• Kolom
  • MALIPIR #4: Gado-gado Racikan Tirto Adhi Soerjo

MALIPIR #4: Gado-gado Racikan Tirto Adhi Soerjo

Manusia konkret yang tampil di jagat karya fiksi Tirto Adhi Soerjo terutama datang dari tiga kalangan: nyai, dukun, dan priayi.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Sampul buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer. (Foto: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id)

15 Februari 2025


BandungBergerak.id – Muncul sekelumit kesan setelah saya membaca tiga tulisan. Ketiganya merupakan karangan Tirto Adhi Soerjo yang digolongkan sebagai fiksi dan dimuat ulang dalam biografi Sang Pemula (1985) karya Pramoedya Ananta Toer.

Ketiga karangan itu bernasib sama. Pada tiap-tiap cerita ada bagian-bagian yang hilang, tak terdokumentasikan. Kita kehilangan bagian awal “Cerita Nyai Ratna” (CNR), bagian tengah cerita “Membeli Bini Orang” (MBO), dan bagian akhir “Busono” (B). Benar-benar saya dibuat eling akan rapuhnya ingatan. Sang penyunting amat berjasa mencatat jejak langkah Tirto di jagat fiksi meski ada yang hilang pada bagian awal, tengah, dan akhir.

Siapa tahu kelak ada pembaca yang menemukan kepingan-kepingan cerita yang hilang seperti melengkapi gambar dalam jigsaw puzzle. Perihal cerita "Busono", misalnya, penyunting mencatat bahwa karangan itu mulanya ditulis dalam bahasa Belanda. Saya selalu berharap, kelak tulisan aslinya bakal ditemukan.

Baca Juga: MALIPIR #1: Marka Buku buat Hidup Santuy
MALIPIR #2: Tambahan Catatan buat Nyai Ratna
MALIPIR #3: Ke Pasircabe, Mencari Tirto

Jagat Koran dan Bahasanya

Ketiga karangan Tirto turut menandai mencuatnya peradaban kertas dan teknologi cetak-mencetak yang mewujud dalam surat kabar. Medan Prijaji, surat kabar asuhan Tirto pada awal abad ke-20, memuatnya sebagai cerita bersambung. Sekarang, berkat jasa Pram, kita bisa membacanya sekaligus kayak melahap nasi paket hemat dalam kardus. Dulu, tentu, pembaca menyimaknya fragmen demi fragmen, selaras dengan denyut nadi surat kabar dari hari ke hari, sambung menyambung jadi narasi.

Tradisi membaca secara sinambung sesungguhnya tidak hilang. Sekarang tersedia beragam aplikasi buat membaca cerita dalam format digital dari hari ke hari. Aplikasi seperti itu seakan mengganti ruangan cerita bersambung ketika koran cetak terkena pergeseran platform. Namun, saya mah masih cenderung memilih buku fisik.

Pada zaman koran cetak niscaya cerita-cerita itu berdesak-desakan dengan warta politik, advertensi, maklumat, dan sebagainya. Berbagai urusan yang pada dasarnya tidak saling berhubungan hadir bersama dalam satu ruangan. Itulah jagat koran. Fiksi ikut hadir dalam ruangan seperti itu, turut membentuk sejarah masyarakatnya sendiri.

Bahasanya adalah "bahasa Melayu rendah" –kalau saya pinjam istilah F. Wiggers dalam antologi Tempo Doeloe (1982), juga suntingan Pram. Itulah bahasa orang kebanyakan seperti yang dipakai dalam surat kabar, yang kiranya berbeda dari bahasa orang sekolahan seperti yang dipromosikan oleh Commissie voor de Volkslectuur alias Balai Pustaka. Di tangan Tirto bahasa surat kabar menyerap banyak istilah dari bahasa Sunda. Tentu, ciri itu selaras dengan latar dan tokoh ceritanya yang terpaut ke tanah Priangan.

Bagi peminat bahasa dan budaya Sunda seperti saya, karangan Tirto sangat berharga. Latar Priangan dan bahasa penghuninya tercermin di situ. Sebut, misalnya, kata salempang dari bahasa Sunda yang berarti "khawatir". Kata itu, rupanya, sudah jadi bagian yang lumrah dari percakapan tokoh-tokoh cerita yang berbahasa Melayu.

