• Kolom
  • MALIPIR #7: Dari Kemelut di Kartasura

MALIPIR #7: Dari Kemelut di Kartasura

Sejarawan Belanda de Graaf menggambarkan sosok Surapati dari perspektif Kompeni. Surapati tentu saja bukan pahlawan melainkan "si pemberontak", bahkan “bandit”.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Sampul buku Terbunuhnya Kapten Tack: Kemelut di Kartasura Abad XVII karya H. J. de Graaf terjemahan Dick Hartoko. (Foto: goodreads.com)

8 Maret 2025


BandungBergerak.id – Sehabis membaca kisah Untung Surapati dalam novel dan puisi, saya berpaling ke dalam karya nonfiksi. Rasanya, tidak ada buku yang lebih tepat dalam tema ini daripada karya pakar sejarah Jawa terkemuka Dr. Hermanus Johannes de Graaf (1899-1984).

Judul bukunya seperti judul cerita detektif. Ini dia: Terbunuhnya Kapten Tack: Kemelut di Kartasura Abad XVII (1989). Buku 151 halaman ini merupakan hasil terjemahan Dick Hartoko dari disertasi H. J. de Graaf, "De Moord op Kapitein Francoise Tack, 8 Februari 1686" (1935). Inilah buku ke-7 dalam publikasi terjemahan "seri Javanologi" oleh penerbit Pustaka Utama Grafiti di Jakarta.

Saya masih kuliah ketika pertama kali melihat buku ini di sebuah toko buku di Jalan Merdeka, Bandung. Dalam kesan saya, baik pada masa muda dulu maupun pada masa tua kini, membaca buku yang satu ini tetap mengasyikkan. Tak tahulah apa sebabnya. Mungkin salah satu faktornya adalah cara sang sejarawan menulis. Seperti ini misalnya: "Sekurang-kurangnya Kompeni kini menjadi maklum akan keinginan Sunan. Tetapi sekonyong-konyong Surapati, si petualang dari Bali itu, tampil menyuramkan segalanya".

Tentu, ada bedanya pengalaman membaca buku sejarah dari membaca novel sejarah. Kisah Surapati dari Melati van Java, misalnya, langsung mengajak kita ke pedalaman hutan Priangan tempat tokoh cerita melakukan petualangan. Buku De Graaf tidak ujug-ujug masuk ke pokok masalah melainkan memaparkan dulu sumber-sumber datanya sebelum menggambarkan "situasi" yang melingkupi peristiwa sejarah, pangkal kejadiannya hingga ujungnya. Begitulah, jika novel sejarah memanfaatkan dan menuturkan fakta, buku sejarah menggali dan memeriksa fakta.

Untuk menulis disertasinya, De Graaf menggali sumber yang sangat kaya, bukan hanya sumber-sumber Belanda, seperti arsip VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie = Persekutuan Dagang Hindia Timur), melainkan juga sumber Jawa baik "olahan Kompeni" maupun "sumber Jawa asli".  Babad Tanah Djawi suntingan Meinsma termasuk di dalamnya, dan memberi De Graaf antara lain bahan untuk meringkas riwayat Surapati sebelum "periode Kartasura".

Seperti tercermin dari judulnya, buku ini bukan tentang Surapati melainkan tentang Kapten Tack, bukan tentang perlawanan pribumi melainkan tentang pasang-surut Kompeni. Lampu sorot diarahkan kepada tewasnya Kapten François Tack, duta istimewa VOC, sebagai "peristiwa paling mencolok dalam sejarah" serikat dagang tersebut sekaligus "mata rantai pokok dalam riwayat penegakan pemerintahan Belanda di Pulau Jawa".

