• Opini
  • Gunung Guntur, antara Warga yang Peduli dan Bebalnya Institusi

Gunung Guntur, antara Warga yang Peduli dan Bebalnya Institusi

Isu boleh atau tidaknya melakukan aktivitas di Gunung Guntur menjadi bola liar yang terus diperdebatkan, sementara kerusakan kian nyata.

Taufik Nurdin

Aktif berkegiatan bersama Gunung Institute dan Perintis Literasi

Perdebatan di unggahan media sosial terkait aktivitas wisata dan pendakian di Gunung Guntur yang berstatus cagar alam. (Tangkapan layar: Taufik Nurdin)

21 September 2025


BandungBergerak - Dari kejauhan, siluet Gunung Guntur berdiri gagah di langit Garut. Puncaknya yang menjulang setinggi 2.249 meter di atas permukaan laut tampak tenang, seakan sedang terlelap. Namun, di balik ketenangan itu, Gunung Guntur menyimpan dua wajah yang kontras: sumber pesona sekaligus potensi ancaman kerusakan.

Beberapa hari terakhir Gunung Guntur ramai dibicarakan akibat adanya pembakaran yang dilakukan entah oleh siapa. Unggahan akun gunung_guntur melalui reels instagramnya sontak menjadi perbincangan di jagat maya. Muncul dinamika antara kawan-kawan yang terus mengampanyekan cagar alam dan gerakan Sadar Kawasan dengan kawan-kawan lain yang masih meyakini bahwa melakukan aktivitas dan pendakian ke Gunung Guntur bukanlah perkara yang salah.

Namun sesungguhnya, peristiwa ini adalah tanda paling nyata ketidakmampuan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat (BKSDA Jabar) dalam menjaga kawasan konservasi. Bagaimana mungkin sebuah kawasan yang status hukumnya jelas sebagai cagar alam bisa begitu longgar pengawasannya hingga kebakaran berulang kali terjadi? Apakah fungsi pengawasan dan pencegahan benar-benar dijalankan, ataukah institusi hanya hadir ketika publik sudah gaduh di media sosial?

Batas yang Kabur, Aturan yang Terabaikan

Sudah berlangsung sejak lama, masalah Gunung Guntur tidak lepas dari ketidakjelasan batas kawasan. Menurut SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 274/KPTS-11/1999, Cagar Alam Gunung Guntur memiliki luas 5.426,19 hektare, ditambah Taman Wisata Alam (TWA) seluas 250 hektare di Blok Gunung Haruman. Namun batas yang seharusnya jelas ini justru dibiarkan kabur. Masyarakat awam sulit membedakan mana area Cagar Alam, mana TWA.

Namun pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana masyarakat bisa mengetahui batas kawasan itu secara benar jika pemangku kebijakan sekelas BBKSDA Jabar saja tidak memuat informasi tersebut dengan jelas, baik di laman resmi mereka maupun melalui penanda di lapangan? Akibatnya, isu boleh atau tidaknya melakukan aktivitas di Gunung Guntur menjadi bola liar yang terus diperdebatkan, sementara kerusakan kian nyata.

Lebih ironis lagi, keberadaan basecamp pendakian di sekitar kaki Gunung Guntur dibiarkan seolah legal, sehingga dijadikan alasan untuk membenarkan pendakian. Padahal, status cagar alam menegaskan tidak boleh ada aktivitas pendakian. Keberadaan basecamp hanya akan menunjukkan lemahnya penegakan aturan dan absennya komitmen pengelola kawasan. Sebaliknya, ia justru menjadi bukti bahwa negara memberi ruang bagi pelanggaran yang dilakukan terang-terangan.

Warga Peduli Ketika Institusi Memilih Tuli

Di tengah kaburnya batas dan aturan, kawan-kawan Save Ciharus, Sadar Kawasan, dan masyarakat sipil terus berjibaku melakukan penyadartahuan sampai saat ini. Mereka turun ke lapangan, menyelenggarakan diskusi, serta membuat kampanye publik tentang pentingnya menjaga kelestarian alam dan menjaga kawasan konservasi, termasuk Gunung Guntur.

