MALIPIR #9: Mendaras Teks Suci
Tadarusan saat Ramadan seperti mempertemukan lagi suara dengan aksara, juga mempertemukan secara fisik dengan sesama pembaca. Teks suci menjadi pembentuk riungan.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
22 Maret 2025
BandungBergerak.id – Di tengah ratusan juta bahkan miliaran muslim di kolong langit, saya bukan kekecualian. Saban Ramadan saya pun ikut tadarusan. Itulah kegiatan membaca Al-Qur’an secara bersama-sama dari surah ke surah, dari juz ke juz, hingga khatam.
Sohib skriptural saya tidak banyak, hanya empat hingga enam orang, dan hampir semuanya tergolong kelompok U-50. Tempat kegiatan kami adalah Al-Ikhlas, masjid di tepi gang sempit di Negla, Kelurahan Isola, Bandung. Kami membaca kitab suci ini seusai tarawihan, satu juz semalam.
Dalam urusan tadarusan, kaum bapak di tempat kami memang tidak seprogresif kaum ibu yang tadarusannya pagi hari seusai salat duha. Mereka sanggup membaca dua hingga tiga juz sehari. Walhasil, memasuki minggu kedua Ramadan, istri saya dan kawan-kawan sudah khatam membaca Alquran, bahkan sudah pula merayakan khataman dengan acara buka puasa bersama di sebuah kedai dekat Parongpong. Adapun saya dan kawan-kawan menghadapi teks suci yang terdiri atas 30 juz itu sebagai bahan bacaan buat 30 malam.
Seingat saya perbedaan itu menggejala di tempat tinggal kami saban tahun. Saya tidak tahu apa sebabnya. Yang pasti, sejauh yang bisa saya saksikan di rumah kami, memasuki pekan ketiga Ramadan perhatian istri saya mulai terbetot ke Pasarbaru atau pasar lainnya, juga ke berbagai pilihan menyangkut menu meja makan dan sajian meja tamu buat Lebaran. Nah, dalam kaitannya dengan urusan duniawi, saya punya alasan jitu agak enggan mengantar ke pasar: kurang enak, euy, pergi belanja-belanja sedangkan tadarusan belum rampung.
Baca Juga: MALIPIR #6: Surapati dalam Puisi
MALIPIR #7: Dari Kemelut di Kartasura
MALIPIR #8: Tokoh Sengsara dan Pembacanya
Tumbuh dari “Darosa”
Kata seorang teman yang akrab dengan bahasa Arab, dari sono-nya istilah tadarus tumbuh dari akar kata “dal-ro-sa”. Kalau kita buka Arabic-English Dictionary of Qur’anic Usage (2008) susunan Elsaid M. Badawi dan Muhammad Abdel Haleem, kita dapati bahwa di antara begitu banyak kandungan artinya, kata “darosa” bisa berarti “to study a book, to learn, to examine carefully, to learn by heart (menelaah kitab, mempelajari, menelisik secara cermat, merenungi)” juga berarti “a learned person, a person who is constant in his studies (seseorang yang terpelajar, seseorang yang terus-menerus belajar)”. Dari akar kata ini pula kita kenal nama besar Idris, nabi yang tiada henti mempelajari teks suci, juga konon orang pertama yang menggunakan pena.
Arti senada terkandung pula dalam pemakaian istilah serapan tadarus dalam bahasa Indonesia beserta variannya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengartikan tadarus sebagai “pembacaan Al-Qur’an secara bersama-sama (dalam bulan puasa)”. Dekat dengan istilah ini, ada pula istilah daras (dan kata kerja mendaras) yang oleh KBBI diartikan sebagai: 1) “membaca Al-Qur’an keras-keras untuk berlatih melancarkan bacaan”, 2) “belajar membaca Al-Qur’an”, dan 3) “belajar (mempelajari, menyelidiki) dengan sungguh-sungguh”. Kita pun kenal kata “madrasah” yang dalam KBBI diartikan sebagai “sekolah atau perguruan”.
Sebagai penutur bahasa Sunda, tentu, saya tidak lupa pada kata kerja ngaderes yang dalam Kamus Umum Basa Sunda (1995) keluaran Lembaba Basa jeung Sastra Sunda diartikan sebagai “ngalancarkeun maca Quran (memperlancar kemampuan membaca Al-Qur’an)”.
Tamasya leksikal semacam ini saya perlukan biar saya tambah semangat bergabung dengan kaum bapak yang tadarusannya tidak tergesa-gesa, biar lambat asal tamat. Perlu pula ditambahkan bahwa tadarusan yang kami lakukan baru sampai ke dalam kandungan artinya yang paling dangkal, yakni baru sebatas melisankan teks suci, belum sampai mempelajari sungguh-sungguh kandungan maknanya.
