• Kolom
  • MALIPIR #6: Surapati dalam Puisi

MALIPIR #6: Surapati dalam Puisi

Heroisme pada akhirnya barangkali bukan soal menjajal otot kawat dan tulang besi.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Sampul buku Nu Mahal Ti Batan Inten karya Yus Rusyana (kiri) dan Surapati karya Abdoel Moeis (kanan). (Foto: Hawe Setiawan)

1 Maret 2025


BandungBergerak - Pahlawan yang muncul dan gugur dalam prosa juga menyimpan jejak dalam puisi. Selain dalam novel seperti karya Maria van Java, F. Wiggers, dan Abdoel Moeis, kisah tentang Untung Surapati juga terekam dalam sajak. Dalam puisi Sunda, misalnya, kita dapat membaca karya Yus Rusyana, "Surapati". Sajaknya digubah di Pameungpeuk, Garut, tanah kelahiran sang penyair, pada 1960, dan dimuat dalam kumpulan Nu Mahal ti Batan Inten (Yang lebih Berharga daripada Intan) terbitan 1980.

Tanpa rencana, saya bertemu dengan Pak Yus di kampus UPI. Ia adalah profesor emeritus di universitas tersebut, dan bukan nama asing buat saya. Salah satu bukunya, Panyungsi Sastra (Pengantar Sastra), diperkenalkan oleh guru saya di sekolah menengah pertama. Kami sama-sama diundang ke dalam acara peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2025. Kesempatan ini saya manfaatkan pula buat bertanya seputar puisi tadi.

"Manawi émut kénéh, dina kaayaan sapertos kumaha Bapa nganggit sajak 'Surapati' (Barangkali Bapak masih ingat, dalam keadaan bagaimana Bapak menggubah sajak 'Surapati')?" tanya saya.

"Taun sabaraha éta sajak téh nya (tahun berapa sajak itu ditulis)?" Pak Yus balik bertanya. 

"Taun genep puluh, Pa (tahun 1960, Pak)."

"Asana mah ditulisna téh sabada maca novélna (Rasanya, sajak itu ditulis setelah saya membaca novel tentang Surapati)."

Kembali saya diingatkan bahwa penulis pada suatu masa mendapat bahan dari karya penulis terdahulu, juga sangat mungkin karyanya akan jadi bahan bagi karya penulis kemudian. Sejarah dan legenda -- pendeknya, kisah -- kiranya seperti air: terus mengalir atau merembes, dengan caranya sendiri, dari satu ke lain waktu, dari satu ke lain saluran.

Balada dan Eulogi

Kisah nan panjang dan berliku dalam roman jadi jauh lebih padat dalam balada. Tentu, tidak semua rincian diambil oleh penyair. Sajak Pak Yus menonjolkan momen pelarian Surapati ke belantara Priangan, peperangan di Kartasura yang merenggut jiwa Kapten Tack, hingga Sang Wiranagara menemui akhir kisah yang menggentarkan di Bangil. Dua larik terakhir menegaskan sejenis tekad: 

/Daging aing lain waja/

/Tapi tujuh paturunan sumanget aing tetep digjaya/

(Dagingku bukan baja/

Tapi tujuh turunan semangatku tetap digjaya)

Heroisme pada akhirnya barangkali bukan soal menjajal otot kawat dan tulang besi. Kalaupun sang pahlawan terlihat perkasa, berani mati, kiranya itu bukan hal terpenting. Pada hemat saya, hal terpenting adalah sejauh mana keberanian sang pahlawan jadi inspirasi bagi generasi berikutnya. Dalam novel Abdoel Moeis, sudah kita lihat, terlampir catatan yang menunjukkan betapa panjangnya deretan penerus Surapati. Adapun dalam sajak Pak Yus rangkaian suksesi itu cukup jadi isyarat dalam kata-kata sang pahlawan sebelum wafat.

Dulu pernah pula terbit sebuah buku karya penulis Sides Sudyarto D.S., Pahlawan dalam Puisi (1979), yang tampaknya ditujukan kepada anak-anak sekolah. Buku ini menampilkan para pahlawan bangsa dalam tulisan berbentuk puisi, seperti himpunan eulogi. Nama Surapati, sudah pasti, ikut terdaftar, dan dilukiskan sebagai "anak sejarah yang menumpahkan darah" dan "perintis perjuangan melawan penindasan". 

Baca Juga: MALIPIR #5: Untung, Ada Surapati
MALIPIR #4: Gado-gado Racikan Tirto Adhi Soerjo
MALIPIR #3: Ke Pasircabe, Mencari Tirto

Puisi dalam Babad

Sesungguhnya, dalam ungkapan setempat, kisah Surapati pada mulanya justru dituturkan dalam wadah puisi, hanya puisinya berbeda dari puisi yang diserap dari peradaban Eropa. Puisi Jawa tradisional -- katakanlah begitu --, yang kemudian diserap ke dalam budaya Sunda, adalah puisi yang terikat oleh aturan suku kata dan lagu. Bentuk puisi ini juga pada hakikatnya digubah untuk jadi nyanyi atau gita. Demikianlah kisah yang kita sebut babad berisi untaian puisi terikat seperti asmarandana, dandanggula, pangkur, durma, dan sebagainya.  Dalam bahasa Sunda wadah puitik itu kita sebut pupuh. 

