• Kolom
  • MALIPIR #5: Untung, Ada Surapati

MALIPIR #5: Untung, Ada Surapati

Kisah Surapati seperti sang pahlawan itu sendiri yang tak mudah mati: melintas dari satu ke lain zaman, dari babad ke novel, dari Melati van Java hingga Abdoel Moeis

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Abdoel Moeis. (Foto: Hawe Setiawan)

22 Februari 2025


BandungBergerak.id – Kapan teman-teman pertama kali mendengar nama Untung Surapati? Seingat saya, guru kami di sekolah menengah sering menyebut-nyebut novel karya Abdoel Moeis: Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953).

Buat pecinta buku di Bandung, Surapati –juga Abdoel Moeis– bukan nama asing. Ia jadi nama jalan. Jalannya tersambung dengan jalan lain, dan orang kenal akronim "Suci": Surapati-Cicaheum. Dulu, pada dasawarsa 1920-an, pernah ada koran berbahasa Sunda, mula-mula terbit di Sukabumi lalu hijrah ke Bandung, dengan nama "Soerapati" pula. Nama besar yang satu ini juga diabadikan dalam sebuah puisi Sunda karya Yus Rusyana yang ditulis di Garut pada 1960.

Sekadar memulihkan ingatan, baik saya catat dulu tokoh utama yang satu ini. Kata si empunya cerita, mulanya dia dikenal sebagai Si Untung. Dia anak Bali yang dijadikan budak Eropa, dijual di Makassar, diboyong ke Jakarta. Di masa dewasanya dia menemukan cinta pada perempuan Belanda, anak majikannya, lalu membebaskan diri dengan melawan Kompeni, dan lari membawa rombongan ke pegunungan Priangan. Sultan Cirebon memberinya nama Surapati. Pada gilirannya dia jadi orang penting di Kartasura, di lingkungan keraton Mataram, dan setelah kecamuk perang, sunan Mataram, Amangkurat II, memberinya wilayah Pasuruan dan memberinya nama Tumenggung Wironegoro.

Sampul buku Surapati (kiri) dan Robert Anak Surapati (kanan) karya Abdoel Moeis. (Foto: Hawe Setiawan)
Sampul buku Surapati (kiri) dan Robert Anak Surapati (kanan) karya Abdoel Moeis. (Foto: Hawe Setiawan)

Pintu ke Masa Lalu

Tokoh ini muncul lagi dalam ingatan ketika baru-baru ini saya mengulang baca Tempo Doeloe (1982), "antologi sastra pra-Indonesia" suntingan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang pernah jadi dosen sejarah. Perhatian saya terpikat oleh fragmen dari karya F. Wiggers, "Dari Boedak sampe Djadi Radja" (1898). Itu kisah Surapati yang didasarkan atas karya Melati van Java, nama samaran Nicolina Maria Christina Sloot. Ada fragmen dari karya Melati yang diindonesiakan oleh Dick Hartoko dalam Bianglala Sastra (1979). Berkat laman Delpher.nl,  saya mendapat dua jilid cetakan ke-2 karya Melati, Soerapati: Historisch Romantische Schets uit de Geschiedenis van Java (1907).

Begitulah, buku adalah pintu ke masa lalu. Sehabis membaca sebuah buku, saya terdorong untuk membaca buku sejenis dari penulis terdahulu. Para penulis buku toh selalu berdiri di pundak para pendahulu. Para peneliti menyebutnya “referensi” yang suka mereka catat dalam “daftar pustaka” seperti itinerari buat berwisata. Beranjaklah pembaca dari buku ke buku, seperti meneladani sang editor dari Bukhara yang melacak sumber cerita tentang sabda dan perbuatan Nabi sambil beringsut dari masa kini.  

Coba simak keterangan dari Balai Pustaka yang menerbitkan Surapati karya Abdoel Moeis: "Roman sejarah Untung Surapati karangan Abdoel Moeis ini diangkat dari buku Babad Tanah Jawa (Dr. F.W. Stapel), Sejarah Indonesia (Sanusi Pane) dan Si Untung (Melati van Java)".

Abdoel Moeis sendiri, dalam catatan penutup novelnya mengatakan, "Di mana penulis-penulis sejarah itu antara yang satu dengan yang lain agak bertentangan dalam uraiannya, adalah pengarang melakukan pemandangan dan membubuh kesimpulannya sendiri."