Namun, setiap upaya dialog dengan pihak BBKSDA Jabar selalu menemui jalan buntu. Surat demi surat yang diajukan untuk meminta audiensi terbuka tidak pernah mendapatkan jawaban. Bahkan, ketika kritik keras dilontarkan melalui media sosial dengan menandai langsung akun resmi BBKSDA Jabar, tetap saja tidak ada tanggapan serius. Seolah ada dinding bisu yang sengaja dibangun untuk menghindari dialog.

Sikap bungkam, abai, bahkan terkesan bebal dari institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga wilayah konservasi ini, memperlihatkan ironi besar: ketika warga sipil dan komunitas peduli lingkungan bersusah payah menjaga kelestarian alam, negara justru hadir dengan ketidakjelasan dan ketidakpedulian. Padahal, Undang-undang No. 5 Tahun 1990 secara tegas menyebutkan bahwa Kawasan Cagar Alam tidak boleh dikunjungi kecuali untuk kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, dan penunjang budidaya. Artinya, jalur pendakian, wisata alam, apalagi aktivitas ekonomi di dalamnya, sejatinya bertentangan dengan aturan.

Kenyataannya, situasi di lapangan jauh dari ideal. Gunung Guntur kini kerap menjadi arena wisata liar. Jejak kendaraan, warung semi permanen, dan pendakian massal semakin sering terlihat.

Ada ironi besar di sini. Di satu sisi, ada gerakan warga sipil yang rela mengorbankan tenaga, waktu, bahkan reputasi untuk terus menyuarakan kelestarian alam, sementara di sisi lain, pelanggaran atas aturan konservasi terus berlangsung sehingga mengancam fungsi ekologis gunung. Pertanyaannya, sampai kapan kita harus menunggu keseriusan negara?

Baca Juga: Gunung Rinjani, Habis Viral Terbitlah Aral
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #18: Memitigasi Dampak Guguntur dari Gunung Guntur

Gerakan Kolektif

Gunung Guntur terlampau sering menjadi saksi bagaimana manusia datang dengan pesona, lalu meninggalkan jejak luka. Dari api pembakaran, jejak ban motor trail, hingga basecamp pendakian yang mencabik-cabik tubuh cagar alam. Semua ini terus berulang, sementara institusi yang mestinya menjadi benteng terakhir memilih bungkam, membiarkan kebisingan pasar menggantikan suara hutan.

Sudah terlalu sering kita menunggu jawaban dari BBKSDA Jabar. Surat demi surat dilayangkan, ajakan audiensi diajukan, kritik di media sosial dilontarkan. Namun, semua berakhir dengan sunyi. Mereka tidak tuli, mereka hanya bebal. Mereka tahu, tetapi memilih untuk menutup mata.

Karena itu, jangan lagi berharap pada negara yang sibuk dengan birokrasi dan laporan formalitas. Mari kita gantikan dengan gerakan kolektif, dengan tangan-tangan warga yang peduli. Save Ciharus dan Sadar Kawasan sudah menunjukkan jalan: menjaga gunung dan kelestariannya menjadi tanggung jawab moral kita semua.

Gunung Guntur bukan sekadar puncak yang indah dipotret dari kejauhan. Ia adalah sumber air, rumah bagi ribuan makhluk, sekaligus penopang kehidupan. Jika gunung ini hancur, hancur pula masa depan kita.

Maka biarlah negara memilih diam. Tapi kita tidak boleh ikut diam. Biarlah institusi menjadi bebal dengan kebisuan mereka. Kita tidak boleh ikut bebal. Karena setiap langkah kecil yang kita lakukan adalah doa untuk kelestarian alam.

Gunung boleh membisu, institusi boleh bebal, tapi suara warga tak boleh padam!

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//