benny D. Setianto itu sejalan dengan keluhan-keluhan kebanyakan dosen.
Petisi tersebut menuntut Mendikbud Ristek agar memahami bahwa pengisian data di aplikasi Sijago/Sijali dapat mematikan karier dosen-dosen di Indonesia. Dalam petisi yang telah ditandatangani sebanyak 8.488 orang ini (diakses pada 6.10 WIB, Kamis 13/4/2023), disebutkan bahwa beban administratif ini bisa membuat mutu dosen dan pendidikan tinggi di Indonesia merosot.
Petisi meminta Mendikbud Ristek untuk membatalkan tenggat waktu 15 April 2023 (terkait Kebijakan Penyelesaian Penilaian Angka Kredit), menghapuskan ancaman sanksi terhadap dosen (terkait kebijakan tersebut), mengaudit aplikasi-aplikasi Ditjen Dikti Ristek yang terlalu banyak dan membebani dosen, serta melakukan Reformasi Birokrasi Pendidikan sekarang juga.
Kebijakan baru yang ditelorkan Ditjen Dikti Ristek itu dinilai tidak adil dan tidak masuk akal. Aplikasi Sijago/Sijali tidak terintegrasi dengan aplikasi sebelumnya dan berbeda-beda penggunaannya di tiap wilayah. Misalnya, lembaga layanan Dikti wilayah 3 Jakarta menggunakan aplikasi Sijali, dan untuk wilayah 6 Jawa Tengah menggunakan Sijago.
“Bila dosen tidak menginput kembali data-data Tridarma selama bertahun-tahun itu ke Sijali/Sijago hingga 15 April 2023, maka Dikti akan menjatuhkan sanksi keras: semua kredit Tridarma yang selama ini telah diperoleh akan dianggap nol/tidak ada,” demikian bunyi petisi ini.
Selain itu, kebijakan ini dinilai tidak tepat sasaran karena diberlakukan untuk semua dosen, termasuk dosen perguruan tinggi swasta. Kebijakan baru perihal PAK ini berdasarkan Permen PAN-RB Nomor 1 tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional. Pada pasal 1 ayat 10 disebutkan bahwa Pejabat Fungsional adalah ASN yang menduduki JF di instansi pemerintah. Namun Dirjen Dikti Riset malah memberlakukan kebijakan anyarnya untuk semua dosen ASN maupun swasta.
Bahkan kebijakan ini dinilai cacat administratif karena muncul tidak sesuai hirarki perundang-undangan. Seharusnya surat edaran dibuat setelah terbitnya peraturan yang mendasarinya.
“Dalam kasus ini, surat edaran telah lebih dulu ada sebelum peraturan yang mendasarinya. Yaitu, Surat Edaran 638/E.E4/KP/2020 tertanggal 23 Juni 2020, yang terbit di tahun yang lebih awal dari Permen PANRB No.1/2023 dan Surat Dirjen Diktiristek No 0403/E.E4/KK.00/2022 tertanggal 25 Mei 2022. Dengan demikian, terdapat cacat administratif,” demikian kata petisi.
Proyek Aplikasi
Selain soal tenggat waktu pengisian PAK yang singkat, penggagas petisi dan dosen dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Benny D. Setianto menuturkan Dikti terlalu sering mengeluarkan aplikasi baru yang tidak terintegrasi dengan aplikasi lama.
“Setiap kali ada aplikasi baru kita itu harus unggah data mulai dari nol lagi,” ungkap Benny D. Setianto.
Keberadaan aplikasi Sijali/Sijago membuat para dosen harus mengerjakan tugas administrasi dari awal lagi, pekerjaan yang sebenarnya telah dilakukan melalui aplikasi Sister. Terlambat mengisi data resikonya adalah tunjangan sertifikasi di bulan berikutnya akan hangus.
“Yang kita resah di Sijali/Sijago itu dosen disuruh untuk meng-upload seluruh kegiatan dari sejak naik pangkat terakhir, dan itu sangat bervariasi masing-masing dosen sampai kegiatan di Desember 2022, itu termasuk bukti-buktinya,” lanjutnya.
Jenis data yang diinput pun lebih rinci. Contohnya dalam bimbingan skripsi, bukan hanya nama mahasiswa yang dibimbing saja yang harus diinput ke dalam aplikasi, melainkan dengan skripsi berikut dengan bukti-bukti lainnya.
Benny sendiri terakhir mengurus kenaikan pangkat pada 2012. Artinya, ia harus menginput seluruh data sejak 2012 hingga akhir Desember 2022 ke aplikasi Sijali/Sijago.
“Ini kan gak masuk akal. Terutama juga karena ada ancaman kalau tidak meng-upload itu dianggap hangus. Kalau dinolkan, dihanguskan semua terhadap kerja kami selama ini ya gimana gitu lo,” kata Benny ketika dihubungi BandungBergerak.
Aplikasi Berbeda dari Kementerian yang Sama
Persoalan lainnya, kebijakan input data dosen di aplikasi baru ini berasal dari kementerian yang sama, yaitu Mendikbud Ristek. Benny menilai ada indikasi koordinasi di internal yang kurang baik. Idealnya, jika ada proyek aplikasi baru dan dari kementerian yang sama, seharusnya disertai dengan integrasi data secara bertahap yang dilakukan oleh pihak kementerian sendiri.
Adapun terkait dosen swasta yang juga harus menginput data, lanjut Benny, ia menduga karena dosen swasta terutama yang sudah sertifikasi dosen dan mendapatkan tunjangan setiap bulan. Hal ini yang harus dipertanggungjawabkan mengingat tunjangan sertifikasi dosen berasal dari APBN.
Benny dan kawan-kawan selanjutnya akan melakukan evaluasi terhadap petisi yang digagasnya. Rencananya pihaknya akan beraudiensi langsung dengan Menteri Mendikbudristek atau ke DPR Komisi 10.
Ia menganggap, beban administrasi para dosen sebagai bentuk tekanan dari kekuasaan terhadap dunia pendidikan. “Kalau dulu zaman Soeharto itu menekan dosen dengan kekuasan, kekerasan, sekarang itu diiming-iming gitu,” ungkapnya.