Baca Juga: MALIPIR #4: Gado-gado Racikan Tirto Adhi Soerjo
MALIPIR #5: Untung, Ada Surapati
MALIPIR #6: Surapati dalam Puisi

Huru-hara Kartasura

Deskripsi huru-hara Kartasura dalam buku ini sangat terperinci. Dalam benak saya tergambar suasana genting dan kalut di sekeliling keraton dengan pasukan Kompeni yang keluar dari loji lengkap dengan tetabuhan dan dentuman granat tangan, pasukan pribumi yang menghunus tombak dari sekian sisi, barisan Surapati yang mengamuk, dan sejumlah bangunan hangus dilalap api. Itulah deskripsi yang di bagian-bagian ujungnya mengandung adegan yang terlihat murung: "Setelah hujan lebat dan terjadi kerepotan dengan para kuli, maka akhirnya ... pasukan itu sampai di Semarang. Peti yang berisi jenazah Kapten Tack dibawa bersama mereka".

Dari perspektif Kompeni, tentu saja, Surapati sama sekali bukan pahlawan melainkan "petualang", pemimpin "gerombolan", "si pemberontak", bahkan "bandit". Sewaktu dia lari ke belantara Priangan, 20 orang Belanda tewas dalam upaya mereka mengejar tokoh tersebut. Dalam huru-hara di Kartasura yang melibatkan diri tokoh asal Bali ini, 80 orang Belanda tewas pula. Seusai drama 8 Februari 1686, ia bergerak terus ke timur hingga Pasuruan.

Setelah membaca telaah De Graaf yang tertib, cermat, sarat data, tapi juga kiranya dengan rasa humor yang terjaga, saya beroleh kesan betapa sejarah Jawa zaman Mataram di bawah Amangkurat II penuh dengan huru-hara, perpecahan, bunuh-bunuhan, haus darah. Tokoh seperti Trunojoyo, misalnya, diceritakan tewas di ujung keris Sunan sendiri.

Karena minat saya terutama terarah ke sosok Surapati, telaah De Graaf juga memberikan bahan yang kaya untuk lebih memahami atau mengherani sosok tersebut. Saya takjub betapa sosok yang satu ini, dalam pergerakannya dari barat ke timur, dari Batavia hingga Pasuruan –dengan singgah di Priangan, Cirebon, Kartasura– tampaknya selalu mampu membangun kekuatan dan masuk ke lingkar kekuasaan. Bagi Kompeni, yang sudah campur tangan dalam urusan internal Mataram, Surapati sepertinya jadi ancaman yang tak berkesudahan. Baik saya petik di sini deskripsi De Graaf mengenai sepak terjang Surapati di Pasuruan:

"Di Pasuruan Surapati bertindak bagaikan seorang raja kecil. Ia menerapkan hari-hari pasowanan (menghadap) serta permainan sodoran (watangan) seolah-olah ia Susuhunan kedua ... Ia mendiami sebuah dalem yang indah dan menamakan dirinya Raden Aria Wiranagara. Kotanya dikelilingi tembok dengan meriam-meriam... Memang tak ada tempat lain yang lebih baik bagi petualang".

Namun, tempat terbaik itu rupanya bukan tempat teraman. Surapati kembali diburu dari sekian penjuru meski rincian perburuannya dilukiskan sebagai "cara berperang yang aneh". Dalam bab "Epilog" keanehan itu ditelisik. Di situ pula kita melihat betapa Kompeni kian jauh merasuk ke dalam tata kuasa Mataram. Sepeninggal Amangkurat II, Pangeran Puger disokong jadi Susuhunan Pakubuwana pada 1704, sedangkan Pangeran Adipati Anom merapat ke pihak Surapati. Namun, riwayat Surapati berakhir setelah ia terluka "di dekat Bangil".

Mungkin ada di antara teman-teman yang tertarik membaca lebih jauh. Dalam buku ini juga terlampir daftar karya De Graaf dari 1929 hingga 1983 atau selama 54 tahun! Selama kurun waktu itu ratusan tulisan sejarah sudah dia hasilkan. Di antara ratusan judul itu, ada satu yang sangat menarik minat saya di bidang visual, yaitu justru karya pertamanya, yang tampaknya –saya belum sempat mendapatkannya– mengulas pemandangan Batavia Lama dari laut. Tidak pelak lagi, kepakarannya di bidang sejarah Jawa memang sudah jadi monumen tersendiri.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//