• Kampus
  • Mengupas Novel Klasik Sebagai Syarat Lulus Mata Kuliah Kritik Sastra Unpas

Mengupas Novel Klasik Sebagai Syarat Lulus Mata Kuliah Kritik Sastra Unpas

Lewat diskusi novel klasik, mahasiswa Sastra Inggris Unpas menuliskan dan melisankannya di ruang diskusi. Pendekatan menarik untuk mata kuliah kritik sastra.

Mahasiswa peserta mata kuliah kritik sastra Unpas, Bandung, mendiskusikan sastra klasik di Perpustakaan Ajip Rosidi, Kamis, 23 Januari 2025. (Foto: Fauzan Rafles/BandungBergerak)

Penulis Fauzan Rafles 24 Januari 2025


BandungBergerak.id“Sudah teruji oleh waktu,” ucap Hawe Setiawan, ketika ditanya alasan mengapa menyuruh mahasiswa/i-nya membaca karya klasik dari masa lampau, yang menjadi syarat lulus mata kuliah Literary Criticism di jurusan Sastra Inggris Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.

“Tujuannya memilih klasik itu supaya nyambung dengan tradisi sastranya. Anak-anak juga jadi connected to the global literary tradition-nya. Harapannya sih begitu,” tambah budayawan yang juga dosen DKV FISS Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.

Hawe Setiawan dan Hafidz Azhar selaku dosen pengampu mata kuliah Literary Criticism di jurusan Sastra Inggris Unpas mengusulkan dua novel klasik: Mrs. Dalloway (1925) karya Virginia Woolf dan The Sun Also Rises (1926) dari Ernest Hemingway. Para mahasiswa/i diberi kebebasan untuk memilih salah satu dari dua novel tersebut sesuai dengan minat masing-masing.

Setelah memilih, para mahasiswa/i diharuskan untuk menulis jurnal dengan tulisan tangan setiap selesai membaca. Membuat tulisan dari tulisan. Lalu di akhir periode, saat Ujian Akhir Semester (UAS) mereka dibuatkan acara diskusi novel di perpustakaan Ajip Rosidi.

Selain untuk memenuhi syarat lulus mata kuliah, acara ini sekaligus menambah ilmu kritik sastra para mahasiswa/i. Kamis, 23 Januari 2025, mereka telah membuktikan hasil tulisan mereka dan berhasil melisankannya dengan baik di ruang diskusi.

Tujuan utama dari menjurnal sendiri adalah untuk merangsang motorik tulis tangan mahasiswa/i di era modern yang sudah terpapar oleh teknologi sejak lahir. Tujuan lainnya adalah membangun pengalaman membaca perlahan atau yang sering dikenal dengan istilah slow reading; membaca dari hari ke hari, minggu ke minggu.

“Tiap selesai membaca, mudah-mudahan mereka mencatat response mereka. Ujian tengah semesternya juga dinilai berdasarkan catatan hariannya. Seberapa jauh intensitas mahasiswa itu membaca sastra, kan, bisa dilihat dari tulisan tangannya,” ujar Hafidz.

Hawe Setiawan menambahkan, melalui metode ini ia ingin mengenalkan perbedaan antara writing dan typing. “Sekarang banyak yang kehilangan disiplin handwriting itu. Zaman sekarang manusia itu mengetik dan bukan lagi menulis,” katanya.

Semakin klasik maka semakin menarik imajinasi membacanya. Menurut Hawe, dengan membaca novel dari masa lalu dapat memberikan bayangan kepada manusia modern tentang kejadian yang terjadi di zaman dulu. London yang digambarkan oleh Charles Dickens pada era Victoria abad ke-19 contohnya. London yang berlumpur pada zaman itu tentulah berbeda dengan apa yang kebanyakan masyarakat lihat di zaman sekarang.

Untuk pemilihan novel, Hawe memiliki filosofi tersendiri. Ia memilih Mrs. Dalloway sebab walaupun latar waktunya hanya sehari, namun buku ini melahirkan banyak cerita mendalam. Dan faktor yang kedua, karya ini ditulis oleh perempuan. Di zaman itu, perempuan menghadapi banyak tantangan dan hambatan yang membatasi kreativitas dan peluang mereka untuk berkarya.

Novel lainnya ialah The Sun Also Rises. Tujuannya sederhana, yaitu untuk memberi kontras karena karya ini ditulis oleh laki-laki yang memberikan kesan lebih maskulin. Gaya penulisannya pun berbeda. Buku ini menggambarkan kehidupan para ekspatriat Amerika di Paris dan Spanyol setelah Perang Dunia I.

Baca Juga: Satu Dekade Kawah Sastra Ciwidey, Geliat Gairah Sastra di Ciwidey Raya
Kongres Bahasa Indonesia: Cikal Bakal Bulan Bahasa dan Sastra
Pengumuman Hadiah Sastera Rancage 2024, Jumlah Penulis Buku Anak Sunda dan Sastra Daerah Berkurang?

