• Berita
  • Kesaksian dari Titik Konflik dalam Novel Ketika Senja Jatuh di Nara

Kesaksian dari Titik Konflik dalam Novel Ketika Senja Jatuh di Nara

Ketika Senja Jatuh di Nara berkisah tentang Debora Nara, perempuan yang dibuang ibu kandungnya. Perjalanannya membawanya pada daerah yang penuh pertumpahan darah.

Diskusi novel Ketika Senja Jatuh di Nara di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 11 September 2025. (Foto: Rita Lestari/BandungBergerak)

Penulis Rita Lestari20 September 2025


BandungBergerakBuku “Ketika Senja Jatuh di Nara” lahir dari interaksi penulisnya, Zaky Yamani dengan wilayah-wilayah konflik di Indonesia timur. Ketika laporan-laporan penelitian ataupun jurnalistik sulit mengabarkan konflik tersebut, maka novel ini berusaha mengambil peran itu melalui kesaksian Debora Nara.

“Banyak hal yang rasanya kita di wilayah barat Nusantara ini kurang mendapatkan informasi yang utuh tentang situasi di sana terutama terkait masyarakat adat ataupun eksploitasi sumber daya alam. Kalau dalam bentuk laporan penelitian banyak, cuma saya merasa ingin menyampaikan sesuatu lewat karya fiksi yang lebih populer dan mudah dicerna oleh orang,” ujar Zaky Yamani, di diskusi novel “Ketika Senja Jatuh di Nara” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 11 September 2025.

Mantan jurnalis tersebut menjelaskan, sastra adalah medan kebebasan untuk berekspresi dan refleksi apa pun. Buku ini berisi tentang keresahan yang muncul dari parade kekerasan yang entah kapan berhenti di berbagai wilayah konflik di Indonesia, mulai dari Papua, Maluku, dan lain-lain. 

Novel Ketika Senja Jatuh di Nara terbit di tengah ramainya kasus tambang Raja Ampat yang rumit. Konflik di Raja Ampat maupun daerah lainnya dikabarkan ke publik luas melalui penggalan-penggalan yang tidak utuh karena keterbatasan media. Zaky melihat, banyak peristiwa pelik yang butuh disuarakan melalui berbagai medium seperti sastra. 

Tentang Debora Nara

Ketika Senja Jatuh di Nara berkisah tentang Debora Nara, perempuan yang hidup dalam kekosongan batin setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan anak yang dibuang ibu kandungnya. Perjalanannya mencari sang ibu guna mengetahui kenapa ia dibuang justru membawanya ke dalam lorong kelam. Ia jadi saksi atas kerakusan dan pertumpahan darah.

Istilah “Nara” diambil Zaky dari bahasa daerah yang berarti keluarga. Novel yang memakan waktu penulisan selama 5 tahun ini menghadirkan perjalanan personal seorang tokoh sekaligus potret kolektif sebuah masyarakat yang kehilangan hak-hak dasarnya.

”Prosesnya banyak mengalami bulak balik revisi, pergantian sudut pandang, dan penambahan cerita. Walaupun tipis tetapi sangat intens,” ujar Zaky. 

Melalui novel ini, novelis peraih hadiah Sayembara Novel DKJ Kereta Semar Lembu itu ingin memberikan pengalaman pada pembaca terkait gambaran suatu masyarakat yang tertekan dalam sistem. Fisik dan psikologi mereka pun terdampak.

“Di buku ini saya ceritakan pada suatu titik, ketika konflik di suatu wilayah, orang bicaranya makin pelan, bisik-bisik. Nah itu sebenernya dari pengalaman sendiri, saya kalau ngobrol tuh harus agak masang kuping karena mereka bisik-bisik. Dan itu saya curiga karena mereka dalam kondisi diawasi, dalam kondisi kalau salah ngomomg ditangkep,” tutur Zaky.

Baca Juga: Zaky Yamani Pemenang Pertama Sayembara Novel DKJ 2021
Mengupas Buku Komedi Sepahit Kopi di Perpustakaan Bunga di Tembok, Kadang-kadang Jurnalis tak Harus Kerja Tergesa

Tanggapan Pembaca

Salah satu pembaca, Foggy telah membaca buku ini sebanyak dua kali. Pertama kali membaca ia merasa agak sesak napas karena unsur-unsur kekerasan cerita yang terkandung di dalamnya. Namun adegan-adegan tersebut memang sesuatu yang harus dibaca banyak orang karena juga merupaan bagian dari sejarah konflik.

“Ini cara cerdas yang diungkap lewat narasi fiksi. Jadi menurutku ini pengalaman yang selain romantis, estetis sekali, dan ngena,” ujar Foggy.

Menurut Foggy, fiksi adalah medium yang tepat untuk menyampaikan data dengan cara halus dan sublim. Ketika Senja Jatuh di Nara tidak menyebutkan titik geografis atau detail geopolitik tertentu, tetapi pembaca tetap diarahkan pada isu-isu besar seperti konflik agraria, nasib masyarakat adat, kekerasan militeristik, dan pencarian identitas personal.

Trauma yang awalnya bersifat pribadi, seperti kisah Debora yang mencari ibunya, berhasil ditransformasikan menjadi trauma kolektif. Dengan begitu, kesedihan tokoh utama juga dirasakan sebagai kesakitan bersama.

”Kita jadi ikut merasakan bagaimana pencarian Debora ini tidak hanya narasi personal tapi juga jadi sebuah kesepakatan kolektif bahwa ini itu luka semua orang, kesakitan ini kesakitan semua orang,” kata Foggy.

Novel ini dinilai berhasil menyampaikan kritik sosial melalui pendekatan bercerita dan puitis. Dialog-dialog sederhana dan polos disampaikan para tokoh. Hal itu justru memantik emosi terdalam pembaca seperti membangun kesedihan terdalam.

Novel Ketika Senja Jatuh diterbitkan Gramedia Pustaka Utama 21 Juni 2025. Buku 216 halaman ini merupakan salah satu dari beberapa fiksi karya Zaky Yamani. 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//