MALIPIR #2: Tambahan Catatan buat Nyai Ratna
“Cerita Nyai Ratna” pernah dimuat secara sinambung di surat kabar Medan Prijaji tahun 1909. Cerita Tirto Adhi Soerjo tentang dunia para nyai di permulaan abad XX.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
1 Februari 2025
BandungBergerak.id – Dalam biografi Sang Pemula (1985) karya Pramoedya Ananta Toer terlampir tiga karya fiksi R. M. Tirto Adhi Soerjo. Dua di antaranya, yakni “Cerita Nyai Ratna” dan “Membeli Bini Orang”, digolongkan oleh penulis buku itu sebagai “cerita pop”, yaitu cerita buat menghibur pembaca. Satu lagi, yaitu “Busono”, digolongkan sebagai “jenis sastra”, yaitu cerita yang mewadahi “pergulatan” pikiran pengarangnya. Terlepas dari penggolongannya, karya fiksi Raden Mas Tirto dihadirkan dalam buku tersebut karena dapat membantu pembaca untuk “memahami masa lalu tanpa prasangka moral”.
Dalam pengantar untuk lampiran tersebut, khususnya terkait pada dua cerita yang disebutkan lebih dulu, penyunting melihat Tirto sebagai “pencerita tentang kehidupan nyai-nyai”. Nyai pada zaman kolonial adalah perempuan setempat yang hidup serumah dengan lelaki Eropa di luar ikatan pernikahan. Kedudukannya seperti selir atau gundik. Dari fiksi Tirto kita mendapat kesan bahwa pada masanya para nyai telah menjadi komunitas tersendiri dan menjadi bagian yang lumrah dari tatanan masyarakat luas, khususnya di kota besar seperti Batavia (Jakarta kini).
Ketiga cerita tersebut semula diumumkan secara sinambung dalam surat kabar pada permulaan abad ke-20. Pramoedya menghadirkannya kembali seraya membubuhkan catatan akhir pada tiap-tiap cerita. Catatannya sangat membantu pembaca dari generasi kemudian terutama untuk memahami kosa kata yang tidak lagi akrab dengan penutur bahasa Indonesia kini.
Sudah pasti saya termasuk pembaca yang terbantu sekaligus terhibur oleh publikasi ulang cerita-cerita tersebut. Sungguh tiada sedikit pun terkandung maksud berbuat lancang jika di sini saya berbagi sekelumit tambahan catatan buat salah satu di antara ketiga fiksi tersebut, yakni “Cerita Nyai Ratna”. Anggap saja catatan saya ini ungkapan terima kasih kepada para pendahulu, khususnya Bung Pram nan tangguh lagi cermat.
Bung Pram, tentu saja, tidak kenal saya. Saya mah apa atuh. Namun, alhamdulillah, semasa masih muda saya beberapa kali mewawancarainya di Utankayu, Jakarta, untuk sebuah majalah berita tempat saya bekerja pada 1990-an. “Jangan pura-pura tidak tahu! Kalau Bung pura-pura tidak tahu, saya halau Bung dari sini,” ucapnya dengan suara serak sewaktu saya datang ke rumahnya mencari konfirmasi untuk sebuah isu.
Baiklah, Bung Halau, mohon ampun kalau saya terdengar sok tahu. Saya sekadar berbagi minat terhadap “Cerita Nyai Ratna” karena dalam bahasa Indonesia yang dipakai oleh Raden Mas Tirto terdapat sejumlah kata yang berasal dari bahasa Sunda. Hal itu, tentu saja, selaras dengan latar cerita dan kepribadian tokoh-tokoh cerita. Lagi pula, pengarang membubuhkan keterangan di bawah judul bahwa peristiwa yang diceritakannya “sungguh sudah terjadi di Jawa Kulon”. Kebetulan dalam diri saya ada sedikit minat terhadap rincian kebudayaan di belahan kulon (barat) Pulau Jawa tempat masyarakat menumbuhkan bahasa Sunda.
Baca Juga: Mengupas Novel Klasik Sebagai Syarat Lulus Mata Kuliah Kritik Sastra Unpas
MALIPIR #1: Marka Buku buat Hidup Santuy
Karémbong: Pelengkap Kebaya
“Cerita Nyai Ratna”, yang pernah dimuat secara sinambung dalam surat kabar Medan Prijaji tahun 1909, kita baca dalam keadaan yang kurang lengkap. Kata penyunting, “beberapa bagian depan tidak dapat ditemukan kembali”.
Dalam percakapan antara dua tokoh pada bagian awal cerita ada kata “kerembong sutra putih”. Dalam catatan nomor 2 penyunting menerangkan bahwa istilah kerembong berasal dari bahasa Sunda dan berarti “kerudung”.
Saya agak sukar membayangkan perempuan Sunda pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 mengenakan kerudung di muka umum. Saya lebih mudah membayangkan mereka mengenakan sanggul tanpa penutup rambut.
Dalam Kamus Umum Basa Sunda terbitan Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS) kata karémbong diterangkan sebagai “papaés pakéan wanita nu dikabaya, lawon alus (sutra jsb.) at. batikan nu disalindangkeun at. disampaykeun dina taktak upama perlu dipaké tiung (penghias pakaian wanita yang berkebaya, kain bagus (sutra dsb.) atau kain batik yang diselendangkan atau disampirkan ke pundak dan kalau perlu dijadikan kerudung)”.