Maklumlah, namanya juga pengajian awam. Itu pun sering kali pembacaannya bolak-balik karena keliru lafal, dengan langgam yang tidak begitu mulus dan nafas yang terputus-putus. Belum lagi selingan batuk-batuk dan rongrongan kantuk. Meski demikian, tak sampai pupus harapan kami untuk beroleh cahaya kebajikan dari teks suci. Lagi pula, pernah saya mendengar wejangan Ustaz Ahmad Soleh dari madrasah Miftahul Iman, Negla, yang membesarkan hati. Katanya, kalaupun kesanggupan kita baru sebatas melisankan teks suci, itu sudah merupakan kebaikan tersendiri.
Bunyi dan Aksara
Melisankan teks atau membunyikan aksara, sudah pasti, berbeda dari membaca dalam hati. Jika membaca dalam hati cenderung menyendiri dalam sunyi, membaca bersuara biasanya dilakukan secara kolektif dalam bunyi. Peserta kegiatan membacakan teks suci bergantian, sambung menyambung.
Dalam kegiatan seperti ini saya diingatkan lagi bahwa awal dari segalanya adalah suara atau bunyi. Firman yang diterima rasul melalui malaikat turun dalam bentuk tidak tertulis. Penulisan kata-kata suci dan kodifikasinya baru muncul kemudian. Aksara sendiri, saya kira merupakan visualisasi bunyi, kiranya sejenis seni rupa bagi suara.
Sebagai peminat buku yang terbiasa meluangkan waktu dengan membaca dalam hati, saya merasa diperkaya oleh kegiatan kolektif seperti tadarusan. Kegiatan seperti ini terasa seperti mempertemukan lagi suara dengan aksara, juga mempertemukan diri saya secara fisik dengan sesama pembaca. Dalam kegiatan seperti ini, teks suci jadi pembentuk riungan.
Bukan hanya itu. Karena yang dihadapi dalam tadarusan adalah teks suci, saya belajar menyadari bahwa untuk membaca teks tersebut ada syarat dan rukun tersendiri yang patut diindahkan. Syarat adalah ketentuan yang mesti diindahkan sebelum kegiatan dilaksanakan. Rukun adalah ketentuan yang mesti diindahkan ketika kegiatan dilaksanakan. Singkatnya, tadarusan bukan kegiatan sembarangan.
Teks dan Makna
Ada satu hal yang aneh, sebetulnya, menyangkut hubungan antara diri saya dan teks suci yang saya baca selama Ramadan. Mungkin karena saya tidak datang dari lingkungan pesantren, saya tidak bisa berbahasa Arab. Sering saya heran sendiri, bagaimana mungkin saya bisa membaca teks Arab tapi tidak mengerti artinya? Teks suci itu dapat saya baca sesuai dengan ketentuan tajwidnya, sedangkan artinya saya hayati sebatas terjemahan dari almarhum Abdullah Yusuf Ali.
Sekali pernah saya duduk di pelataran Ka'bah menunggu saat azan magrib berkumandang seusai saya ikut berdesakan dalam tawaf. Di samping saya, duduk bersila seorang pria dari Suriah yang pernah tinggal di Jerman. Kami berkenalan, lalu saya tahu bahwa dia dosen pensiun. Samalah profesinya dengan saya. Ketika saya membuka Al-Qur’an ukuran saku, dia langsung berkomentar.
"So you read the texts?" tanyanya.
"Yes, I do, though I do not understand a single word," tukas saya.
"Can you read it for me, please."
"My pleasure."
Lalu saya bacakan baris-baris yang jadi favorit saya: kisah Sulaiman dalam pertemuan dengan abdi-abdinya dari kerajaan hewan. Sang Nabi bertanya, ke manakah gerangan perginya burung hudhud, koq sekali itu dia tidak hadir dalam majelis? Itulah kisah yang salah satu frasenya jadi judul karya sastra Fariduddin Attar, Mantiqut Thair, yang dalam terjemahan Indonesianya dari Pustaka Jaya kita kenal sebagai Musyawarah Burung.
"Beautiful," ujar rekan Suriah tadi.
"Thanks," ucap saya. Lalu saya sedikit curhat tentang keanehan hubungan tekstual tadi. Menurut saya muslim Suriah pasti lebih berbahagia daripada muslim Indonesia seperti saya. Mereka bisa berbicara dalam bahasa Arab.
Kalau boleh saya pinjam istilah Martin Puchner, penulis The Written World (2017), Al-Qur’an adalah foundational text bagi hidup sehari-hari saya. Itulah teks suci yang menyediakan fondasi bagi tata nilai tempat saya menyesuaikan diri. Dalam hal ini, lagi-lagi, saya bukan kekecualian di antara miliaran muslim di jagat ini.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau tentang Buku