• Kolom
  • MALIPIR #8: Tokoh Sengsara dan Pembacanya

MALIPIR #8: Tokoh Sengsara dan Pembacanya

Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar menyuguhkan jagat imajiner budaya Sumatra sekaligus melontarkan kritik terhadap sebagian nilai yang hidup di dalamnya.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Merari Siregar. (Ilustrator: Hawe setiawan)

15 Maret 2025


BandungBergerak.id – “Sabarlah dahulu, nanti akan kita kenal juga dia, meskipun ia tak mengenal kita.” Itulah saran pencerita di halaman permulaan novel karya Merari Siregar, Azab dan Sengsara, yang pertama kali terbit pada 1927. “Dia” di situ adalah tokoh cerita. Kata-kata itu dapat kita jadikan acuan buat melihat lagi hubungan yang unik antara pembaca dan tokoh fiksi yang dijalin oleh pencerita. Ya, pembaca merasa kenal kepada tokoh cerita, sedangkan tokoh cerita tak pernah mengenal pembacanya.

Seperti biasanya ketika membaca buku secara perlahan-lahan, saya bersabar untuk menamatkan novel 163 halaman dalam cetakan ketiga belas dari Balai Pustaka. Selama beberapa hari membaca buku ini, saya merasa awet muda, seakan kembali ke bangku sekolah menengah tempat saya mengikuti pelajaran kesusastraan. Sesampainya di akhir halaman, tugas saya sebagai pembaca lunas sudah, dan saya ikut merasa kenal kepada Mariamin yang biasa disapa Riam. Dia adalah perempuan muda dari Sipirok, Tapanuli, yang jadi tokoh utama cerita ini alias “pokok cerita” dalam kata-kata sang pengarang.  

Namun, pengenalan saya akan sosok yang hadir dalam cerita rasanya bermasalah. Hal itu terasa dalam kaitannya dengan peran sang pencerita. Dalam novel ini pencerita dan pengarang dapat dikatakan identik, yakni Merari sendiri. Sipirok, latar kisah ini, adalah tanah leluhur sang pengarang. Di halaman-halaman penghabisan “saya” yang bercerita dalam buku ini bahkan menginformasikan bahwa lima belas tahun lamanya dia tinggal di “negeri” itu, kiranya sebelum Merari hijrah ke Jawa untuk meniti karier hingga akhir hayatnya. Adapun masalah yang rasakan kiranya timbul karena suara sang pencerita begitu menonjol di halaman-halaman buku.

Lihai memang Merari melukiskan pemandangan, menuturkan kisah, mengomentari keadaan, bahkan berceramah. Sebagai pencerita, dia pun piawai menjalin hubungan langsung dengan para pembaca, hingga pembaca merasa seakan-seakan sedang bertatap muka dengan sang pencerita. Dengan itu, dia bentangkan buhul cerita, menarik dan mengulurnya ke berbagai sudut. Bahkan di sela-sela ceritanya dia sisipkan pula cerita lain sebagai tamsil buat cerita pokok hingga novel ini, dalam batas-batas tertentu, menyerupai cerita berbingkai. Menghadapi pencerita seperti ini, saya merasa seperti sedang menghadapi figur sejenis Ajo Sidi yang dalam masa-masa kemudian kita kenal melalui cerpen “Robohnya Surau Kami” dari A.A. Navis.

Baca Juga: MALIPIR #6: Surapati dalam PuisiMALIPIR #7: Dari Kemelut di Kartasura

Jagat Imajiner Budaya di Sumatera

Sebagai pengarang dari Sipirok yang menjadikan daerah asalnya sebagai latar cerita, Merari turut memperkenalkan budaya Batak. Ia menggambarkan, misalnya, sistem kekerabatan atau “perkauman”, adat dan tata cara pertunangan dan pernikahan, mata pencaharian penduduk setempat, dan sudah pasti bentang alam dataran tinggi yang dipagari oleh Gunung Sibualbuali. Sejumlah catatan kaki disertakan pula, terutama untuk menjelaskan istilah setempat, misalnya boli atau sere yang berarti “mas kawin”.

