Mengupas Buku Komedi Sepahit Kopi di Perpustakaan Bunga di Tembok, Kadang-kadang Jurnalis tak Harus Kerja Tergesa
Buku Komedi Sepahit Kopi diterbitkan ulang di era industri digital ketika media bergerak cepat. Buku ini mengingatkan jurnalistik bukan semata-mata kecepatan.
Penulis Tim Redaksi18 Juli 2025
BandungBergerak.id - Di tengah industri media yang berlari kencang, kehadiran buku Komedi Sepahit Kopi terasa seperti artefak dari zaman yang berbeda. Kumpulan reportase karya Zaky Yamani yang ditulis dalam rentang 2003–2013 ini menjadi pengingat akan praktik jurnalisme yang kini semakin langka: jurnalisme yang sabar, mendalam, dan berpihak.
Kumpulan reportase mendalam dan investigasi yang dimuat dalam buku ini lahir bukan dari proses tergesa-gesa, yang harus tayang beberapa jam setelah liputan. Reportasi ini bahkan tidak lahir dari meja redaksi, melainkan dari kehendak personal, kegelisahan, dan keteguhan seorang jurnalis yang ingin menyaksikan realitas secara lebih dekat.
Dalam liputan-liputannya, Zaky tak hanya hadir sebagai penulis dan jurnalis, tetapi juga sebagai saksi yang terlibat dalam denyut problem masyarakat, dari tragedi besar seperti tsunami di Aceh hingga keseharian warga yang kekurangan air bersih di Bandung. Semua ditulis dengan pendekatan yang tak berjarak, sering kali dengan sudut pandang orang pertama.
“Percayalah, kamu akan mendapati cara bercerita yang baru,” kata Tri Joko Her Riadi, pemimpin redaksi Bandung Bergerak yang juga menulis kata pengantar buku ini, di diskusi “Ketika Jurnalis(me) Berlari Tergesa” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 12 Juli 2025.
“Begitu membaca, kamu akan terkesan dengan cara reportase yang tidak biasa karena memakai sudut pandang ‘aku’, yang menghilangkan jarak antara reporter dengan fakta,” tambah penulis buku reportase investigastif Kehausan di Ladang Air: Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan (2012).
Joko juga menyoroti keberpihakan yang terang benderang dalam setiap laporan. Tidak ada satu pun reportase dalam buku ini yang membuka paragrafnya dengan narasi pemerintah. Semua dimulai dari mereka yang paling bawah, dari warga yang terdampak langsung oleh kebijakan maupun bencana, dari suara-suara yang kerap terpinggirkan.
“Teman-teman akan segera melihat keberpihakan yang jelas. Semua itu selalu dari bawah, dari akar rumput,” ujarnya.
Namun, keberpihakan dan kedalaman tak datang tanpa harga. Zaky Yamani mengakui bahwa sepuluh artikel yang terhimpun dalam buku tersebut sepenuhnya berasal dari inisiatif pribadi. Ia mengerjakannya di sela-sela tugas harian sebagai reporter, yang menuntut dua hingga tiga berita per hari, dengan tenggat ketat sejak pagi hingga malam.
“Makanya prosesnya lama. Kayak liputan tentang air di Bandung, itu butuh waktu sekitar tujuh tahun untuk mengumpulkan data,” ungkap Zaky.
Tak hanya waktu yang dikorbankan, tetapi juga materi. Tak jarang ia harus merogoh kocek pribadi demi mengejar kebenaran yang menurutnya layak dituliskan.
“Biaya sering kali tidak di-cover. Misalnya saya harus pergi ke penjara di Tangerang, itu tidak dalam kerangka liputan yang direncanakan. Akhirnya, ngumpulin uang sendiri,” kenangnya.
Baca Juga: Jurnalis Nyastra yang Membangkang
Komite Keselamatan Jurnalis Mendesak Polisi Mengusut Teror Bom pada Jurnalis Papua
Kesehatan Mental
Namun dampak terbesar mungkin bukan pada kelelahan fisik atau beban finansial, melainkan pada kesehatan mental. Saat meliput tragedi tsunami Aceh, Zaky mengalami trauma yang bertahan lama. Getaran tanah akibat truk besar saja bisa memicu kepanikan. Semua emosi yang ditekan selama bekerja akhirnya mengendap dan tak terselesaikan karena tak ada ruang pemulihan saat itu.
“Rasa sedih itu saat liputan kan kita menahannya. Setelah selesai, itu mengendap. Karena tidak diproses dengan baik, akhirnya saya mengalami banyak persoalan psikologis,” tuturnya jujur.
Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental bagi jurnalis baru tumbuh belakangan. Dulu, mengakses psikolog dianggap lemah. Stigma itulah yang membuat banyak jurnalis memendam sendiri trauma mereka, seperti yang dialami Zaky, yang hingga kini masih menjalani pengobatan.
Meski begitu, semua pengalaman itu menjadi bagian penting dari proses kedewasaannya sebagai manusia. “Saya bisa hari ini ngobrol dengan banyak tema dan banyak hal itu juga salah satunya karena proses di lapangan,” ujarnya.
Buku ini juga menjadi representasi evolusi Zaky sebagai jurnalis. Dari awal karier yang masih diselingi kelakar, tulisan-tulisannya berubah menjadi lebih serius dan gelap, penuh kekhawatiran akan ironi kehidupan kota. Artikel tentang grafiti, misalnya, menjadi penutup kariernya sebagai reporter. Liputan itu bukan hanya tentang mural atau vandalisme, tetapi tentang keterasingan manusia di kota, yang hanya bisa bersuara lewat dinding-dinding.
“Saya ingin melalui cerita-cerita saya di dalam buku ini, komedi itu pahit, ironis, tapi juga harus punya fungsi seperti kopi: membuat mata kita tetap berjaga, memberikan kafein untuk kita tersadar, terjaga, dan mau melakukan sesuatu,” jelas Zaky tentang alasan penamaan bukunya.
Di tengah derasnya pemberitaan cepat dan dangkal hari ini, Komedi Sepahit Kopi justru tampil sebagai pengingat bahwa fakta tak selalu terletak di permukaan. Ada pola, ada keterkaitan, yang hanya bisa ditemukan melalui kerja jurnalistik yang mendalam dan sabar.
“Jurnalisme mendalam melatih keterampilan untuk menghubungkan titik-titik (connecting the dots) dan membaca sebuah pola,” kata Joko. “Itulah yang akan membedakan liputan mendalam dengan liputan yang praktis. Kalau dikerjakan setengah jam, kita enggak akan punya banyak titik.”
Kekhawatiran Joko bukan tanpa alasan. Ia melihat bahwa liputan-liputan semacam ini semakin langka, dan langka berarti semakin penting. Sayangnya, ruang redaksi yang seharusnya menjadi benteng bagi kerja jurnalistik yang serius, justru sering tak menyediakan ruang tersebut.
Pilihan yang tersedia kadang ekstrem: bertahan mati-matian atau pisah jalan dari newsroom. Tapi ketika beruntung memiliki tim redaksi yang mendukung, hasilnya bisa luar biasa. “Karena kamu sebagai reporter akan dibantu oleh editor yang memahami isu, bisa bantu mengedit, dan juga melakukan banyak hal termasuk mulai dari perancangan liputan,” kata Joko.
Namun bagi Zaky, dukungan redaksi saat itu nyaris tak ada. Semua liputan dijalani dalam kondisi minim sumber daya, tanpa surat tugas, bahkan dengan risiko harus melanggar etika, seperti saat merekam pernyataan off the record seorang pejabat karena merasa ada kepentingan publik yang lebih besar.
Ketika ditanya bagaimana menjaga keseimbangan antara empati dan objektivitas, Zaky menjawab bahwa kuncinya adalah kesadaran diri dan disiplin mencatat. Ia memanfaatkan keterampilannya sebagai novelis untuk mencatat gestur, suasana, dan dialog dengan tajam. Di masa ketika belum ada smartphone, catatan manual dan perekam suara adalah senjata utama untuk menjaga detail tetap hidup.
Dalam konteks kekinian, Novi Ramadani, jurnalis muda yang turut hadir dalam diskusi buku, mengatakan tantangan hari ini tak kalah pelik, apalagi sebagai perempuan. Ia harus berhati-hati saat meliput di lapangan dan kerap berdesakan dengan jurnalis laki-laki saat mengambil foto.
Novi juga melihat bahwa teknologi kini memberi kemudahan. Wawancara bisa dilakukan lewat WhatsApp, dan aplikasi AI membantu transkrip lebih cepat. Meski begitu, ia meyakini bahwa esensi jurnalisme tetaplah kedekatan dengan manusia dan empati.
Dibandingkan dengan era teknologi digital ini, Komedi Sepahit Kopi bukan sekadar buku reportase. Buku yang dicetak ulang penerbit SvaTantra ini adalah memoar kegelisahan, potret jurnalisme dari perspektif manusiawi, dan bukti bahwa jurnalisme bisa tetap berdiri di tengah laju industri—asal ada keberanian, idealisme, dan secangkir kopi pahit untuk tetap terjaga.
*Reportase ini dikerjakan reporter bandungbergerak Akhmad Aziz Nanda Saira dan Olivia A. Margareth