• Kolom
  • MALIPIR #11: Jurnalis Nyastra yang Membangkang

MALIPIR #11: Jurnalis Nyastra yang Membangkang

Buku Journalism and Politics in Indonesia karya David T. Hill menelisik aspek politik dari sejarah jurnalisme di Indonesia lewat perjalanan hidup Mochtar Lubis.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Sketsa David T. Hill, pemerhati Indonesia dari Universitas Murdock Autralia, karya Hawe Setiawan.

13 April 2025


BandungBergerak.id – Tentang Mochtar Lubis, ada biografi yang ditulis dalam kerangka akademis. Penulisnya adalah David T. Hill, pemerhati Indonesia dari Universitas Murdock, Australia. Judul bukunya: Journalism and Politics in Indonesia: A Critical Biography of Mochtar Lubis (1922-2004) as Editor and Author (Routledge, 2010). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun yang sama.

Setelah membaca buku itu saya ingin berterima kasih kepada penulisnya, tapi saya tidak kenal orangnya. Saya hanya sempat menyimak orasinya sekian tahun silam sewaktu saya ikut jadi juri Mochtar Lubis Award bidang feature. Iseng-iseng saya menggambar wajahnya, lalu saya kirim file-nya kepada sahabat saya, Ignatius Haryanto, yang mengenal dia. Ternyata ada tanggapan dari Pak David melalui Mas Hari, dan saya senang sekali. Baru saya sadari bahwa corat-coret bisa menjadi cara berkenalan yang menyenangkan.

Buat saya, dan mungkin buat banyak orang Indonesia lainnya yang sempat bergiat di lapangan jurnalistik dan sastra, subjek buku ini adalah teladan atau role model tersendiri. Salah satu cerpennya dalam koleksi Kuli Kontrak sangat mempengaruhi keengganan saya untuk jadi pegawai negara. Waktu saya masih ikut kuliah jurnalistik di Unpad, Mochtar Lubis datang ke kampus Unisba memakai blue jeans. Orangnya jangkung betul, senyumnya manis sekali. Saya ikut menyimaknya di aula. "Saya tidak mau dipanggil 'Bapak'," ujar penulis buku Manusia Indonesia yang kontroversial itu.

Buku David Hill sangat membantu saya untuk menyimak Mochtar Lubis secara kritis, melampaui kekaguman anak muda yang naif. Pada judulnya tercermin cakupannya: perjalanan hidup sang jurnalis ditelaah sebagai jendela wacana untuk menelisik aspek politik dari sejarah jurnalisme di Indonesia. Selaras dengan generasi tokohnya, periodenya mencakup dua rezim politik: zaman Sukarno kemudian zaman Suharto dengan lukisan masa kecil sebagai latar belakangnya.

Itulah zaman surat kabar tatkala jurnalisme cetak merupakan gelanggang utama bagi peran sosial wartawan. Dalam kedua zaman itu sang "wartawan jihad" (crusading journalist) jadi tahanan politik tanpa pengadilan. Pada zaman Sukarno ia ditahan menyusul gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) tahun 1958. Pada zaman Suharto nasib yang sama dialaminya menyusul Peristiwa Malari (kerusuhan 15 Januari 1974). Penjara Madiun zaman Sukarno dan penjara Nirbaya zaman Suharto menyimpan jejak langkahnya.

Peran Mochtar sesungguhnya beragam. Kalau harus memakai label, David punya senarai panjang: "redaktur surat kabar, penulis fiksi dan nonfiksi, aktivis politik, polemis, usahawan, pengelola lembaga budaya, tahanan politik, pegiat budaya, penerima hibah internasional, delegasi Indonesia di berbagai forum internasional". Kesemuanya tergambar dalam uraian, tapi  telaah dalam buku 266 halaman ini terpusat pada dua kiprah: wartawan dan pengarang. Itulah Mochtar sebagai pemimpin redaksi surat kabar Indonesia Raya dan pengarang  sejumlah novel serta cerita pendek.

Untuk menelaah politik pers Indonesia dengan acuan sepak terjang Mochtar Lubis, David menempuh dua jalan yang sebangun. Pertama, ia menganalisis liputan Indonesia Raya mengenai sejumlah isu krusial dalam sejarahnya. Kedua, ia menganalisis karya sastra Mochtar Lubis. Dari analisisnya saya mendapat kesan bahwa baik di halaman koran maupun di halaman novel serta cerpen Mochtar Lubis giat menanggapi dan berupaya mempengaruhi keadaan politik di sekitarnya.