Kalau boleh saya tambahkan, penjelasan atas kata kerembong kiranya lebih baik “selendang pelengkap kebaya yang kalau perlu bisa dijadikan kerudung”.

Dénok: Sapaan Sayang dan Bentuk Fisik
Dalam catatannya, nomor 47, penyunting menerangkan bahwa kata dénok berasal dari bahasa Betawi dan Jawa yang maksudnya adalah “panggilan sayang untuk anak perempuan atau perempuan muda dengan konotasi pada kelaminnya”.
Kata itu hadir dalam tegur sapa antara orang yang lebih muda, seorang nyai bernama Parminingsih, dan orang yang lebih tua, seorang dukun peramal yang mengandalkan kartu. Ketika hendak berpisah, Nyai Parmi berucap, “Selamat tidur, mak.” Sebagai balasannya, Mak Dukun berucap, “Selamat jalan, dénok.”
Setahu saya, kata dénok juga dikenal baik dalam bahasa Sunda. Kamus LBSS menerangkan kata itu sebagai “rada montok, donto, tur geulis”. Kata donto disejajarkan sebagai sinonim dengan kata démplon dan bahono yang artinya “lintuh semu peungkeur (gemuk, agak pejal)”. Kandungan artinya sedikit berbeda nuansa dengan bahénol yang diartikan “lintuh matut tapi bangun teu peungkeur” (gemuk pantas tapi seperti tidak pejal).
Dalam bahasa Jawa, seperti diterangkan oleh Pramoedya, arti harfiah kata itu bersangkut paut dengan kelamin. Kiranya hal itu terpaut dengan rasa humor tersendiri. Yang pasti, dalam bahasa Sunda, arti harfiah dénok menekankan bentuk fisik yang montok atau donto dan paras yang geulis alias “cantik”.
Ada pula ungkapan terkenal dari budaya pertanian padi yang sepertinya menyiratkan gambaran hidup ideal menurut perspektif lelaki: “bojo dénok, sawah ledok”. Lebih kurang, artinya “istri cantik, sawah gembur”.
Nu: Bisa “yang”, Bisa juga “Dia”
Dalam cerita ini ada dialog antara Nyai Parminingsih dan Sambodo, mahasiswa sekolah kedokteran. Parmi terdengar sedang cemburu kepada Ratna Purnama, juga seorang nyai yang jadi kekasih Sambodo dan kebetulan sedang berada di luar kota. Ketika Parmi menyebut-nyebut nama Ratna, Sambodo berkelit dengan bertanya, “Ratna? Ratna? Siapa dia?” Seketika Parmi menukas, “Euleuh! (…) Punten nu teu aya…” Dalam catatan nomor 52 penyunting menerjemahkan kalimat “punten nu teu aya” menjadi “maaf kalau tak ada”.
Kata nu, yakni kontraksi dari anu, dalam bahasa Sunda sepadan dengan kata yang dalam bahasa Indonesia, contohnya “laku lampah (a)nu hadé” berarti “tindak-tanduk yang baik”. Bisa juga kata yang satu ini berfungsi sebagai kata ganti kepunyaan, misalnya “keun, anu déwék” berarti “itu milikku”. Ada kalanya pula kata nu menempati subjek kalimat atau menunjukkan keberadaan diri, umpamanya “mitra nu tani” berarti “kawan petani”.
Dalam dialog tadi ucapan Parmi kiranya bernada menyindir. Kata nu dalam ucapannya tampaknya menunjuk kepada Ratna yang sedang tidak berada di tempat. Karena itu, ucapan Parmi, “punten nu teu aya”, bisa mengarah ke dalam dua kemungkinan. Pertama, dia seolah-olah sedang minta maaf kepada Ratna dengan mengatakan, “Maaf kepada (orang) yang sedang keluar”. Kedua, dia mungkin menyindir Sambodo dengan mengatakan “Maaf, orangnya sedang keluar”. Kemungkinan kedua, buat saya, terasa lebih dekat, karena boleh jadi ungkapan “punten nu teu aya” di situ sama dengan “punten nuju teu aya”. Kata nuju berarti “sedang”.
Ketimbang menerjemahkan ucapan itu menjadi “maaf kalau tak ada”, saya cenderung menerjemahkannya, “maaf, dia sedang keluar”.
Umpatan “pejajaran” dan Istilah Sunda lainnya
Ada sepatah kata yang membuat saya terpikat tapi keterangan dari Pramoedya tidak sampai membuat saya merasa pasti. Kata itu adalah pejajaran yang menurut dugaan penyunting merupakan “kata makian yang mungkin berasal dari nama Pajajaran”. Selain itu ada sejumlah istilah dari bahasa Sunda yang luput dari catatan penyunting, seperti cékcék bocék, érét, pégo, dan tungkul.
Diskusi mengenai kata-kata itu mungkin sebaiknya kita lakukan di lain kesempatan. Lagi pula, biar kita membaca buku dengan cara yang semakin woles. Biar lambat asal tamat. Adapun kata-kata seperti yang kita bicarakan di sini merupakan jendela pertama yang patut kita buka untuk melihat dunia. Itulah dunia nyai-nyai pada permulaan abad ke-20 yang dilukiskan oleh almarhum Raden Mas Tirto dalam “Cerita Nyai Ratna”.
*Kawan-kawan dapat menikmati artikel-artikel lain tentang literasi atau tentang buku