Prinsip kesalehan yang bersumber dari Islam juga terasa dari bentangan ceritanya. “Agama itulah yang menghiburkan hati kita yang gundah gulana sebab keazaban dunia, karena firman Tuhan kita ketahui, hidup di dunia yang sengsara itu akan bertukar dengan kesenangan yang kekal di akhirat,” tulis sang pengarang.

Inilah salah satu novel dari Balai Pustaka yang menyuguhkan jagat imajiner dalam kerangka budaya di Sumatra sekaligus melontarkan kritik terhadap sebagian nilai yang hidup di dalamnya. Sasaran gugatannya adalah “adat kuno” dan “tahayul” menyangkut perjodohan yang dituduh telah menyebabkan “azab dan sengsara” pada kaum muda seperti Riam dan kekasih hatinya, Aminu’ddin. Berkarib sejak masa kanak, bahkan berkaum pula, Riam dan Udin tak sampai mewujudkan jalinan cinta kasih dalam rumah tangga yang mereka impikan. Riam ditampilkan sebagai “kurban” dengan kesengsaraan yang hanya bisa berakhir dengan kematian.

Masalah yang saya rasakan tadi tiada lain dari kesan yang menunjukkan bahwa tokoh cerita seperti Mariamin dan Aminu’ddin kiranya dapat dikatakan sebagai tak lebih dari duta kesengsaraan yang diutus oleh pengarang yang memerlukan tamsil bagi kritiknya atas tatanan adat yang dianggap “kuno”. Dengan melukiskan “azab dan sengsara” yang merundung mereka, pengarang hendak menekankan bahwa jika kaum tua terus-menerus menjodoh-jodohkan anak-anak mereka dan tidak menghentikan kepercayaan kepada datu alias “tukang tenung” atau “dukun”, maka kesengaraan bakal menyiksa kaum muda.

Rasanya, tidak tersedia ruang yang cukup leluasa bagi tokoh cerita seperti Riam dan Udin untuk bersuara sendiri atau bertingkah polah menurut kata hati sendiri, di luar batas-batas harapan sang pencerita atau pengarang. Bayangkanlah, misalnya, kemungkinan lain sebagai konsekuensi dari pertemuan kembali kedua kekasih itu di Medan setelah mereka punya pasangan hidup masing-masing. Dengan kata lain, sebagaimana kaum muda dalam tamsil Merari terkungkung adat, tokoh cerita seperti Riam dan Udin tampaknya mengalami nasib serupa dalam kungkungan pengarang atau pencerita. 

Terlepas dari hal itu, boleh dong saya sedikit melenceng, sekadar untuk berterima kasih kepada mendiang Merari Siregar yang kata-katanya saya kutip tadi. Sedikit banyak, hubungan unik antara pembaca dan tokoh cerita tak ubahnya dengan apa yang lazim terjadi di antara orang banyak dan orang besar atau terkenal. Orang-orang besar, atau setidak-tidaknya orang-orang terkenal, selalu muncul di halaman hidup kita sehari-hari. Kita merasa tahu seluk-beluk hidup mereka, bahkan sanggup mengomentari tindak-tanduk mereka. Namun, mereka sama sekali tidak mengenal diri kita.

Saya jadi teringat kepada Subcomandante Marcos yang selalu menutupi wajahnya dengan topeng kayak musisi dan vokalis band Sukatani. Topengnya seakan menghalangi kita untuk mengenal dia.  Sebaliknya, konon sempat dia naik sepeda motor dengan membawa notes buat mencatat suara dan mengenal orang banyak yang dia jumpai dalam perjalanannya. Saya yakin, figur seperti itu terbilang langka.

Saya yakin, sebagian besar orang terkenal tampil tanpa catatan serupa itu. Alih-alih menyapa orang banyak, mereka malah suka memaksa orang banyak agar menyingkir dari jalan dengan sirine pengawal yang meraung-raung seperti tanda bahaya. Jangan heran jika mereka tak sanggup menyentuh “azab dan sengsara” yang merundung orang banyak.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//