Mahasiswa peserta mata kuliah kritik sastra Unpas, Bandung, Kamis, 23 Januari 2025. (Foto: Fauzan Rafles/BandungBergerak)
Mahasiswa peserta mata kuliah kritik sastra Unpas, Bandung, Kamis, 23 Januari 2025. (Foto: Fauzan Rafles/BandungBergerak)

Memancing Daya Baca Gen Z

Di angkatan sebelumnya, praktek UAS mata kuliah ini adalah hanya membuat esai 1.000 kata dari novel yang telah dibaca. Namun, setelah melakukan evaluasi, menurut kedua dosen tersebut ujian itu belum terlalu efektif.

“Saya melihat anak-anak cenderung lambat dalam membaca buku. Jadi saya menyuruh mereka berdiskusi saat UAS. Dengan acara, nuansa, dan tempat baru, sekaligus mempromosikan perpustakaan Ajip Rosidi, ini lebih efektif dari hanya menulis esai,” Jelas Hafidz.

Dari tulisan harian mereka, para dosen menilai dari segi pemetaan dan kepiawaian para mahasiswa/i menceritakan ulang novel tersebut. Itulah mengapa para mahasiswa harus sepandai mungkin menginterpretasikan hasil bacaan mereka.

“Dari terobosan ini, saya berharap mahasiswa bisa melanjutkan budaya ini di luar mata kuliah. Jadi mereka juga bisa kasih komentar, analisis, dan bercerita. Yang mana itu adalah bagian dari kritik sastra sendiri,” ucap Hafidz.

Hal ini terbukti setelah salah satu mahasiswi pembaca Mrs. Dalloway, Tasya (20 tahun) berkata: “ini tuh bermutu banget. Aku jadi tau perspektif teman-temanku. Diskusi ini juga gak formal, jadi aku senang banget ngejalaninnya dan jadi lebih mudah untuk memahami apa yang aku gak ngerti dari bukunya.”

Ungkapan Para Mahasiswa/i Tentang Diskusi Buku

Salah satu moderator untuk buku Mrs. Dollaway, Haykal (20 tahun) mengatakan, acara ini bukan hanya untuk mendapat nilai. Tapi, UAS ini sangat penting bagi dirinya dalam menganalisis, menambah wawasan, dan kosa kata bahasa Inggris. 

Rekannya yang lain, yaitu Tarish Khalisya (19 tahun) ikut berpendapat: “UAS yang bisa didiskusikan kayak gini jadi pembuktian kalo kita beneran baca atau tidak. Angkatan kita juga jarang sharing apalagi soal buku. Jadi ini salah satu kesempatan buat membahas lebih dalam soal novel. Ini worth it banget menurutku.”

Tarish memilih buku Mrs. Dalloway karena feminisme yang digambarkan dalam buku tersebut. Selain itu, temannya yang juga memilih novel yang sama, Tasya (20 tahun) tertarik karena Virginia Woolf dapat menggambarkan perasaan perempuan secara menyeluruh.

Berbeda dengan para pembaca karya Ernest Hemingway, Angga (19 tahun) selaku pemateri untuk buku ini menafsirkan, Hemingway ingin menyampaikan bahwa kebahagiaan itu tidak ada ujungnya.

Rekannya, Dhiyaa (19 tahun) ikut menekankan bahwa di buku tersebut ada pertemanan dan percintaan yang toxic. “Ada maksiat juga kayak alkohol dan seks bebas. Itu kan zaman sekarang banget. Ini tuh kayak ramalan buat zaman sekarang yang ditulis dari zaman dulu.”

Angga dan Dhiyaa merasa bahwa mereka sangat terbantu dengan acara diskusi seperti ini. Bagi mereka, UAS ini tidak terasa seperti ujian melainkan seperti tempat berbagi ilmu dan menambah wawasan. Mereka sangat terbantu karena dengan berdiskusi, mereka jadi mengetahui detail-detail kecil yang luput dari analisa mereka.

Tentunya, cara ini juga menjadi pemantik bagi mereka untuk membaca karya sastra klasik lainnya dan dituliskan kembali dalam sebuah jurnal seperti yang Hafidz harapkan di awal. “Aku juga jadi tertarik buat ngelakuin metode ini lagi buat mengabadikan novel yang kusuka nanti,” ujar Angga.

Di tahun depan sendiri, sepertinya sistem ini akan kembali diterapkan oleh Hawe namun dengan buku yang berbeda. “Mungkin masih novel klasik tapi kita coba yang deket sama Asia. Supaya mahasiswa lebih relevan budayanya.”

Hawe juga mengemukakan alasannya masih memilih novel klasik untuk tahun depan adalah karena sudah banyak manusia yang cenderung melupakan karya klasik. Di zaman yang serba internet ini, para mahasiswa akan sangat mudah terpapar karya populer.

Mahasiswa/i pun pasti lebih pandai dalam mencari karya modern lainnya melalui internet. Di situlah krusialnya mata kuliah Literary Criticism ini; agar mengenalkan kembali manusia modern dengan karya-karya klasik.

“Internet ini dikatakan bisa mematikan minat baca sastra. Tapi internet juga bisa membuka banyak peluang untuk tetap menggauli buku. Seperti blog blog dan tulisan sastra berlangganan di internet lainnya,” jelas Hawe.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Sastra 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//