Jelas, jurnalisme dan sastra merupakan dua aspek dari tokoh yang satu ini. Sempat kita bicarakan di sini bahwa dari catatan-catatan perjalanannya, kita punya contoh jurnalisme yang ditunjang oleh story telling nan sedap. Adapun sekarang, dalam hal ini, ada pula teladan bahwa ketika jurnalisme dibungkam, sastra bisa bicara. Contohnya, novel Senja di Jakarta dia tulis sewaktu menjalani tahanan rumah. Dalam kata-kata David, proses kreatifny dalam tahanan "menghasilkan karya sastra bermutu tinggi dengan pesan politik yang tegas".

Baca Juga: MALIPIR #8: Tokoh Sengsara dan Pembacanya
MALIPIR #9: Mendaras Teks Suci
MALIPIR #10: Coretan Perjalanan Sang Wartawan

Anak Bangsawan yang Suka Melawan

Dari uraian David, dapat kita kenali sang tokoh selayang pandang.

Lahir di lingkungan keluarga bangsawan Sumatra, Mochtar Lubis tak pernah tumbuh di lingkungan budaya Batak. Ia belajar ekonomi di sekolah kebangsaan di Kayutanam. Enggan dijodohkan oleh orang tuanya, ia memilih minggat dan bekerja jadi guru sekolah yang merisaukan pejabat Belanda gara-gara suka mengajari murid-murid lagu "Indonesia Raya", sebelum pergi lebih jauh ke Batavia. Di ibukota ia bekerja di sektor perbankan bersama orang-orang Belanda dari lingkungan atas.

Pada zaman pendudukan Jepang, kefasihannya berbahasa asing membuatnya diandalkan oleh penguasa perang sebagai penerjemah siaran radio internasional. Setelah Indonesia merdeka, ia bergabung dengan Kantor Berita Antara sebagai wartawan yang punya jaringan internasional. Sempat terpikir olehnya untuk turut memanggul senjata dalam revolusi kemerdekaan mengikuti garis kakaknya, tapi kata seniornya, Adam Malik, senjata yang cocok baginya bukan bedil melainkan pena.

Ia kemudian menerbitkan surat kabar Indonesia Raya yang kebijakan redaksinya anti-Sukarno dan antikomunis serta visinya cenderung selaras dengan wawasan lingkaran Sutan Sjahrir dari PSI (Partai Sosialis Indonesia).

Buat warga Bandung seperti saya, ada satu hal khusus yang menarik dari riwayat Mochtar Lubis dan Indonesia Raya. Elite militer dari Divisi Siliwangi, terutama dari sayap intelijennya, punya andil dalam penerbitan surat kabar tersebut. Mereka ikut menggagas, bahkan turut mencarikan sumber daya. Namun, secara resmi surat kabar ini tidak mewakili golongan atau partai mana pun, tidak seperti beberapa koran lain pada zamannya. Ia mengklaim dirinya sebagai koran independen.

Surat kabar dari jajaran menengah itu identik dengan sosok pemrednya. Manajemennya kelihatannya tidak menjamin kelangsungan hidupnya, kebijakan redaksinya cenderung hitam-putih dan kerap terkesan sensasional. Itulah garis jurnalistik yang tentu berbeda dengan  yang dikembangkan oleh generasi pers Indonesia selanjutnya. Bagi mereka yang mengasah jurnalisme di lingkungan koran itu, sosok Mochtar Lubis jadi suluh tersendiri yang menyalakan semangat dan kepercayaan diri.

Sang Pembangkang

Untuk melukiskan sosok Mochtar Lubis, David memakai sebutan maverick. Saya tidak tahu padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Setahu saya, istilah Inggris itu mengacu kepada orang yang sikap dan pendiriannya tidak seperti orang kebanyakan, tidak ikut arus, dan suka membikin terobosan. Sebutan "pembangkang" kiranya mengandung arti yang berdekatan dalam kaitannya dengan pokok bahasan buku ini.

Pada kesan saya setelah membaca buku ini tokoh pembangkang seperti Mochtar Lubis datang dari suasana umum revolusioner di sekitar ikhtiar merebut dan mengisi kemerdekaan negara dan bangsanya. Pendekatannya cenderung tegas, setegas hitam dan putih, dan sering kali polemis. Melalui jurnalisme maupun sastra tokoh demikian berupaya merealisasikan cita-cita manusia merdeka dalam cakrawala dunia.

Dalam kesimpulannya, David menulis, "Selaku orang yang meyakini dirinya dan bersemangat sebagai demokrat, nasionalis teguh dan antikomunis, Mochtar Lubis akan lebih banyak dikenang sebagai pembangkang ketimbang pembangun institusi, dikenang dengan apa yang dia tentang ketimbang dengan apa yang dia bela  (A passionate, self-confessed democrat, committed nationalist and anticommunist, Mochtar Lubis will be more remembered as maverick than institution builder, for what he opposed than for what he proposed)".

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//