MALIPIR #3: Ke Pasircabe, Mencari Tirto
Perjalanan mencari Pasircabe, yang menjadi latar cerita Busono, satu dari tiga fiksi Tirto Adhi Soerjo pada biografi Sang Pemula (1985) karya Pramoedya Ananta Toer.
Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
8 Februari 2025
BandungBergerak.id- Sehabis membaca "Busono" karya Tirto Adhi Soerjo saya mencari Pasircabé yang jadi latar cerita itu. Kata pengarangnya, tempat itu adalah "sebuah desa di daerah Priangan".
Cerita "Busono" adalah salah satu di antara tiga fiksi karangan Tirto yang dimuat dalam biografi Sang Pemula (1985) karya Pramoedya Ananta Toer. Pram menilai cerita ini sebagai "jenis sastra", tidak seperti dua cerita lainnya yang dinilainya sebagai "cerita pop". "Busono" juga dianggap "karya fiksi yang berkadar otobiografis".
Judul cerita diambil dari nama tokoh utama. Ia orang terpelajar lulusan sekolah kedokteran yang memilih jurnalisme sebagai bidang profesinya. Tidak sudi ia jadi pangreh praja yang menghamba kepada juragan Eropa. Ia merintis penerbitan surat kabar bumiputra untuk menggugah kesadaran kolektif dan mendorong berbagai usaha partikelir yang mandiri. Penerbitannya terbilang sukses meski rintangan dan tantangannya tidak ringan. Ringkasnya, Busono terlihat seperti Tirto.
Sayang, publikasi ulang "Busono" dalam Sang Pemula tidak utuh. Cerita terbaca hanya separuh. Pembaca harus kecewa dengan keterangan yang dicetak tebal: "(tidak selesai)".
Sebetulnya, dua patah kata dalam dua tanda kurung itu bisa merangsang imajinasi pembaca buat mereka-reka sendiri beberapa kemungkinan logis lanjutan kisah ini. Teks utama dalam Sang Pemula, yakni biografi Tirto sebagai perintis pers dan gerakan kebangsaan bumiputra awal abad ke-20, bisa dijadikan dasar pertimbangan tersendiri.
Saya tidak pandai menulis fiksi. Saya hanya sanggup memperhatikan latar cerita. Tentu, tempat yang muncul dalam cerita merupakan tempat imajiner, tidak mesti sama dengan tempat yang tercatat dalam peta. Namun, buat saya, tempat dalam karya sastra bisa dikaitkan dengan tempat dalam peta. Penglihatan atas tempat dalam peta merupakan kesenangan tersendiri untuk memperkaya penglihatan atas tempat dalam karya sastra, dan sebaliknya. Singkatnya, karena senang membaca cerita “Busono”, saya terdorong mencari tempat yang sedikit banyak cocok dengan deskripsi pengarang.
Penulis Michael Pearson mengemudi mobil ke sejumlah kota yang disebut-sebut dalam sekian karya sastra Amerika. Membaca buku dan keluyuran bukanlah dua hal yang bertentangan. Filolog J. J. Noorduyn merekonstruksi peta topografi Pulau Jawa berdasarkan manuskrip Bujangga Manik. Ia menelisik naskah seraya membentangkan geografi. Kenapa pula saya tidak sanggup untuk sekadar menunggang motor tua kesayanganku ke Pasircabé?
Baca Juga: MALIPIR #1: Marka Buku buat Hidup Santuy
MALIPIR #2: Tambahan Catatan buat Nyai Ratna
Desa Dekat Kota
Dalam catatan akhir nomor 35, penyunting tidak menemukan toponimi tersebut dalam beberapa sumber data yang diandalkannya. "Nampaknya," catat Pram kemudian, "ia tak suka menyebutkan nama desa yang sesungguhnya, sebagaimana halnya nama sejumlah orang dalam tulisannya ini".
Diksi “nampaknya”, tentu, menyiratkan keraguan. Itu sebabnya saya lebih tertarik oleh informasi yang terkandung dalam deskripsi Tirto sendiri. Begini bunyinya: "Pasircabé adalah sebuah desa berpenduduk padat. Sebuah halte kereta api ada di tengah-tengahnya sedang jaraknya dari kota Bandung hanya tiga pal". (hal. 405).
Jarak 1 pal lebih kurang setara dengan 1,5 kilometer. Artinya, Pasircabé-nya Tirto berjarak sekitar 45 km dari tempat tinggal saya di Bandung. Menurut catatan penyunting, koran Utusan Jawa yang diterbitkan Busono "maksudnya adalah: Sunda Berita" yang diterbitkan Tirto di Cianjur. Adapun tokoh bupati lanjut usia yang menyokong usaha Busono adalah Bupati Cianjur R. A. A. Prawiradiredja.
