• Berita
  • Nobar Dampak UU Cilaka di Orbital Dago

Nobar Dampak UU Cilaka di Orbital Dago

Film "Karpet Merah Oligarki" membedah pengaruh UU Cilaka dan Minerba yang merugikan ketenagakerjaan dan alam.

Diskusi film Karpet Merah Oligarki di Orbital Dago, Bandung, Minggu, (24/10/2021). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul25 Oktober 2021


BandungBergerak.idSeorang pegawai kontrak yang dulunya bekerja di salah satu kantor kedutaan asing di Jakarta, kini menjadi editor buku. Ia selesai dari kontrak karena pengaruh aturan baru soal ketenagakerjaan yang berasal dari Undang-undang Cipta Kerja, undang-undang kontroversial yang sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja (Cilaka).

Ada juga seorang buruh garmen yang di-PHK oleh perusahaannya, namun perusahaan menawarkan pesangon yang tidak sesuai dengan semestinya. Ia bersama teman-teman buruh yang di-PHK membawa masalah ini ke meja hijau.

Sekelumit persoalan ketenagakerjaan itu mencuat setelah setahun UU no. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan. Permasalahan ini diungkap dalam film dokumenter Watchdoc berkolaborasi dengan Greenpeace berjudul Karpet Merah Oligarki. Film ini diputar Suar Nusantara bersama Solar Generation di Orbital Dago, Bandung, Minggu, (24/10/2021).

Penayangan tersebut merupakan tayangan dokumenter kolektif pertama di Bandung, bertepatan pula dengan pemutaran perdananya di Indonesia. Tiga orang narasumber yang mengisi ruang diskusi adalah Wanggi Hoed seorang seniman, Heri Pramono dari LBH Bandung, dan Didit Haryo Wicaksono dari Greenpeace.

Pemimpin Redaksi Suar Nusantara, Parayogi menjelaskan bahwa Suar Nusantara mengadakan nonton bareng dan diskusi ini salah satunya sebagia momentum pengingat setahun disahkannya UU Cipta Kerja.

“Buat pengalaman juga bagi Suar Nusantara yang baru berdiri beberapa bulan yang lalu, kita juga bareng sama Solar Generation yang udah lama dan udah paham juga sama isu-isu lingkungan,” ungkapnya.

UU Minerba dan Eksploitasi Alam

Perwakilan Greenpeace, Didit Haryo Wicaksono menyampaikan bahwa UU Cipta Kerja dan Undang-Undang kontroversial lainnya seperti UU Minerba memang didesain untuk melemahkan posisi masyarakat yang sesungguhnya memiliki hak yang paling besar untuk kepentingan bersama.

Beberapa kejanggalan dalam UU Minerba adalah tidak diwajibkannya royalty nol persen setelah mengeruk tambang. Padahal diketahui, bahwa jika dirujuk pada UUD 1945 bahwa seluruh kekayaan alam yang mempunyai pengaruh terhadap hajat hidup orang banyak itu harus dikuasai oleh negara dan dimaksimalkan fungsinya. Didit menegaskan bahwa hal ini terbantahkan oleh UU Minerba.

UU Minerba juga menghilangkan tanggung jawab dari suatu perusahaan. Ketika suatu perusahan memiliki rencana untuk menggali suatu kawasan menjadi tambang, kewajiban perusahaan pula untuk memastikan setelah digali dilakukannya rehabilitasi. Aturan yang berlaku adalah, perusahaan harus menyimpan sebagian uang, ditaruh di negara sebagai jaminan setelah proses tambang perusahaan akan melakukan proses rehabilitasi. Namun sayangnya, perusahaan berpikir, uang tersebut dibiarkan saja kembali ke negara, sebab biaya rehabilitasi yang berlipat ganda.

“Sebelum adanya UU Minerba saja hal ini sudah mustahil dilakukan oleh pengusaha-pengusaha tambang, karena biaya rehabilitasi yang tinggi. Apalagi stelah adanya UU Minerba hal-hal tersebut semakin longgar,” ungkap Didit dalam sesi diskusi.

Didit mengungkapkan bahwa hingga 2020, ada sekitar 38 orang anak yang menjadi korban tambang di Kalimantan Timur akibat jatuh ke dalam lubang-lubang tambang.

Baca Juga: Buruh Bandung Raya Desak Pencabutan UU Cipta Kerja
UI: 29 Juta Penduduk Usia Kerja di Indonesia Terimbas Pandemi Covid-19

Rakyat Diajak Bersuara

Seniman Pantomin Indonesia, Wanggi Hoed mengajak untuk menyuarakan aspirasi melalui bentuk-bentuk seni maupun porsi dan peran yang dimiliki oleh setiap orang ataupun masing-masing jaringan. Perihal mural yang belakangan banyak dihapus oleh aparat, Wanggi menganggap bahwa hal tersebut merupakan tekanan yang dapat dijadikan sebagai keberanian.

Selain itu, penting sekali menurutnya untuk terus membangun jaringan.  Hal ini juga diamini oleh Heri Pramono, bahwa membangun jaringan mampu membangun kekuatan dan bisa menampar pemerintah. Ia melihat ketika terjadinya lonjakan kasus Covid-19, warga saling bantu untuk terus dapat bertahan hidup. Sedangkan bansos ketika itu belum ada.

“Itu menjadi tamparan buat pemerintah. Masyarakat saling bantu bisa bertahan hidup hingga sekarang,” tuturnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//