• Kolom
  • MALIPIR #10: Coretan Perjalanan Sang Wartawan

MALIPIR #10: Coretan Perjalanan Sang Wartawan

Jurnalisme turun ke lapangan untuk menembus stereotip sebagai ikhtiar buat melihat manusia konkret.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Sketsa Mochtar Lubis, sang wartawan jihad, karya Hawe Setiawan.

29 Maret 2025


BandungBergerak - Saya masih menyimpan buku nonfiksi karya mendiang Mochtar Lubis, Perlawatan ke Amerika Serikat. Buku 110 halaman ini merupakan terbitan Gavura N.V., Jakarta, 1952. Jilidnya sudah koyak, maklum saya dapatkan dari lapak buku loak. Saya perbaiki jadi buku saku dengan jilid keras lengkap dengan pita marka pustaka biar nyaman dibaca.

Belum lama ini, beberapa hari menjelang Ramadan, di sela-sela acara pengukuhan guru besar di kampus Unisba, kebetulan saya duduk berdampingan dengan Bu Kartini Nurdin dan Teh Dian Andiani dari Yayasan Obor Indonesia, lembaga penerbitan yang dirintis oleh Pak Mochtar dkk. Saya sampaikan usulan agar buku yang didedikasikan kepada Bu Hally, istri Pak Mochtar, ini diterbitkan lagi. Beberapa tahun sebelumnya, usulan serupa sempat saya sampaikan kepada Mas Hari Kumkum (Ignatius Haryanto), teman baik yang sejak masih kuliah S-1 di UI sudah menelaah karya-karya Pak Mochtar.

Reportase perjalanan Pak Mochtar yang sudah diterbitkan lagi adalah Catatan Perang Korea (YOI, 2010) yang dikasih pengantar oleh Hari. Buku saku 154 halaman itu pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1951 dengan judul, Catatan Korea. Jika "coretan perjalanan" -- istilah Pak Mochtar -- ke Amerika Serikat terbit lagi, lengkap sudah jejak jurnalisme kembara dari pewarta kawakan yang satu ini.

Baca Juga: MALIPIR #9: Mendaras Teks Suci
MALIPIR #8: Tokoh Sengsara dan Pembacanya

Menembus Stereotip

Ketika baru terbit, Perlawatan diwartakan dalam Nieuwsgier (Rabu, 8 Oktober 1952), koran pagi berbahasa Belanda terbitan Jakarta arahan pemred J.H. Ritman. Kata si empunya berita, dalam buku ini Mochtar Lubis memberikan "gambaran yang jelas mengenai apa yang dia saksikan sendiri di Amerika dan apa yang secara khusus menarik perhatiannya (een levendig beeld van hetgeen hij in Amerika heeft gemerkt en van hetgeen hem bijzonder heeft getroffen)”.

Seperti diberitakan oleh Java Bode (17/05/1951), Mochtar Lubis terbang ke Amerika pada 18 Mei 1951 atas undangan dari Departemen Luar Negeri AS. Waktu itu dia adalah pemimpin redaksi Indonesia Raya, surat kabar yang sangat kritis terhadap pemerintah. Itu zaman Kabinet Sukiman (Masyumi)-Suwirjo (PNI) dalam pemerintahan parlementer Indonesia, sementara AS dipimpin Presiden Truman yang mengganti Roosevelt.

Perlawatannya barangkali bisa dibilang tepat dari segi momentum. Indonesia kala itu, sekitar empat tahun sebelum Konferensi Asia Afrika, berada di tengah gejolak geopolitik antara Blok Timur dan Blok Barat. Pada waktu yang sama AS sedang terpapar paranoia antikomunis. Tepat buat dicurigai oleh penguasa Jakarta, tepat pula buat dimanfaatkan oleh penguasa Washington. Yang pasti, lebih dari tiga bulan lamanya dia berkeliling benua itu: New York, Washington, Boston, Buffalo, Detroit, Chicago, Texas, dan kota-kota lainnya. Dengan itu, dia berupaya memperlihatkan "lukisan yang tidak indah" serta "lukisan yang indah" tentang Amerika Serikat.

