Ramadan Selfie
Maraknya penggunaan media sosial membuat aktivitas Ramadan yang sakral agaknya menjadi ajang pamer dan trendi.
Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
21 April 2023
BandungBergerak.id - Hadirnya bulan Ramadan di era media sosial justru membuat kita gemar memamerkan aktivitas ibadah dengan melakukan selfie (swafoto). Mulai dari aksi imam salat tarawih secara siaran langsung (live streaming) di TikTok dengan harapan mendapatkan saweran (gift); sampai edaran aktivitas Pesantren Ramadan di Provinsi Sumatera Barat yang mewajibkan guru, siswa untuk melakukan absensi online salat (selfie dan foto bersama) tiga kali (subuh, saat kegiatan pesantren ramadan dan tarawih) dalam sehari.
Walhasil, rasanya tak afdal bila sebelum membaca alquran satu, dua, tiga juz dibuat status, ibadah rutin, salat tarawih ke masjid difoto, lalu diunggah di laman media sosial, buka puasa tidak lupa melakukan selfie sebelum berdoa dan menyantapnya.
Kita sudah semakin akrab menyaksikan fenomena semacam ini. Anak-anak muda pergi ke restoran. Mereka memesan hidangan. Sambil menunggu pesanan datang, mereka sendiri sibuk memotret diri sendiri. Selfie begitu istilahnya.
Ketika pesanan datang, mereka juga tak langsung makan. Mereka sibuk memotret makanan atau minuman yang tersaji. Bukan dengan kamera melainkan dengan smartphone. Bahkan beberapa di antara mereka meminta para pelayan restoran untuk memotret.
Pada bulan Ramadan, bukannya membaca doa begitu waktu berbuka, tetapi meng-upload dulu hasil foto ke akun media sosial mereka. Bisa ke Twitter, Facebook, Instagram. Kita menyebutnya dengan istilah update status. Baru setelah itu mereka menyantap hidangan.
Sebagian kalangan menilai wajar aksi anak-anak muda itu. Tapi ada juga yang menilai sudah berlebihan, silakan kalau Anda memiliki penilaian tersendiri.
Menurut Sherry Turkle, professor psikologi dari Massachusetts Institute of Tecnology, selfie merupakan cara seseorang merekam momen untuk diperlihatkan kepada orang lain. Jadi kalau dulu Descartes filsuf Perancis mengatakan “I think therefore I am” sekarang dengan adanya internet dan media sosial berubah menjadi “I share therefore I am”.
Berbagi, termasuk berbagi foto, cerita adalah sesuatu yang baik-baik saja. Namun, yang perlu mendapat perhatian sebagian besar remaja cenderung narsis kalau mengalami depresi.
Selain itu sisi aktivitas sosial mereka cenderung rendah. Itu sebabnya mereka menghabiskan banyak waktu di dunia maya. Jadi betul kata pepatah klasik, “sesuatu yang berlebih-lebihan itu tidak baik” (Rhenald Kasali, 2018:143-46).
Hikayat Narsis
Maraknya penggunaan media sosial membuat aktivitas Ramadan yang sakral agaknya menjadi ajang pamer dan trendi. Ini terlihat dari jamaah salat, pesantren Ramadan ber-selfie, live video yang diunggah ke Twitter, Facebook, Instagram, TikTok.
Dalam kacamata sosiologi, selfie diartikan sebagai aksi narsistik untuk mengabadikan gambar diri sendiri melalui sebuah ponsel atau kamera digital. Menurut Charoensukmongkol, selfie merupakan suatu aktivitas yang dilakukan individu dimana pada salah satu faktor pembentuknya disebabkan oleh faktor psikologis (narsisme).
Namun bagi Sartika, selfie didefinisikan sebagai tindakan menampilkan diri yang dilakukan oleh setiap individu untuk mencapai citra diri yang diharapkan. Tidak ada tempat yang lebih sesuai dari pada selfie, yang merupakan cerminan digital langsung dari penciptanya.
Dengan demikian, narsis sendiri menurut adalah orang-orang yang memiliki pandangan berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan mereka terfokus dengan berbagai fantasi mengenai keberhasilan, mereka menghendaki perhatian dan pemujaan berlebihan dan yakin bahwa mereka adlah orang-orang yang istimewa (Siti Masitoh Khoirunnisa [Editor], 2020:180).
Ingat selfie merupakan upaya peneguhan “aku” atas tak terjangkaunya “aku murni.” Kita bisa mengambil jalan cerita lain tentang seorang pemuda tampan yang hidup dalam mitos Yunani Kuno bernama Narcissus.
Kegemaran Narcissus memandangi wajahnya yang tampan di permukaan kolam hingga ia terpeleset jatuh dan mati tenggelam sehingga namanya kemudian diabadikan untuk merepresentasikan mereka yang terlampau memuja diri—narsis—dapat di dekonstruksi betapa sesungguhnya Narcissus adalah sosok yang begitu peka akan hilangnya "Aku".
Dengan begitu, aktivitasnya memandangi wajah di permukaan kolam adalah upaya Narcissus untuk mempertahankan perasaan menjadi aku, bukannya suatu aktivitas pemujaan diri.
Kenyataan bahwa kita tak pernah bisa melihat diri kita menimbulkan keterasingan dan perasaan seolah diri adalah arwah tembus pandang yang tak bisa dilihat orang-orang. Kita selalu melangkah dalam kesunyian berikut kewaswasan dan selalu mengkhawatirkan ketiadaan diri kita di dalam dunia, terutama di antara orang-orang.