Seperti dicatat oleh antara lain Ahmat Adam dalam, The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1994), Soenda Berita merupakan surat kabar pertama yang diterbitkan oleh bumiputra. Tanggal kelahirannya, 17 Agustus 1903, kelak bertepatan dengan hari kemerdekaan. Dalam kisah “Busono”, Kanjeng Bupati menyarankan agar surat kabar yang hendak diterbitkan oleh sang perintis dicetak di Pasircabe saja.
Walhasil, Pasircabe yang harus saya kunjungi mestinya terletak di Kabupaten Cianjur. Petunjuknya lagi-lagi dari pengarang “Busono”: desa berpenduduk padat yang ditandai dengan rel dan halte kereta serta kantor percetakan niscaya telah tersentuh peradaban kota. Lagi pula, ketika jurnalis Busono hendak menghadap kepada Kanjeng Bupati, dia cukup naik sado. Jadi, Pasircabe niscaya tidak jauh-jauh amat dari pendopo atau pusat kota.
Pasircabé dan Pasirhayam
Saya buka Peta Google. Di sekitar Cianjur ada tiga tempat yang namanya Pasircabé. Dua di antaranya merupakan kawasan pegunungan atau jalur pendakian. Saya tidak tergerak ke situ karena sulit membayangkan orang mencetak surat kabar di puncak bukit nan jauh dari kota, terlebih-lebih di Indonesia awal abad ke-20. Seorang teman dari Cianjur menunjukkan satu lokasi dengan toponimi tersebut yang dekat ke pusat kota, tak jauh dari rel kereta. Ke situlah saya bersama fotografer Dicky Purnama Fajar beranjak dari Bandung.
Dicky bukan hanya fotografer yang baik melainkan juga pengendara motor yang tabah. Kendaraan kami sudah berumur 23 tahun dengan kapasitas silinder hanya 100 CC. Sambil meliuk-liuk di antara Bandung dan Cianjur, dia terampil mencari celah di sela-sela konvoi truk raksasa yang tiada hentinya mengangkut bongkahan batu kapur dari gunung ke pabrik di sepanjang Citatah.
Sesampainya di Cianjur kami berhenti di sebuah pintu lintasan kereta, tidak jauh dari Terminal Pasirhayam. Lalu-lintas ramai sekali. Warung-warung berderet di tepi jalan, begitu pula rumah-rumah penduduk setempat. Di tepi rel masih ada sebuah bangunan kecil bekas halte. Nama “Pasirhajam” (dengan ejaan lama) masih tertera pada tembok bangunan. Jaraknya sekitar 68 kilometer dari Bandung, dan sekitar 5,4 kilometer dari pendopo kabupaten Cianjur. Letak halte dan bentangan rel yang membelah kampung mengingatkan kami pada deskripsi Pasircabe dalam karangan Tirto.
Memang, namanya “Pasirhayam”, bukan “Pasircabe”. Namun, tidak begitu jauh dari situ, sekitar 10 menit naik motor melintasi Jalan Perintis Kemerdekaan, kami sampai ke sebuah kampung yang bernama Pasircabe. Kampung itu termasuk ke dalam wilayah Desa Rahong, Kecamatan Cilaku. Letaknya tinggi di lahan yang membukit. Di sekelilingnya masih terhampar lahan sawah meski kian terdesak oleh pembangunan kawasan perumahan, sementara bukit-bukit di sekitarnya cenderung tergerus oleh pertambangan pasir.
Di teras Posyandu yang memasang nama “Pasircabe” pada fasadnya, di pinggir selokan yang mengairi sawah, kami berbincang-bincang dengan seorang penduduk setempat. Pak Suryana (50 tahun) sudah seperempat abad tinggal di kampung itu. Ia biasa bekerja menaikkan pasir ke atas truk. Pagi itu, kebetulan, tidak ada truk yang datang. Sambil memperkenalkan diri, saya bercerita tentang Tirto Adhi Soerjo, sang perintis gerakan kebangsaan yang pernah berjuang di Cianjur. Ia menimpali cerita saya dengan menyebut-nyebut nama jalan utama di dekat kampung itu: “perintis kemerdekaan”. Pikir saya, boleh juga, tuh.
Tidak jauh dari situ, masih di kawasan Pasircabe, ada sebuah kuburan keramat tempat bersemayamnya keturunan Bupati Cianjur masa silam R. A. A. Wiratanudatar alias Dalem Cikundul. Mayarakat setempat menyebutnya “Makam Gunung Jati”. Letaknya di puncak bukit pula, dengan ratusan anak tangga yang membawa pengunjung dari pelataran parkir ke tempat ziarah. Kami pun memungkas kunjungan hari itu dengan turut memanjatkan doa di depan pusara R. A. A. Natadimanggala.
Dengan cara itu, saya merasa sedang meneladani adab jurnalis Busono ketika dia baru saja menyepi di Pasircabe sebagai korban intrik politik di Batavia. Ia harus melaporkan keberadaan dirinya sebagai bangsawan kepada Kanjeng Dalem Prawiradiredja.
*Kawan-kawan dapat menikmati artikel-artikel lain tentang literasi atau tentang buku