Ringkasnya, kisah Surapati memang seperti sang pahlawan itu sendiri yang tidak mudah mati: melintas dari satu ke lain zaman, dari babad ke novel, dari Melati van Java hingga Abdoel Moeis.

Baca Juga: MALIPIR #2: Tambahan Catatan buat Nyai Ratna
MALIPIR #3: Ke Pasircabe, Mencari Tirto
MALIPIR #4: Gado-gado Racikan Tirto Adhi Soerjo

Dari Melati ke Moeis

Karya Melati masih saya baca, sangat lambat karena rintangan bahasa. (Kiranya bisa kita bicarakan di lain kesempatan). Adapun karya Moeis terbaca hingga habis.

Hingga batas tertentu, Surapati karya Moeis seperti adaptasi. Setidaknya, pada Bab 6 dan Bab 7, misalnya, terasa sekali adanya jejak Melati. Sekadar gambaran, baik kita petik di sini paragraf pembuka Bab 6:

"Sinar matahari yang hendak terbenam, bagai menurunkan cahaya sepuhan emas ke lembah-lembah di kaki Gunung Gede, di mana Sungai Cikundul berliku-liku mencari jalan guna mengalirkan airnya keluar dari gunung itu. Gunung Gede, raksasa di pegunungan Priangan, berdiri teguh, di tengah-tengah alam sekelilingnya, seolah-olah menjadi pengawal daripada segala makhluk yang berdiam di daerahnya."

Bandingkan dengan deskripsi pembuka jilid pertama Soerapati karya Melati van Java:

"De laatste schaduwen van den dag vielen neer op het rotsachtige dal, waardoor de Tji-Kendoel, -- een kleine rivier, die aan den voet van den Preangerreus, den Gedeh, ontspringt haar wateren wringt; ... Met nog donkerder schaduwen, daar waar de kraters en afgronden  gaapten, stond de bergreus te midden van de lagere toppen, als een koning tusschen zijn hofhouding."

Tentu, ada pula bedanya. Melati mengawali kisah Surapati dari tengah ketika sang tokoh sudah dirundung masalah: masalah dengan cintanya kepada Suzanne, masalah dengan Kompeni, juga masalah dengan cita-citanya sendiri. Moeis mengambil ancang-ancang jauh ke belakang, ke masa-masa awal kedatangan orang-orang Belanda di pelabuhan Jakarta.

Dengan latar belakang yang jauh di masa silam, Moeis menuturkan kisah Surapati dalam garis lurus: sejak masa kanak menuju dewasa hingga tua. Perjalanan dan peperangan jadi bagian penting dari kisahnya hingga pada gilirannya sang tokoh dan sahabat dekatnya menemui akhir yang gagah di medan laga. Lampiran penutup disertakan pula untuk mencatat apa yang kemudian berlangsung dalam sejarah Jawa sepeninggal Surapati.

Dua Generasi

Untuk sosok Surapati, ungkapan "budak jadi raja" sama sekali bukan ejekan, tidak seperti ungkapan "Petruk jadi raja" yang mengundang cibiran. Kita toh bisa membedakan antara kekuasaan sebagai ikhtiar menjaga kedaulatan dan kekuasaan sebagai petualangan mencari kedudukan.

Kisahnya terasa bercabang dua. Pertama, riwayat Surapati sendiri yang penuh drama, merangkak dari bawah ke atas dengan segala rintangannya. Kedua, hubungan yang rumit antara Surapati dan anaknya kelak, Robert. Di tangan Abdoel Moeis, kedua cabang naratif itu akhirnya menghasilkan keputusan untuk membuat dua novel: satu tentang Surapati, satu lagi tentang Robert.

Surapati adalah Indonesia yang menolak jadi budak dan tidak sudi dihisap oleh Kompeni. Ia mau berhubungan dengan Belanda sebagai sesama manusia, bukan sebagai hamba, seperti halnya ia tulus mencintai Suzanne. Robert adalah generasi baru yang lahir dari hubungan Indonesia-Belanda dan memilih berdiri di pihak Eropa yang memang telah mengasuhnya. Dialah anak yang mendapati dirinya berada di tengah kemustahilan menyatunya ayah dan ibu.

*Kawan-kawan dapat menikmati artikel-artikel lain tentang Literasi atau tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//