Ketakutan nyata dalam kondisi ini adalah ketakutan akan keterbuangan dan ketidakacuhan lingkungan karena kita selalu mendapati diri yang hilang dan merasa tak diperhatikan. Dari sinilah aktivitas berkaca menjadi mungkin, bahkan lebih jauh: melakukan selfie. Aktivitas berkaca tidak hanya semata-mata bisa dimaknai sebagai aktivitas membenahi rambut, memastikan tak ada yang salah di wajah (misal ada kotoran yang menempel), tetapi lebih dari itu: upaya untuk meneguhkan keberadaan diri kita.
Dalam pengkajian psikologi eksistensial maupun psikoanalisis radikal, konteks berkaca, swafoto menjadi relevan. Aktivitas ini dimaknai sebagai upaya penemuan aku murni yang sebetulnya takkan pernah terjangkau, baik dalam lompatan kesadaran yang sekejap “menghadirkan” dan “mengenyahkan” perasaan menjadi aku, ataupun dalam keakuan (diri) yang tak pernah ditemui dalam psikoanalisis radikal.
Ketidakterjangkauan aku murni menyebabkan manusia sibuk mencari “aku-aku yang lainnya”. Aku-aku yang lainnya ini dapat ditemui dalam setiap kali aktivitas berkaca, swafoto. (Wahyu Budi Nugroho, 2021: 169)
Baca Juga: Ramadan dalam Pusaran Komodifikasi Agama
Jejak dan Karya Dindin Jamaluddin, Belajar dan Mengabdi Sepanjang Hayat
Masjid Swafoto
Kekuatan Medsos
Kini goyangan-goyangan erotis, dangdutan bersama, mengumbar foto-foto berwajah tua renta, bahkan foto selfie sudah mengitari hampir sebagian besar pengguna media sosial dalam berinteraksi satu sama lain.
Perkembangan teknologi media telah memengaruhi cara berperilaku masyarakat. Secara kasat mata kita bisa mengamati bahwa betapa perkembangan teknologi dan media komunikasi mampu merombak dan mengubah perilaku manusia modern nan rasional.
Aktivitas sosial masyarakat maya banyak bersentuhan dengan dunia aplikasi jejaring seperti TikTok, FaceApp, Smule hingga Boomerang. Aplikasi-aplikasi ini merupakan candu bagi masyarakat modern di mana hampir setiap saat aplikasi ini digunakan oleh pengguna media sosial di jagat raya dunia maya.
Rupanya, riak-riak panorama perilaku yang ditampakkan oleh manusia-manusia modern hari ini mampu membentuk ragam perilaku sosial baru dalam masyarakat. Keasyikan menggiring orang-orang mengalami ketergantungan pada citraan media di mana mereka seolah tidak bisa tenang tanpa eksis dan narsis di medan masyarakat maya.
Fenomena ini dibaca oleh Anthony Giddens, salah seorang teori sosiologi modern, bahwa dunia modernitas adalah “kultur resiko”, ia bisa membawa hal positif sekaligus juga akibat negatif. Bagi Giddens menggambarkan modernitas sebagai sebuah lokomotif yang mengawal perubahan yaitu sebuah mesin yang berlari cepat dengan tenaga yang besar dan melaju tanpa kendali.
Hadirnya media online seperti game dan aplikasi-aplikasi jejaring sosial lainnya adalah contoh nyata perubahan ini. Media mampu “menjinakkan tubuh" manusia-manusia modern, yakni mengguncang dan membuat hidup menjadi tunggang-langgang, di luar kendali individu seperti kebiasaan merunduk. (Mahyuddin, Dinul Fitrah Mubaraq, 2019:47, 51)
Padahal salah satu hikmah dari puasa itu umat Islam diharapkan dapat mengontrol diri dari banyaknya aplikasi selfie yang ditawarkan berbagai perusahaan media sosial.
Pada hakikatnya puasa itu perintah Allah SWT agar kita dapat mengendalikan nafsu seseorang dari perilaku narsis. Ingat, ibadah puasa yang dilaksanakan umat Muslim selama Ramadan dengan menahan makan, minum, dan hubungan seksual dapat dimaknai untuk menahan perilaku narsis.
Puasa seyogyanya membangun keintiman seorang makhluk dengan Sang Khalik, mencapai ketakwaan, memompa produktifitas, menyehatkan, menyejahterakan, dan membangun solidaritas. Pasalnya, saat ibadah puasa seseorang berinteraksi secara langsung, jujur dan spesial dengan Allah Swt, sehingga mendapat ridha-Nya.
Sejatinya saat berpuasa seseorang mengurangi jadwal dan jumlah selfi, sehingga lebih sehat, perut lebih stabil. Banyak waktu untuk berkarya dan dapat merasakan betapa penderitaan menahan lapar dan haus, hingga terketuk hatinya untuk berbagi sebagai rasa solidaritas kemanusiaan.
Dengan demikian, bila kita menjalankan ibadah dengan sungguh-sungguh, mendalam, secara menyeluruh (kafah) niscaya tak ada praktik yang menjadikan Ramadan, aktivitas membaca alquran, pergi ke masjid, ikut pesantren kilat sebagai ajang swafoto, melakukan perbuatan tak terpuji dengan aksi Imam salat tarawih yang divideokan, edaran aktivitas Pesantren Ramadan di Sumatera Barat yang di-upload ke media sosial, disebar, hingga menjadi viral dan menuai polemik.