Deskripsi perjalanannya enak, lengkap dengan bumbu humor, karena sang jurnalis lihai mencari segi dari hidup sehari-hari, mulai dari pemandangan orang tertidur dalam kabin pesawat hingga curhatan beragam orang dalam buku tamu hotel. Adapun dalam penggalian informasi umum mengenai Amerika, dia tidak puas bahkan tidak setuju dengan "cap" yang biasanya diandalkan banyak orang untuk menggambarkan karakteristik orang lain. Baginya, "pemberian cap secara umum" mengandung "pembatasan pengertian yang lebih dalam". Dengan kata lain, jurnalisme turun ke lapangan untuk menembus stereotip sebagai ikhtiar buat melihat manusia konkret. Di Amerika Serikat, sang jurnalis bertemu dengan para politisi juga bersua dengan buruh pabrik dan kaum tani.

"Amerika bukan cahaya kilau-kilau lampu dan kaca toko serta musik tempat dansa saja. Dari pemabuk-pemabuk yang malang di Bowery, hingga sopir taksi yang baik hati di Washington, pada miliuner yang tinggal di Park Avenue, buruh pabrik di Detroit, petani di Tennessee adalah gambar pelbagai segi penghidupan di Amerika Serikat," tulisnya.

Buku yang isinya terbagi ke dalam sembilan bab ini memberi kita pemandangan Ameria Serikat yang warna-warni: kota-kotanya, industrinya, pertaniannya, politiknya, masyarakatnya. Beberapa pertanyaan tampaknya selalu menggelitik sang jurnalis di sepanjang perjalanannya, antara lain apa itu “the American Way of Life”? Apa sih perbedaan antara Partai Demokrat dan Partai Republik? Mengapa pula masih ada diskriminasi terhadap kulit hitam? Hasil penggalian informasinya disajikan dengan gaya jurnalistik yang nyastra. Membaca setiap feature dalam buku ini sedikit banyak seperti membaca cerita pendek. Gaya bercerita seperti inilah yang, buat saya, menjadikan buku ini tetap enak dibaca meski kandungan informasinya kini tentu terasa jadul.

Di AS pada dasawarsa 1950-an wartawan Indonesia seperti Mochtar Lubis rupanya tidak sekadar sibuk menggali informasi buat disampaikan kepada para pembaca koran di tanah airnya, melainkan juga, dengan caranya sendiri, mesti jadi duta Indonesia. Di Buffalo, misalnya, dia mesti menggambarkan letak Indonesia di muka bumi kepada seorang sopir setengah tua keturunan Italia yang ternyata tahu soal Bali.

Sebelum membaca Perlawatan, sempat saya membaca buku karya pemikir Prancis Alexis de Tocqueville yang datang ke Amerika buat menganalisis demokrasi. Buku itu saya baca semasa masih kuliah, dan sekian tahun kemudian saya mendapat kesempatan menyunting terjemahannya dalam bahasa Indonesia terbitan Freedom Institute di Jakarta. Buat saya, Perlawatan karya Mochtar Lubis telah memperkaya gambaran mengenai Amerika dari sudut pandang orang Indonesia. Catatan perjalanan, baik dari pemikir dan akademisi maupun dari jurnalis dan sastrawan, sama-sama saya butuhkan buat memperkaya pengetahuan mengenai keberagaman budaya.

Dijebloskan ke dalam Bui

Pada zamannya, terutama sejak 1957, Mochtar Lubis adalah pewarta yang juga jadi pokok berita. Sang "Wartawan Jihad" pernah dijebloskan ke dalam bui oleh rezim Soekarno, dan Indonesia Raya diberangus.

Sekian tahun silam, ketika mengumpulkan informasi buat menulis biografi seorang tokoh Masyumi, sempat saya mengunjungi bangunan bekas rumah tahanan militer di Madiun tempat Mochtar Lubis dan beberapa tokoh dari PSI dan Masyumi ditahan. Seorang tentara yang menjaga bangunan itu mempersilakan saya melihat-lihat fasilitas bekas sel yang telah jadi kandang ayam. Saya merasa geli sendiri. Pikir saya, ketimbang dijadikan tempat membungkam jurnalis dan para aktivis, bangunan militer itu memang jauh lebih baik dijadikan tempat memelihara kawanan unggas.

Tentu, ada buku lain dari penulis ini yang juga patut dikenang dan dibaca ulang: Catatan Subversif (1980). Itu catatan harian Mochtar Lubis selama mendekam dalam bui yang diperkaya pula dengan karya visualnya berupa sketsa. Mungkin ada baiknya buku itu kita bicarakan dalam kesempatan lain sambil berharap moga-moga Perlawatan ke Amerika Serikat bisa terbit lagi.

 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain tentang Buku atau tentang Literasi

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//