Nyai, Dukun, dan Priayi

Publikasi fiksi karya pejuang seperti Tirto, buat saya, merupakan bagian dari ikhtiar memaknai kenyataan sekalipun motif yang tampak di permukaan adalah memberikan hiburan. Setidaknya, dunia imajiner diupayakan terpaut pada dunia nyata. Baik "Cerita Nyai Ratna" maupun "Membeli Bini Orang" dikasih keterangan sebagai "cerita yang sungguh sudah terjadi" di "Jawa Kulon" atau "Priangan".

Saya tidak tahu apakah suasana hati pembaca koran awal abad ke-20 ketika menyimak sajian koran demikian seperti suasana hati pemirsa televisi atau penonton film hari ini ketika menonton tayangan "kisah nyata" alias "true story"? Boleh jadi, kata "nyata" atau "true" dalam urusan ini tidak terlalu ditekankan. Aspek "kisah" atau "story"-lah yang mungkin mendapat penekanan. Yang pasti, fiksi bisa memperkaya pembaca buat melihat dunia: memasuki rincian pengalaman manusia konkret yang jadi tokoh cerita.

Manusia konkret yang tampil di jagat fiksi Tirto terutama datang dari tiga kalangan: nyai, dukun, dan priayi. Nyai beranjak dari lingkungan lama, masuk ke lingkungan baru di rumah juragan Eropa, Eurasia, atau Timur Asing. Dukun, khususnya peramal yang mengandalkan kartu, tampak seperti residu dari tatanan lama dengan otoritasnya sendiri dalam "ilmu gaib". Priayi, terutama "priayi forum privilegiatum" atau "bangsawan staatblad" gemblengan sekolah yang berbeda dari "bangsawan asli" dan "amtenar", menemukan dirinya di pusaran sirkulasi elite masyarakat. Di sekitar tiga golongan inilah saya merasakan adanya hal yang sedang berubah di dunia manusia yang digambarkan oleh Tirto.

Kisah nyai pada masanya adalah genre tersendiri, sejenis hiburan pengisi waktu yang sarat dengan romantika. Setidaknya, saya sering teringat kisah Nyai Dasimah yang sangat terkenal dalam beragam platformnya (novel, teater, film, dsb.). Fiksi Tirto terasa masih bertautan dengan tradisi yang satu ini. Dalam "Membeli Bini Orang", misanya, ada Nyai Encéh yang pada akhirnya bisa menguasai juragannya sendiri, Acte. Genre cerita ini lama terkubur hingga Pramoedya berhasil menggalinya kembali dan mengembuskan nafas baru melalui Tetralogi Buru dengan tokohnya yang mengagumkan: Nyai Ontosoroh. Adapun sosok Tirto, kita semua tahu, jadi model bagi tokoh bangsawan fiksi Minke dalam karya tersebut.

Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers nasional, pendiri organisasi Sarekat Prijaji tahun 1906 dan surat kabar Medan Prijaji tahun 1907. (Sumber Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers nasional, pendiri organisasi Sarekat Prijaji tahun 1906 dan surat kabar Medan Prijaji tahun 1907. (Sumber Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Sidik Jari Sang Jurnalis

Jauh-jauh hari sebelum Tirto jadi model bagi tokoh fiksi, adanya kalanya Tirto sendiri menghadirkan dirinya di dalam cerita. Dia bukan hanya pencerita, melainkan juga turut jadi tokoh cerita meski keberadaannya sekadar disebut-sebut sambil lalu dalam dialog tokoh-tokoh lain yang memainkan peran dominan.

Dalam "Cerita Nyai Ratna", misalnya, ada ujaran tokoh Nyai Parminingsih, yang kesengsem oleh tokoh Sambodo, tentang hasratnya mendapat pasangan selingan: "... Satu tempo kita ingin juga menyeling makanan kita dengan gado-gado segar pedas seperti gado-gadonya Raden Mas Tirto dari Pantjaran Warta..." Dalam cerita yang sama, Parmi yang tidak bisa baca tulis dibantu Mak Dukun menulis surat cinta. Katanya, "Ai, kalau emak jadi pembantunya tuan Tirto tentu lebih maju Medan Prijaji."

Saya jadi teringat kepada sutradara Syumanjaya yang ada kalanya tersorot kamera dalam film arahannya sendiri. Dalam kesan saya, itu seperti tanda tangan atau sidik jari dalam dokumen.

Dalam perjalanan sejarah bangsanya, baik melalui karya fiksi maupun nonfiksi, Raden Mas Tirto jelas telah membubuhkan sidik jarinya.

*Kawan-kawan dapat menikmati artikel-artikel lain tentang Literasi atau tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//