Dalam katalog tebal Literature of Java (1967) susunan Theodore Pigeaud disebutkan bahwa fragmen sejarah Kartasura, tak terkecuali yang menyoroti figur Surapati, bisa jadi turut menandai "awal kebangkitan kembali sastra klasik dalam kesusastraan Jawa, yang tumbuh di Surakarta pada paruh kedua abad ke-18 (a beginning of the classical renaissance of Javanese literature, which in the second half of the eighteenth century developed in Surakarta)".

Sayang sekali, saya tidak mengerti bahasa Jawa apalagi ragamnya yang dipakai menggubah gita. Padahal di Perpustakaan Nasional RI, juga di Fakultas Sastra UI, kiranya ada hasil transliterasi dari manuskrip Jawa yang dikenal sebagai Babad Soerapati. Sekadar gambaran, dari sebuah transkripsi yang diketik pada 1934 berdasarkan manuskrip tulisan tangan, dapat kita petik di sini baris-baris kisah Surapati dalam wadah durma berikut ini: 

Djaka Oentoeng tandange lir pèndah jaksa, kang katradjang kéh mati, ingedrél sendjata, ki Oentoeng tan rinasa, sinempjok ing gotoek api, mangso(a)h ing rana, ki Oentoeng pan wodak getih.

Mohon ampun, saya tidak mampu menerjemahkan petikan puisi itu ke dalam bahasa Indonesia. Saya hanya sanggup menjumput beberapa kata yang di telinga saya bunyinya seperti rangkaian nyanyi: "jaksa", "senjata", "rinasa", "rana" juga "mati", "api", "getih". Jelas, ada purwakanti, permainan rima dalam puisi. Itulah permainan yang memungkinkan pembaca atau pendengar bukan hanya untuk menyanyi melainkan juga untuk menghapal larik-larik puisi.

Gambaran lagunya dapat juga kita peroleh dari Babad Kartasura, dua jilid, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1981. Buku ini terbit atas nama Moelyono Sastronaryatmo yang disebutkan menangani alih aksara dan bahasa. Sayang sekali, tidak ada keterangan perihal manuskrip yang jadi sumbernya. Yang jelas, buku ini terdiri atas dua genre dan dua bahasa: untaian puisi terikat dalam bahasa Jawa di satu sisi dan terjemahannya yang berbentuk prosa dalam bahasa Indonesia di siai lain. Kita petik di sini salah satu lagunya dalam metrum durma beserta terjemahan dan adaptasinya dari Moelyono: 

Surapati sigra anembang tengara, para mantri glis prapti, miwah para putra, lawan para sentana, wong Bali pepak neng ngarsi, sampun siyaga, sakapraboning ajurit. 

"(Maka segera Surapati mengumandangkan gung, bende, canang, dan tambur. Datanglah para mantri, para putra, dan para abdi setia dari Bali. Mereka datang lengkap dengan persenjataan mereka)."

Seperti yang ditelaah oleh ahli sejarah Ann Kumar dalam Surapati: Man and Legend (1976), kisah Surapati terekam dalam tiga tradisi babad: Jawa belahan barat dan timur serta Blambangan. Buku karya Bu Kumar adalah salah satu buku di luar rumpun fiksi yang mengangkat legenda Surapati. Buku nonfiksi lainnya menyangkut Surapati yang juga saya ingat adalah Terbunuhnya Kapten Tack (1989) karya H.J. De Graaf, hasil terjemahan Dick Hartoko dari De Moord op Kapitein Francoise Tack (1935). Kiranya bakal menyenangkan jika di lain kesempatan buku-buku seperti ini kita bicarakan.

Tema yang Keras

Baik dalam prosa maupun dalam puisi kisah Surapati kiranya merupakan tema yang keras. Itulah kisah soal -- apa daya -- pelarian, peperangan, bunuh-bunuhan, perampokan dan percekcokan, meski juga ada bagian-bagian yang terkait pada cinta dan hubungan keluarga.

Situasi sejarah rupanya memaksa manusia seperti Surapati meninggalkan lingkungan budayanya sendiri. Ia menemukan dirinya berada di pusaran peristiwa tatkala korporasi asing dari seberang lautan, yang datang dengan kapal api yang mengangkut bubuk mesiu, mengguncang ketenangan para raja dan sunan yang wilayah kekuasaannya terancam perpecahan. Cintanya terputus oleh tatanan sosial yang maunya membedakan tuan dari hamba, dan anak yang lahir tidak sampai tersambung dengan ayah. Itu memang puisi yang musykil.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau tentang Buku

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//